Sejarah Perkembangan Agama Hindu
Pada: December 13, 2012
Agama Hindu di India, sering disebut dengan nama Sanatana Dharma, yang berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma, yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Menurut para ahli, agama tersebut terbentuk dari campuran antara agama India asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya.
Sebelum kedatangan bangsa Arya, di India telah lama hidup bangsa-bangsa Dravida yang telah mencapai suatu tingkat peradaban yang tinggi sebagaimana dibuktikan oleh penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap wilayah Lembah Indus. Peradaban lembah ini dalam satu segi juga menunjukkan gambaran keagamaan yang ada pada waktu itu, yang tetap dapat dilacak dalam agama Hindu sekarang ini.
Secara garis besar seraha perkembangan agama Hindu dapat dibedakan menjadi tiga tahap. Tahapan pertama sering disebut dengan zaman Weda, yang dimulai dengan masuknya bangsa Arya di Punjab hingga munculnya agama Buddha. Pada masa ini dikenal adanya tiga periode agama yang disebut dengan periode tiga agama penting (tiga agama besar). Ketiga periode ini adalah periode ketika bangsa Arya masih berada di daerah Punjab (1500-1000 S.M.). Agama dalam periode pertama lebih dikenal sebagai agama Weda Kuno atau agama Weda Samhita. Periode kedua ditandai oleh munculnya agama Brahmana, di mana para pendeta sangat berkuasa dan terjadi banyak sekali perubahan dalam hidup keagamaan (1000-750 S.M.).
Perubahan tersebut lebih bersifat dari dalam agama Weda sendiri dibanding perubahan karena penyesuaian agama Weda dengan kepercayaan-kepercayaan yang berasal dari luar. Agama Weda pada periode kedua ini lebih dikenal dengan nama agama Brahmana.
Periode ketiga ditandai oleh munculnya pemikiranpemikiran kefilsafatan ketika bangsa Arya menjadi pusat peradaban sekitar sungai Gangga (750 - 500 S.M.). Agama Weda periode ini dikenal dengan agama Upanishad.
Tahapan kedua adalah tahapan atau zaman agama Buddha, yang mempunyai corak yang sangat lain dari agama Weda. Zaman agama Buddha ini diperkirakan berlangsung antara 500 S.M.-300 M. Tahapan ketiga adalah apa yang dikenal sebagai zaman. agama Hindu, berlangsung sejak 300 M. hingga sekarang.
Agama Hindu tidak hanya terdapat di India, tetapi juga telah masuk ke Indonesia, bahkan sangat kuat pengaruhnya terutama di Jawa. Agama Hindu masuk ke Nusantara, tidak dapat diketahui secara pasti. interpretasi terhadap penemuan kepurbakalaan, peninggalan karya tulis dan sebagainya, juga tidak memberikan informasi tentang siapa nama pembawa agama tersebut
Ada beberapa bukti pengaruh agama Hindu dan kebudayaan India terhadap Indonesia dalam bidang sastra dan agama, seni bangunan dan adat kebiasaan yang ada di sekitar kraton. Dari sini barangkali dapat dipahami bahwa masuknya pengaruh tersebut bukan melalui kasta-kasta Sudra, Waisya ataupun Ksatria, tetapi oleh para Brahmana, karena merekalah yang berwenang membaca kitab suci dan menentukan peribadatan.
Ajaran tentang samsara, karma, yang tidak terlepas dari ajaran kasta yang dikaitkan dengan kelahiran seseorang memungkinkan dugaan bahwa agama Hindu bukan agama dakwah dan tidak mencari pengikut. Yang sering menjadi persoalan adalah bagaimana pengaruh para Brahmana terhadap lingkungan kraton tersebut. Dugaan kuat dalam hal ini ialah bahwa yang aktif adalah orang-orang Indonesia sendiri.
Karena adanya hubungan dagang dengan orang-orang India, maka banyak rakyat yang juga hidup berdagang dan menjadi kaya. Hubungan raja dan rakyat juga baik sehingga para raja juga menghargai para Brahmana tersebut. Dalam lingkungan kehidupan beragama, para pedagang yang beragama Hindu memerlukan para Brahmana. Oleh karena itu para Brahmana tersebut memiliki kesempatan untuk berada dalam lingkungan kraton. Hal ini terbukti dengan penemuan prasasti di Kutai yang menunjukkan bahwa untuk keperluan sedekah raja memberikan beberapa ekor sapi kepada para Brahmana.
Aliran agama Hindu yang paling besar pengaruhnya adalah aliran Siwa dan Tantra (abad 6). Di Indonesia, aliran Tantra dan agama Buddha yang sempat mendesak Tantra keluar dari India justru menyatu dengan sebutan agama Siwa-Buddha. Percampuran antara keduanya terlihat jelas pada zaman kerajaan Singasari (1222-1292).
Dari penemuan prasasti dapat diketahui bahwa perkembangan pengaruh agama Hindu di Indonesia tetap berpusat di sekitar Kraton, sungguhpun ada juga, karena jarak yang jauh, berpusat di biara-biara dan pemakaman- pemakaman. Prasasti Kutai dari zaman raja Mulawarman (abad ke-5) menunjukkan bahwa korban sesajian oleh raja dilaksanakan dan diselenggarakan sesuai dengan ajaran kitab Manusmrti. Pemujaan ditujukan mungkin kepada Siwa dan mungkin kepada Wisnu.
Di Jawa Barat, prasasti dari raja Purnawarman menunjukkan bahwa agama yang berpengaruh adalah agama Hindu aliran Wisnu; sementara prasasti di Jawa Tengah dari zaman raja-raja Sanjaya (723) memperlihatkan bahwa agama yang berpengaruh adalah agama Hindu aliran Siwa.
Tahun 928, pusat Kraton yang ada di Jawa Timur (dinasti raja Sendok) lebih bercorak Wisnu. Peninggalan-peninggalan kitab sesudah zaman itu (yaitu sekitar abad ke-10) adalah kitab Brahmandapurana yang di antara isinya adalah tentang penciptaan (kosmogoni), silsilah para Resi, keterangan-keterangan tentang kasta, asrama, yogi dan sebagainya.
Aliran Tantra mencapai puncak perkembangannya pada zaman Singasari dan Majapahit Dalam kitab Nagarakertagama disebutkan bahwa raja Kertanegara menekuni kitab Subhuti Tantra. Menurut kitab Pararaton, ia adalah seorang pemabuk, seorang pemuja yang erat hubungannya dengan upacara pancatattwa (Lima-M). Raja Adityawarman dinobatkan dalam upacara Bhairawa karena ia adalah penganut sekte Siwa yang menekankan pada aliran Tantrayana. Menurut prasasti Surowaso (1375), ia dinobatkan menjadi Bhairawa di Ksetra dengan duduk di atas singgasana yang terdiri dari tumpukan mayat sambil tertawa terbahak-bahak dan minum darah. Sebagai korban dibakar mayat-mayat yang baunya dikatakan seperti harumnya berjutajuta bunga. Di Padang Lawas Sumatra, paham Tantrayana juga mengutamakan Bhairawa.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain pusat-pusat keagamaan di kraton, juga terdapat pusat-pusat keagamaan Hindu yang disebut Paguron atau mandala atau kasturi. Ditempat-tempat ini para pendeta memberikan pelajaran. Kitab-kitab yang ada pada waktu itu adalah kitab Tantu Panggelaran, juga kitab Nawaruci yang juga disebut dengan kitab Tattwajnana. Kitab terakhir ini penting karena mistik yang terdapat di dalamnya sampai sekarang masih berlaku di kalangan tertentu. Dasar fikiran dan mistik itu sendiri juga terdapat dalam kitab-kitab Suluk yang sudah mendapat pengaruh dari Islam.
Di Bali, pengaruh Majapahit sangat kuat. Oleh karena itu, agama Hindu Jawa pun sangat berpengaruh di sana, yang lama kelamaan bercampur dengan agama asli Bali yang disebut agama Tirta dan kemudian disebut agama Hindu Dharma.
Agama asli Bali mempunyai kepercayaan terhadap para dewa yang dihindukan sesuai dengan agama Hindu-Jawa. Orang-orang asli Bali mempercayai para dewa yang dulunya adalah arwah nenek moyang mereka, di samping percaya terhadap roh-roh jahat. Dewa-dewa yang berasal dari HinduJawa disebut dengan Bhatara, yang terpenting di antaranya adalah Bhatara Brahma (Dewa Api), Bhatara Surya (Dewa Matahari), Bhatara Indra (dewa penguasa surga), Bhatara Yama (Penguasa maut) dan Dhatari Durga (Dewi Maut atau Kematian). Bhatara Siwa adalah dewa tertinggi yang menguasai dan memiliki kekuatan para dewa lainnya. Bahkan, semua dewa adalah penjelmaannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, agama Hindu di Indonesia mengalami perkembangan sekaligus perubahan-perubahan yang sangat mendasar karena faktor-faktor sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan perkembangan agama Islam. Penyempurnaan dan perubahan tersebut bukan hanya menyangkut penyelenggaraan upacara keagamaan tetapi juga dalam konsep keagamaannya.
Beberapa tokoh muda kemudian mendirikan lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan yang disebut Trimurti, yang bertujuan menembus pembaharuan di bidang keagamaan. Di Singaraja, Bali,. lahir organisasi Bali Dharma Laksana yang berusaha untuk menyusun kitab suci yang jelas. Pada zaman Jepang didirikan Paruman Pandita Dharma oleh pemerintah yang dimaksudkan untuk mempersatukan paham keagamaan Bali dan sebagai perantara dengan pemerintah Jepang.
Pada waktu itu agama disebut dengan Siwa Raditya atau agama Sanghyang Surya yang mengutamakan pemujaan terhadap matahari. Pada tahun 1950, badan tersebut berubah menjadi Majelis Hinduisme. Sejak tahun ini ada lagi organisasi-organisasi keagamaan yang muncul yaitu Wiwada Sastra Sabda dan Panti Agama Hindu Bali. Dari sinilah muncul ide pengakuan agar Hindu Bali sebagai agama resmi di Indonesia, yang baru berhasil diperjuangkan pada tahun 1958. Sejak saat itu minat untuk memajukan agama Hindu Bali semakin meningkat Langkah pertamanya adalah pemurnian agama Hindu.
Sesudah mendapatkan pengakuan resmi, para pemimpin Hindu Bali membentuk muktamar Parisada Dharma Hindu Bali pada tahun 1959 yang kemudian menjadi Parisada Hindu Dharma pada tahun 1964. Usaha utama organisasi tersebut ialah memajukan Hindu, Dharma dengan. mendirikan pendidikan menengah yaitu Pendidikan Guru Agama Atas dan pendidikan tinggi yaitu Institut Hindu Dharma yang salah satu fakultasnya adalah Fakultas Agama.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
AG. Honig, JR, Ilmu Agama I, di Indonesiakan oleh Soesastro dan Sugiarto, (Gunung Mulia, Jakarta, 1992). Agus Hakim, Perbandingan Agama, (CV Diponegoro, Bandung, 1993). Houston Smith, Agama-Agama Manusia, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2001).