Syarat dan Rukun Hibah
Pada: December 08, 2012
Untuk memperjelas syarat dan rukun hibah maka lebih dahulu dikemukakan pengertian syarat dan rukun. Syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut. Adapun rukun diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu sendiri, bukan karena tegaknya.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa hibah mempunyai syarat dan rukun yang harus dipenuhi, sehingga hibah itu dianggap sah dan berlaku hukumnya. Menurut Ibnu Rusyd, rukun hibah ada tiga: (1) orang yang menghibahkan (al-wahib); (2) orang yang menerima hibah (al-mauhub lah); pemberiannya (al-hibah). Hal senada dikemukan Abd al-Rahman al-Jaziri. bahwa rukun hibah ada tiga macam: (1) ‘Aiqid (orang yang memberikan dan orang yang diberi) atau wahib dan mauhub lah; (2) mauhub (barang yang diberikan) yaitu harta; (3) shighat atau ijab dan qabul.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rukun hibah itu adalah adanya ijab (ungkapan penyerahan/pemberian harta), qabul (ungkapan penerimaan) dan qabd (harta itu dapat dikuasai langsung). Jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun hibah itu ada empat, yaitu (a) orang yang menghibahkan, (b) harta yang dihibahkan, (c) lafaz hibah, dan (d) orang yang menerima hibah.
Untuk orang yang menghibahkan hartanya, disyaratkan bagi orang yang cakap bertindak hukum, yaitu baligh, berakal dan cerdas. Oleh sebab itu, anak kecil dan orang gila tidak sah hibahnya, karena mereka termasuk orang-orang yang tidak cakap bertindak hukum.
Sedangkan syarat barang yang dihibahkan adalah:
Pertama, harta yang akan dihibahkan ada ketika akad hibah berlangsung. Apabila harta yang dihibahkan itu adalah harta yang akan ada, seperti anak sapi yang masih dalam perut ibunya atau buah-buahan yang masih belum muncul di pohonnya, maka hibahnya batal. Harta yang dihibahkan itu bernilai harta menurut syariat. Harta itu merupakan milik orang yang menghibahkannya.
Menurut ulama Hanafiyah apabila harta yang dihibahkan itu berbentuk rumah harus bersifat utuh, sekalipun rumah itu boleh dibagi. Akan tetapi, ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa menghibahkan sebagian rumah boleh saja dan hukumnya sah. Apabila seseorang menghibahkan sebagian rumahnya kepada orang lain, sedangkan rumah itu merupakan miliknya berdua dengan orang lain lagi, maka rumah itu diserahkan kepada orang yang diberi hibah, sehingga orang yang menerima hibah berserikat dengan pemilik sebagian rumah yang merupakan mitra orang yang menghibahkan rumah itu.
Akibat dari pendapat ini muncul pula perbedaan lain di kalangan ulama Hanafiyah, Harta yang dihibahkan itu terpisah dari yang lainnya dan tidak terkait dengan harta atau hak lainnya, karena prinsip barang yang dihibahkan itu dapat dipergunakan oleh penerima hibah setelah akad dinyatakan sah. Apabila seseorang menghibahkan sebidang tanah, tetapi di tanah itu ada tanaman orang yang menghibahkan, maka hibah tidak sah.
Kedua, harta yang dihibahkan itu dapat langsung dikuasai (al-qabdh) penerima hibah. Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah, syarat ini malah dijadikan rukun hibah, karena keberadaannya sangat penting.
Ulama Hanafiyah, Syafi'iyah, dan ulama Hanabilah lainnya mengatakan penguasaan terhadap harta, merupakan syarat terpenting sehingga hibah tidak dikatakan sah dan mengikat apabila syarat ini tidak dipenuhi. Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa penguasaan terhadap harta hanyalah syarat penyempurna saja, karena dengan adanya akad hibah, hibah itu telah sah.
Berdasarkan perbedaan pendapat tentang penguasaan terhadap harta, maka ulama Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa hibah belum berlaku sah hanya dengan adanya ijab dan qabul saja, tetapi harus bersamaan dengan penguasaan terhadap harta, sekalipun secara hukum.
Dengan memperhatikan referensi ini, bahwa di antara syarat-syarat hibah yang terkenal ialah penguasaan terhadap harta. Ulama berselisih pendapat, apakah penerimaan itu menjadi syarat sahnya akad atau tidak.
Imam Taqi al-Din menyatakan setiap yang boleh dijual boleh pula dihibahkan. Menurut Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, hibah terjadi dengan ijab, misalnya "saya hibahkan barang ini kepadamu" atau saya milikkannya kepadamu" atau saya anugerahkannya kepadamu", dan juga qabul yang bersambung dengan ijab, misalnya "saya menerima" atau "saya puas".
Sedangkan Syekh Muhammad ibn Qasim al-Gazi menandaskan tidak sah hukumnya suatu hibah kecuali dengan adanya ijab dan qabul yang diucapkan. Ats-Tsauri, Syafi'iy dan Abu Hanifah sependapat bahwa syarat sahnya hibahadalah penerimaan. Apabila barang tidak diterima, maka pemberi hibah tidak terikat.
Imam Malik berpendapat bahwa hibah menjadi sah dengan adanya penerimaan, dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk menerima, seperti halnya jual beli. Apabila penerima hibah memperlambat tuntutan untuk menerima hibah sampai pemberi hibah itu mengalami pailit menderita sakit, maka batallah hibah tersebut.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005). Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004). Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978). Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958). Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004). Abdul Azis Dahlan, ed.. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Barn van Hoeve, 1996). Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, (Semarang: Toha Putra). Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004). Taqi al-Din Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth).