Tuhan dalam Sejarah Filsafat
Pada: December 20, 2012
Abad ke IV dan VI SM, perkembangan luar biasa terjadi. Para pemikir kreatif mulai menantang dan melampui kepercayaan-kepercayaan religius, mitologi, dan faktor masyarakat yang sudah mapan. Pemikiran mereka makin abstrak. Mereka adalah para filsuf pencari kebijaksanaan. Menurut catatan sejarah, pemikiran Yunani munculnya para filsuf di awali ketika orang mulai mempertanyakan mite-mite atau dongeng-dongeng.
Para filsuf mengkaji kembali persoalan-persoalan kuno mengenai asal-usul alam dan segala sesuatu. Mereka mulai menentang pengertian-pengertian akal sehat tentang sifat-sifat benda dan membedakan antara realitas sejati dengan penampakan benda-benda. Mereka mulai mempertanyaakan mitos-mitos dan mulai mencari jawaban tentang misteri-misteri alam secara sistematis, tema pemikiran itu lalu berkisar pada masalah: “ada”, “menjadi”, “subtansi ruang dan waktu”, “kebenaran”, jiwa dan pengenalan serta “Tuhan Allah dan dunia”.
Pada akhir aabad V SM, Upanishads telah mengembangkan sebuah konsepsi ketuhanan khas yang melampaui dewa-dewa tidak lagi dipandang sebagai wujud lain yang berada di luar para penyembahnya, justru manusia yang berusaha memperoleh realisasi kebenaran batiniah. Para filsuf India mempertahankan suatu konsepsi tentang adanya realitas absolut atau Brahman, yang di pegang teguh oleh perjalanan manusia sehari-sehari yang bebas dan tidak di kenal sama sekali.
Sasaran yang diselidiki para filsuf pertama (abad VI SM) mencakup segala sesuatu yang dapat dipikirkan akal dapat dikatakan mereka adalah filsuf alam, yang dimaksud dengan alam (fusis) adalah seluruh kenyataan hidup dan kenyataan badaniah. Thales merupakan filosof pertama yang bersifat kealaman dan monistis pada zaman Yunani kuno, yakni bahwa esensi sesuatu hal itu selalu bersifat ketunggalan.
Parmanides (540-475 SM) selanjutnya menyatakan bahwa, yang "ada" itu merupakan satu kesatuan yang bulat yang mengambil ruang, maka tidak ada ruang yang kosong. Dari corak pemikiran yang sifatnya kealaman dan monistis, pemikiran Yunani memasuki era baru bersifat kealaman dan pluralitas lalu perkembangan selanjutnya para filsuf mengalihkan obyek pemikiran dari alam ke arah pemikiran tentang manusia sendiri, yang dipelopori oleh Pytagoras (485 SM) dan Sokrates (469-399 SM).
Sejak itu lahir berturut-turut filsuf besar seperti Plato (427-347 SM), Aristoteles (348-322 SM), Platinus (Neoplatinus). Konsep filsafat tertinggi yang diajarkan Plato adalah suatu “idea” (Tuhan). Konsep ketuhanan Plato tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Meskipun menyinggung yang “Ilahi” namun Plato tidak setuju dengan adanya para dewa dan dewi suatu mitologi Yunani yang disembah khalayak ramai. Paham tentang Tuhan pencipta dan yang esa tidak ditemukan dalam karya Plato.
Konsep ada “Demiurg” merupakan konsep tentang yang pandai mengatur segala yang dapat disaksikan, tetapi konsep ini bukanlah sang pencipta. Dunia ide tentu saja merupakan tempat dimana yang Ilahi itu muncul, maka manusia yang memikirkan tentang dunia ide, sama halnya dengan mendekati Tuhan juga. Jadi dunia idea adalah realita yang sebenarnya. Sementara Aristoteles menyatakan sebaliknya. Dunia idea adalah bayangan dari dunia kongkrit, dan semua alam raya ini bergerak menuju tujuan tertentu.
Masa setelah Aristoteles kemudian disebut Heliristis, dimana puncak keemasan yunani terletak pada popularitas sokrates, plato, dan sejak aristoteles yang secara umum bersifat kosmosentris.
Akhir pemikiran yunani ditandai dengan perkembangan pemikiran patristik: ketika bapak gereja mulai terlibat dalam pemikiran filsafat yang mewarnai pemikiran yunani hingga abad ke 8 M. seperti filosof besar di bidang teologi dan filsafat: Aurelius Agustinus (354-430 M) pemikirannya merupakan rangkiman seluruh pemikiran kristiani. Menurutnya, manusia sama dengan dunia lain, berpartisipasi dengan idea ilahi secara aktif.
Sejak abad ke-8 di Eropa Barat, muncul pola pemikiran baru yang disebut skolastik. Skolastisisme adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjuk pada pemikiran abad pertengahan yabg dipraktikkan di Barat kristen antara sekitar 1050 sampai 1350 pada masa ini kecenderungan pemikiran yang mencoba mempertahankan dan menjelaskan kebenaran agama dengan felsafat.
Tokoh paling penting pada periode skolastik awal adalah St Anselmus (1033-1109) pemikiran Anselmus merupakan sintesis antara pemikiran skolatik dan abad peertengahan. Anselmus menerima sepenuhnya penggunaan dialektika untuk theologi, bagi Anselmus tidak hanya akal budi yang dapat membawa seseorang sampai kepada kepercayaan, melainkan sebaliknya bahwa manusia harus percaya agar dapat memperoleh kepercayaan pemahaman yang benar mengenai kenyataan.
Argumen Anselmus yang paling masyhur ialah bukti antologis eksistensi Tuhan. Bukti antologis dimulai dengan menunjukkan bahwa konsep sesuatu itu sendiri memuat eksistensinya. Anselmus menyatakan bahwa definisi Tuhan itu sendiri mengimplikasikan eksistensi-Nya. Tuhan bagi Anselmus adalah maha besar, ada dalam pikiran dan ada juga di luar pikiran. Argumen tersebut secara radikal mengajarkan bahwa apa yang dipikirkan, berarti objek itu benar-benar ada, tidak mungkin ada sesuatu yang nyata ada di dalam pikiran, tetapi di luar pikiran objek itu tidak ada.
Kemudian, abad-abad berikutnya berlalu dalam kegelapan sampai datangnya abad ketujuh belas, yang diawali dengan munculnya Renaissence. Puncak masa Renaissence dimulai dengan muncul pemikiran Rene Descartes dari Prancis (1596-1650).
Descartes berpendapat bahwa penetapan wujud alam tergantung pada tepatnya wujud Tuhan. Jadi, ia tidak mengambil dalil dari alam untuk menetapkan wujud penciptaannya. Sebaliknya ia mempergunakan keberadaan sang pencipta yang maha sempurna dan abadi sebagai petunjuk bahwa alam itu benar-benar ada, bukan khayalan semu.
Di daratan Eropa muncul filosof menggantikan Descartes yang memiliki pendapat yang patut diperhitungkan dalam filsafat ketuhanan yang terkenal diantaranya aadalah Spinoza filsafat spinoza dapat dikatakan sebagai koreksi terhadap pandangan dualisme Descartes menganai keterpisahan jiwa dan badan dan pandangan dualisme antara Tuhan dan penciptaan dunia.
Pandangan Spinoza tentang Tuhan atau subtansi dapat disimpulkan sebagai berikut: Tuhan itu satu, di luar Tuhan tidak ada sesuatu apapun yang eksis, Bingkai alam adalah tubuh Tuhan, sedangkan sisi mental dari struktur fisikal alam adalah jiwa Tuhan, Objek-objek material adalah modus Tuhan atau substansi.
Filsafat Spinoza mengidentikan Tuhan dengan alam. Tidak ada beda antara Tuhan dan alam. Tuhan bukan merupakan pencipta, tetapi ia adalah alam itu sendiri jadi, pembedaan antara pencipta dan ciptaan Allah dengan alam adalah ilusi. (pendirian ini ialah panteisme). Namun, dalam salah satu tulisannya, Spinoza menyangkal telah mengatakan tentang kesatuan Tuhan itu aada di alam, Dia tidak terpisah dari alam dan alam pun tidak terpisah dari-Nya, karena tidak ada keterpisahan dari “tanpa kesudahan” (yakni Tuhan).
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Panteisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, Suatu Studi Filsafat, Terj. Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1990). Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan: Sebuah Esai Pemikiran Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991). Robert C. Soloman dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, Terj. Saub Pasaribu, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002). Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1985). Abas Mahmud Al-Aqqad, Tuhan di Segala Zaman, (t.tp.: Pustaka Firdaus, t.th). Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat: Dari Aristoteles sampai Derrida, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).