Testimonium De Auditu dalam Hukum Acara Perdata
Pada: January 19, 2013
Berdasarkan pasal 171 HIR, pasal 1970 KUH Perdata, keterangan yang diberikan harus berdasar sumber pengetahuan yang jelas, dan sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum harus merupakan pengetahuan, penglihatan, atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak.
Adapun istilah Testimonium De Auditu adalah keterangan karena mendengar dari orang lain yang disebut juga kesaksian tidak langsung.
Menurut Sudikno Mertokusumo, Testimonium De Auditu adalah keterangan seorang saksi yang diperolehnya dari pihak ketiga. Dicontohkan pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga tersebut menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Di persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga dan memberikan keterangan yang diperolehnya dari pihak ketiga tersebut. Inilah yang disebut testimonium de auditu. Akan tetapi testimonium de auditu bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir.
Bentuk keterangan demikian dalam Common Law disebut hearsay evidence. Pengertian testimonium de auditu dengan hearsay witness dalam Common Law, sama-sama memiliki definisi yang mengandung pengertian berupa keterangan yang diberikan seseorang yang berisi pernyataan orang lain baik secara verbal, tertulis, atau dengan cara lain.
Setelah memperhatikan syarat-syarat kesaksian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka testimonium de auditu jelas-jelas tidak memenuhi syarat kesaksian. Dalam praktek pun, tampaknya belum tercipta satu law standard yang baku, sehingga belum terbina unifeid legal frame work dan unified legal opinion.
Upaya ke arah terciptanya law standard yang baku guna membina unified legal frame work dan unified legal opnion dalam penerapan testimonium de auditu sudah mulai terkuak, di mana MA dalam buku wajib untuk rechtelijke ambtenaar ketika membicarakan soal pembuktian, menunjuk pada pendapat Subekti yang tertuang dalam bukunya "Hukum Pembuktian". Dalam kaitannya dengan testimonium de auditu, yang oleh Subekti, ia mengacu pada Putusan MA yang kedua tersebut, seraya mengemukakan bahwa mula-mula banyak yang mengajarkan bahwa keterangan seorang saksi yang memberikan suatu "kesaksian dari pendengaran", tidak ada nilainya sama sekali. Sebagai kesaksian, keterangan dari pendengaran itu memang tidak ada nilainya. Tetapi, bukan berarti bahwa hakim lantas dilarang untuk menerimanya. Yang dilarang adalah jika saksi menarik kesimpulan-kesimpulan, memberikan pendapat atau perkiraan-perkiraan.
Terkadang saksi de auditu pada suatu ketika sangat penting (indispensability) untuk mendapat kebenaran dalam beberapa kasus. Maka dalam hal tertentu, perlu diatur keadaan yang bersifat eksepsional yang membenarkan atau mengakui testimonium de auditu sebagai alat bukti. Salah satu alasan eksepsional yang dapat dibenarkan dalam Common Law, apabila saksi utama yang mengalami, melihat, dan mendengar sendiri meninggal dunia, dan sebelum ia meninggal menjelaskan segala sesuatu peristiwa atau kepada seseorang. Dan peristiwa yang dipermasalahkan tidak dapat terungkap tanpa ada penjelasan dari seseorang yang mengetahuinya, maka dalam kasus yang demikian secara eksepsional dapat dibenarkan testimonium de auditu sebagai alat bukti.
Dalam penerapannya di peradilan perlu dilihat variabel yang mendasari sejauh mana kekuatan testimonium de auditu dalam praktik peradilan. Secara umum ditolak sebagai alat bukti
Keterangan saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya berarti berada di luar kategori keterangan saksi yang dibenarkan pasal 171 HIR, pasal 1907 KUH Perdata.
Tidak diterimanya saksi de auditu sebagai alat bukti merupakan aturan umum yang masih dianut para praktisi sampai sekarang. Saksi yang tidak mendasarkan keterangannya dari sumber pengetahuan sebagaimana yang digariskan pasal 171 ayat (1) HIR dan pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata, tidak diterima sebagai alat bukti.
Sudikno berpendapat, pada umumnya kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Dengan demikian maka saksi de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan.
Subekti juga berpendapat hal yang sama, antara lain mengatakan bahwa saksi de auditu sebagai keterangan yang didasarkan pada pandangan dari orang lain tentang sesuatu, “tidak ada harganya sama sekali”. Namun hakim tidak dilarang memeriksanya dalam sidang pengadilan. Bahkan terkesan dapat membenarkan penerapannya secara eksepsional untuk menerima keterangan saksi de auditu apabila mereka terdiri dari beberapa orang, dan keterangan yang disampaikan langsung mereka dengar dari tergugat atau penggugat sendiri.
Testimonium de auditu bukan merupakan pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir, maka dari itu tidak dilarang. Tetapi bahwa yang harus dikemukakan saksi adalah suatu kenyataan, maka pengadilan dapat mempergunakannya untuk menyusun suatu alat bukti berupa persangkaan. Karena undang-undang tidak melarang hakim untuk menyimpulkan adanya persangkaan dari keterangan pihak ketiga yang disampaikan kepada saksi.
Dari penjelasan di atas, pada prinsipnya testimonium de auditu tidak dapat diterima sebagai alat bukti. Pada umumnya sikap praktisi hukum secara otomatis menolaknya tanpa analisis dan pertimbangan yang argumentatif.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1978).