Biografi Muhammad Ma’sum Ali
Pada: January 29, 2013
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ma’sum bin Ali al-Maskumambangi al-Jawi. Lahir di desa Maskumambang, Gresik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan oleh kakeknya sendiri. Ia lahir sekitar tahun 1887 M, atau bertepatan dengan 1305 H.
Ma’sum Ali pertama kali belajar di Pondok Pesantren Maskumambang Gresik bersama ayahnya sendiri yaitu KH. Ali. Untuk menambah wawasan keilmuan yang dimiliki, ia banyak menimba ilmu selama bertahun-tahun dari KH. Hasyim Asy’ari pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Tidak lama kemudian, adik kandungnya yang bernama Adlan Ali ikut menimba ilmu dengannya. Adlan Ali juga termasuk orang yang populer, meskipun keilmuan yang ia miliki berbeda dengan kakaknya. Kyai Adlan Ali mendirikan pondok putri Wali Songo Cukir atas inisiatif Hadratus Syeikh.
Ma’sum Ali termasuk salah satu santri generasi awal Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Ia termasuk orang yang sangat tekun dan rajin. Berkat ketekunan dan kegigihannya, ia diangkat sebagai lurah pondok karena dikenal sangat cerdas dalam berpikir dan mengaji. Kecerdasan dan kemahirannya membuat KH. Hasyim Asyari tertarik padanya. Akhirnya ia dipersuntingkan dengan putrinya yang bernama Khairiyah Hasyim.
Pasangan Ma’sum Ali dengan Nyai Khoiriyah Hasyim dikaruniai enam keturunan. Namun atas kehendak Allah yang hidup sampai dewasa hanya dua orang putri, yakni Nyai Abidah Ma’sum dan Nyai Djamilah Ma’sum. Adapun putra putri yang lainnya wafat pada usia balita. Orang yang meneruskan pejuangan sepeninggal Ma’sum Ali mengasuh pondok Salafiyyah adalah santrinya yang bernama Mahfuz Anwar, yang dipersunting untuk putrinya yang bernama Nyai Abidah Ma’sum. Disamping mengasuh pesantren Seblak, Mahfudz Anwar melanjutkan dan mengembangkan ilmu falak di pesantren Salafiyyah Seblak. Pada akhirnya tidak jauh berbeda dengan sang mertua, Mahfudz Anwar di kenal sebagai kyai ilmu falak Seblak, dan ikon ilmu falak tetap melekat di pesantren Seblak.
Ma’sum Ali menunaikan ibadah haji dengan naik kapal laut dan sampai kembali di Seblak pada tahun 1919 M. Pejalanan berangkat dari Indonesia sampai Arab Saudi ditempuh dalam waktu 7 bulan, sehingga waktu yang ditempuh dalam pejalanan pulang pergi menjadi 14 bulan. Semua orang tahu bahwa ia menimba ilmu agama di Makkah, tetapi tidak ada seorang pun yang tahu di mana beliau belajar ilmu perbintangan, baik ilmu falak maupun astrologi.
Ma’sum Ali tidak pandang bulu dalam menuntut ilmu, karena ia beranggapan bahwa orang lain itu lebih pandai dari padanya, sehingga pada waktu itu, ia pernah belajar kepada seorang nelayan di perahu selama dalam pejalanan haji. Ia tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Ini menunjukan bahwa ia merupakan ulama yang penuh tawadhu, yang menganggap semua orang itu mempunyai kelebihan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Ma’sum Ali merupakan santri KH. Hasyim Asy’ari yang sangat cerdas dan rajin. Oleh karena itu, ilmu yang diperoleh dari gurunya ia tuangkan ke dalam karyanya. Karya-karya tersebut hingga kini dijadikan referensi di pondok-pondok pesantren salaf. Walaupun jumlah karyanya tidak sebanyak Hadratus Syeikh, akan tetapi hampir semua kitab karangannya sangat monumental. Di antara karyanya yang terkenal, yaitu Al-Amsilah at-Tasrifiyyah dan Fath al-Qadir.
Ma’sum Ali tidak dikaruniai usia panjang, ia wafat pada usia 33 tahun pada tangal 24 Ramadan 1351 H atau 8 Januari 1933 M, setelah menderita sakit paru-paru yang cukup lama. Waktu itu pengobatan penyakit dilakukan dengan cara tradisional, menggunakan dedaunan atau sejenisnya dari pepohonan, sehingga penyakitnya tidak mudah sembuh. Wafatnya Ma’sum Ali merupakan musibah besar terutama bagi santri Tebuireng, karena dialah satu-satunya ulama yang menjadi referensi dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syeikh.
Referensi Makalah®
Kepusatakaan:
Jamal Ma’mur (edt.), Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Sunan Ampel Jombang, (Jombang: Keluarga Besar PP. Sunan Ampel, 2001). Abi al-Hasan Ali bin Hisyam, Syarh al-Kailani Izzi, (Surabaya: Dar Ihya al-Kutub al-Arobiyyah, t.th).