Hukum Shalat Tanpa Wudhu dan Tayammum Karena Tak Ada Air dan Debu
Pada: January 31, 2013
Bila tidak ada yang dapat menyucikan, yaitu air dan tanah, seperti orang yang berada dalam tahanan yang tidak tersedia di dalamnya, dan tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan tayammum atau karena sakit yang tidak bisa berwudu dan tidak bisa bertayammum, apakah ia diwajibkan salat dalam keadaan tidak suci?
Ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Perbedaan tersebut secara rinci dapat dilihat sebagai berikut;
Pertama, Madzhab Hanafi
Berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan air dan debu suci atau sebagainya, maka ia salat ketika telah memasuki waktu salat. Salat ini hanya rupa-nya saja yaitu dengan sujud kemudian kembali menghadap kiblat tanpa bacaan, tasbih, tasyahhud dan sebagainya. Juga tidak dengan niat salat, baik ia dalam keadaan junub atau hadats kecil. Salat yang hanya rupanya saja ini tidak menggugurkan fardhu, melainkan yang fardhu itu tetap menjadi tanggungannya sampai ia mendapatkan air untuk wudu atau debu suci yang dapat dipakai untuk tayammum. Jadi orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci boleh mengerjakan salat yang hanya dalam rupanya saja walaupun ia dalam keadaan junub.
Kedua, Mazhab Maliki
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci yaitu air dan debu suci, maka gugur kewajiban salatnya. Ini berpegang pada pendapat yang muktamad, sehingga tidak perlu mengerjakan salat dan tidak perlu qadha.
Akan tetapi dalam hadis, tidak menunjukkan adanya pengulangan dan golongan Hanafi tidak mengatakan bahwa salat tanpa suci itu dapat diterima, melainkan mereka mengatakan bahwa salat itu harus diulangi.
Ketiga, Madzhab Syafi'i
Berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan air atau tidak mendapatkan debu yang suci atau tidak mampu menggunakan air dan debu, dan ada kalanya ia dalam keadaan junub atau hadats kecil, maka ia tetap mengerjakan salat dengan sebenarnya. Akan tetapi ia hanya meringkas dengan bacaan al fatihah saja dan wajib mengulangi salatnya apabila lelah mendapatkan air. Apabila orang junub mendapatkan air, maka ia wajib mandi dan wudu kemudian mengulangi salatnya apabila telah mendapatkan air. Apabila orang junub mendapatkan air, maka ia wajib mandi dan wudu kemudian mengulangi salat yang dikerjakan tanpa wudu dan tanpa tayammum. Apabila orang yang dalam keadaan hadats kecil mendapatkan air, maka ia wajib wudu dan mengulangi salatnya. Sedangkan apabila salah satu di antara dua orang, yaitu orang yang junub dan berhadats kecil mendapatkan debu yang suci atau lainnya; yang dapat digunakan tayammum, maka ia tetap tidak boleh bertayammum untuk mengulangi salatnya yang dikerjakan tanpa wudu dan tanpa tayammum. Kecuali kuat dugaannya bahwa ia berada pada tempat yang tidak terdapat air atau sama dugaannya antara ada air dan tidak ada air tanpa diunggulkan salah satunya.
Keempat, Madzhab Hambali
Berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci, ia tetap salat dengan sebenarnya dan tidak perlu mengulangi. Hanya saja wajib meringkas yang fardhu-fardhu saja dan syarat-syarat yang menjadikan sah salatnya.
Imam Taqiyuddin menjelaskan:
Andaikata orang itu tidak menemukan air dan tidak menemukan tanah, ia wajib salat karena memuliakan waktu dan wajib mengulangi salatnya sesudah menemukan air. Salatnya tetap dikatakan sah. Jadi kalau orang itu menemukan air, wajib menghutangi salatnya. Jika orang itu menemukan tanah, apakah dia wajib mengulangi salatnya? Dilihat dulu. Jika tanah itu ditemukan di tempat yang boleh menggugurkan qadha, wajib mengulangi salat. Jika tidak, maka tidak wajib mengulanginya. Sebab tidak ada gunanya salat dengan tayammum, salat itu wajib diulangi. Malah menurut kata sebagian Ulama, tidak boleh diqadha.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat orang yang hendak mengerjakan salat fardu dalam kondisi tidak ada air dan tanah untuk tayamum maka orang tersebut wajib menunaikan salat, namun ia wajib mengulangi bila kemudian ada air atau tanah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001). Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972). Ahmad Abd Madjid, Masa’il Fiqhiyyah: Mambahas Masalah-Masalah Fiqh yang Aktual, (Jatim: Garoeda Buana, 1991). Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th).