Jual Beli yang Dilarang menurut Fikih
Pada: January 29, 2013
Jual beli yang dilarang terbagi dalam dua kategori, yaitu:
Jual Beli yang Dilarang dan Tidak Sah
Jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah, meliputi: Pertama, barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan khamar, Rasulullah saw bersabda:
Dari Jabir ra, Rasulullah saw, bersabda; sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan berhala" (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Kedua, jual beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fikih sepakat menyatakan jual beli seperti ini tidak sah/batil. Misalnya, memperjual belikan buah-buahan yang putiknya pun belum muncul di pohonnya atau anak sapi yang belum ada, sekalipun di perut ibunya telah ada.
Ketiga, jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya, jual beli seperti ini dilarang, karena barangnya belum ada dan tidak tampak.
Keempat, jual beli dengan muhaqalah, haqalah mempunyai arti tanah, sawah dan kebun, maksud muhaqalah di sini ialah menjual tanam- tanaman yang masih di ladang atau di sawah, hal ini dilarang agama, sebab ada persangkaan riba di dalamnya.
Kelima, jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil dan yang lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar, dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin kencang atau yang lainnya, sebelum diambil oleh si pembelinya.
Keenam, jual beli dengan mulamasah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh, misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
Ketujuh, jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar, seperti seseorang berkata; “lemparkanlah kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku”, setelah terjadi lempar-melempar, maka terjadilah jual beli, hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan kabul.
Kedelapan, jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo, maka akan merugikan pemilik padi kering. Hal ini dilarang oleh Rasulullah saw.
Kesembilan, menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan, menurut Syafi’iy penjualan seperti ini mengandung dua arti, yang pertama seperti seseorang berkata; “kujual buku ini seharga $ 10,- dengan tunai atau $ 15,- dengan cara hutang”. Arti kedua ialah seperti seseorang berkata; “aku jual buku ini padamu dengan syarat kamu harus menjual tasmu padaku”.
Kesepuluh, jual beli dengan syarat (iwadh majhul), jual beli seperti ini, hampir sama dengan jual beli dengan menentukan dua harga, hanya saja di sini dianggap sebagai syarat, seperti seseorang berkata; “aku jual rumahku yang butut ini kepadamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku”, lebih jelasnya jual beli ini sama dengan jual beli dengan dua harga arti yang kedua menurut al-Syafi’iy.
Kesebelas, jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga kemungkinan adanya penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus tapi di bawahnya jelek. Penjualan seperti ini dilarang.
Jual beli Barang yang Dilarang, Tetapi sah
Adapun jual beli barang yang dilarang, namun hukumnya tetapi sah, yaitu; Pertama, menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar, untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya, perbuatan ini sering terjadi di pasar-pasar yang berlokasi di daerah perbatasan antara kota dan kampung. Tapi bila orang kampung sudah mengetahui harga pasaran, jual beli seperti ini tidak apa-apa.
Kedua, menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, seperti seseorang berkata, “tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih mahal”. Hal ini dilarang karena akan menyakitkan orang lain.
Ketiga, jual beli dengan Najasyi, ialah seseorang menambah atau melebihi. harga temannya, dengan maksud memancing-mancing orang, agar orang itu mau membeli barang kawannya, hal ini dilarang agama.
Keempat, menjual di atas penjualan orang lain, umpamanya seseorang berkata: “Kembalikan saja barang itu kepada penjualnya, nanti barangku saja kau beli dengan harga yang lebih murah dari itu.”
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum; dari segi obyek jual beli; dan dari segi pelaku jual beli.
Merugikan dan menghancurkan harta benda seseorang tidak diperbolehkan, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Syarbini Khatib bahwa penjualan bawang merah dan wortel serta yang lainnya yang berada di dalam tanah adalah batal, sebab hal tersebut adalah perbuatan gharar.
Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi tiga bagian, dengan lisan, dengan perantara dan dengan perbuatan. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang, bagi orang bisu diganti dengan isyarat, isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakkan kehendak, yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, (Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950). Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972). Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, (Mesir: Tijariah Kubra, t.th). Rachamat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001).