Pengertian Down’s Syndrome
Pada: January 29, 2013
Dalam Kamus Psikologi, down’s syndrome adalah bentuk keterbelakangan mental sejak lahir, dengan ciri-ciri yang menonjol, semula dikenal sebagai mongolisme. Karena proses pertumbuhan anak, baik di dalam maupun di luar kandungan dipengaruhi oleh faktor genetik dan non genetik..
Genetik menurut Echols dan Shadily dalam bahasa Inggris yang berarti hal-hal yang berhubungan dengan asas-asas keturunan. Genetik ini ditentukan oleh kedua orang tuanya, sehingga faktor pertama yang menentukan perkembangan indvidu adalah pembawaan (heredity, nature). Perkembangan ini meliputi segala potensi yang dimiliki individu sejak masa konsepsi.
Pada saat di dalam rahim sel benih (telah dibuahi) itu terdapat inti sel tertentu di antaranya sel badan yang mempunyai fungsi menggerakkan otot menghubungkan syaraf, menahan keseimbangan dan sebagainya. Sedangkan sel benih mempunyai fungsi istimewa dan khusus, yaitu fungsi pertumbuhan (pembentukan organisme baru). Hanya sel-sel benih yang menentukan penurunan sifat.
Kualitas-kualitas bawaan akan tampak pada ciri-ciri fisik dan karakteristik. Misalnya penampakan tubuh, warna rambut, bentuk mata, hidung dan sebagainya. Juga pada ciri-ciri psikis yang karakteristiknya misalnya: kecerdasan/inteligensi dan sebagainya.
Menurut Victor Serebriakoff dan Steven Langer (1994), bahwa keterbelakangan mental ini berbeda dengan keadaan tidak normal pada gangguan jiwa atau penyakit syaraf. Meskipun dalam beberapa kasus, gangguan mental ini sering disertai gangguan jiwa atau penyakit syaraf.
Meskipun demikian, down’s syndrome tidak hanya terlihat pada keterbelakangan mentalnya saja, tapi juga pada fisiknya, misalnya: kelemahan fisik, kelambanan dalam pertumbuhan dan sebagainya. Keterbelakangan mental, berarti mental yang tidak berkembang (terbelakang).
Dengan demikian, down’s syndrome juga meliputi retardasi mental, yaitu suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai dengan adanya hendaya (impairment) ketrampilan (kecakapan, skill) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia, baik kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.
Mental sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan batin dan watak manusia. Dapat dipahami sebagai keterbelakangan batin dan wataknya, artinya ketidaknormalan pada sisi itu, sehingga menjadi tidak umum terjadi pada anak. Mental berkaitan dengan jiwa. Oleh karena itu, penderita down’s syndrome tergolong anak-anak yang lambat belajar yang mempunyai intelegensi Quotien antara 70 – 80.
Down Syndrome (DS) merupakan suatu bentuk kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Menurut penelitian, Down Syndrome menimpa satu di antara 700 kelahiran hidup. Di Indonesia sendiri terdapat 300 ribu kasus Down Syndrome.
Normalnya, tubuh manusia memiliki miliaran sel yang memiliki pusat informasi genetik di kromosom. Sebagian besar sel tubuh manusia mengandung 23 pasang kromosom (total 46 kromosom). Hanya sel reproduksi, yaitu sperma dan ovum yang masing-masing memiliki 23 kromosom tanpa pasangan.
Dalam beberapa kasus down’s syndrome, kromosom nomor 21 jumlahnya tidak sepasang seperti pada umumnya, melainkan tiga. Bahasa medisnya, trisomi-2 1. Jumlah kromosom yang tidak normal tersebut bisa ditemukan di seluruh sel (pada 92 % kasus) atau di sebagian sel tubuh. Akibat jumlah kromosom 21 yang berlebihan tersebut, terjadi guncangan 56 sistem metabolisme di sel yang berakibat munculnya DS. Dari hasil penelitian, 88 persen kromosom 21 tambahan tersebut berasal dari ibu, akibat kesalahan pada proses pembentukan ovum. Delapan persen lagi berasal dari ayah, dan dua persen akibat penyimpangan pembelahan sel setelah pembuahan.
Menurut Victor Serebraikoff dan Steven Langer, bahwa penderita down’s syndrome pada dasarnya dapat dilihat dari pemeriksaan sel-selnya. Penderita ini, memiliki kelebihan jumlah kromosom di dalam kelompok G-nya, yang normal seharusnya 46, tetapi mereka memiliki 47 buah. Mengoloid (down’s syndrome) bukan kelainan turun temurun, melainkan semacam kecelakaan genetis.
Oleh karena itu, sebagian bayi pembawa mongoloid meninggal, tetapi dengan kemajuan ilmu kedokteran, maka banyak di antara mereka dapat diselamatkan. Merawat anak-anak mongol biasanya menyenangkan karena mereka muah berhubungan dengan orang lain dan memperlihatkan kemajuan yang baik. Keluarga, terutama orang tua biasanya sangat menyayangi mereka.
Dari penelitian terbukti pula, down’s syndrome yang diturunkan dari orang tua hanya 5% dari keseluruhan kasus. Kesalahan penggandaan kromosom 21 tersebut juga bukan karena penyimpangan perilaku orang tua ataupun pengaruh pencemaran lingkungan.
Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita terbukti berpengaruh besar terhadap munculnya down’s syndrome pada bayi yang dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan down’s syndrome adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun, maka kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan, bahwa angka kemungkinan munculnya down’s syndrome makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan.
Selain faktor genetis di atas, down’s syndrome juga disebabkan oleh tendens penyakit TBC, alkoholisme, penyakit syphilis. Di samping itu, down’s syndrome juga disebabkan oleh ibu hamil yang sudah terlalu tua (lebih dari 40 tahun), sehingga terjadi depresed reproduction atau kelahiran tidak sempurna. Sebabnya ibu tersebut kurang memprodusir lendir-lendir, hormon-hormon dan zat-zat lain.
Sering pula terdapat pada anak bungsu. Dapat juga disebabkan oleh kekurangan kelenjar thyroid (gondok). Pendarahan pada vagina atau gangguan pada kandungan/rahim ibu. Oleh karena itu, faktor ayat tidak besar pengaruhnya, tetapi faktor ibu sangat menentukan sekali.
Pada dasarnya penderita down’s syndrome dapat dilihat dan dideteksi secara dini pada anak, karena pendeteksian tersebut bukan suatu hal yang sulit. Berbeda dengan orang normal, maka penderita down’s syndrome punya karakteristik fisik yang khas.
Pada wajah, yang paling khas adalah bentuk mata yang miring dan tidak punya lipatan di kelopak. Selain itu, hidung mereka cenderung lebih kecil dan datar. Ini tak jarang diikuti dengan saluran pernapasan yang kecil pula, sehingga mereka sering kesulitan bernapas.
Seperti hidung, ukuran mulut mereka pun sering kali lebih kecil dengan lidah tebal dan pangkal mulut yang cenderung dangkal. Di samping itu, otot mulut mereka juga kerap lemah, sehingga menghambat kemampuan bicara. Pertumbuhan gigi geligi mereka pun lambat dan tumbuhtak beraturan. Gigi yang berantakan ini juga menyulitkan pertumbuhan gigi permanen.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (BP Depdikbud, Jakarta; 1994). John Echols, M. dan Hasan Sadily. Kamus Inggris Indonesia, (Gramedia, Jakarta: 1993). Nana Sukadinata, dan Muhammad Surya. Pengantar Psikologi, (IKIP, Bandung: 1978). Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta:1994).