Perkawinan Beda Agama
Pada: January 19, 2013
Perkawinan beda agama, sebagian orang menyebutnya sama dengan perkawinan campuran, dan ada pula yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama tidak masuk dalam perkawinan campuran melainkan istilah tersebut berdiri sendiri. Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa yang bhinneka, atau karena perbedaan agama antara kedua insan yang akan melakukan perkawinan.
Dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dengan demikian berdasarkan undang-undang, maka perkawinan antar agama tidak termasuk bagian perkawinan campuran melainkan memiliki pengertian yang berdiri sendiri.
Adapun perkawinan beda agama dirumuskan oleh Abdurrahman yang dikutip Eoh yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Dari rumusan pengertian perkawinan beda agama, disimpulkan bahwa yang dimaksud perkawinan antar agama adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.
Oleh karena UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, maka kenyataan yang sering terjadi dalam masyarakat apabila ada dua orang yang berbeda agama akan mengadakan perkawinan sering mengalami hambatan. Hal ini disebabkan antara lain karena para pejabat pelaksana perkawinan dan pemimpin agama menganggap bahwa perkawinan yang demikian dilarang oleh agama dan karenanya bertentangan dengan UU Perkawinan. Bisa dilihat dalam ajaran masing-masing agama berikut ini;
Menurut Hukum Kristen/Katolik Perkawinan itu sah apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi dan perkawinannya dilaksanakan di hadapan Pastur yang dihadiri oleh dua orang saksi. Saat sahnya perkawinan itu ialah pada saat perkawinan itu diteguhkan oleh Imam/Pastur dengan mengucapkan janji bersatu. Untuk dapat disahkan perkawinan itu maka kedua mempelai harus sudah dibaptis (Kan.1055:2), ada kesepakatan antara kedua mempelai (Kan.l057:2), tidak ada kekeliruan tentang diri orangnya (Kan.l097:l), tidak ada paksaan (Kan. 1103), telah berumur 16 (enam belas) tahun bagi pria dan telah berumur 14 (empat belas) tahun bagi wanita (Kan. 1083:1), salah satu atau kedua calon suami isteri itu tidak terikat perkawinan sebelumnya (Kan. 1086: 1). Perkawinan dilakukan di hadapan Pastur dan disaksikan oleh dua orang saksi (Kan.1108:1).
Menurut hukum agama Hindu, perkawinan itu sah apabila dilakukan di hadapan Brahmana atau pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu. Tidak semua Brahmana atau pendeta mempunyai tugas yang sama. Terhadap Brahmana atau pendeta yang melakukan tugas bukan wewenangnya ada ancaman hukumannya. Syarat yang lain untuk sahnya perkawinan menurut Hukum Hindu ialah harus dilaksanakan berdasarkan Hukum Hindu, jadi kedua calon suami isteri harus menganut agama Hindu. Jika berbeda agama antara calon suami isteri maka perkawinan itu tidak dapat disahkan. Untuk itu kedua mempelai harus disucikan ke dalam agama Hindu.
Menurut Hukum Agama Buddha Indonesia, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Perkawinan Agama Buddha Indonesia (HPAB pasal 2). Untuk sahnya perkawinan maka para calon suami isteri harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam pasal 4-7 HPAB 1977. Tempat upacara perkawinan yang sah adalah di Vihara atau Cetya atau di depan Altar Suci Sang Buddha/B odhisatwa setelah diresmikan dengan memanjatkan Paritta-paritta, Vandana, Trisarana, Pancasila dan Puja. Yang berhak melakukan pelaksanaan upacara adalah Pandita Agama Buddha Indonesia mulai dari tingkat Upasaka Bala Anu Pandita (UBAP), Upasaka Anu Pandita (UAP), Upasaka Pandita (UP) dan Maha Pandita (MP).
Syarat-syarat perkawinan menurut Hukum Buddha Indonesia untuk sahnya perkawinan, bahwa kedua mempelai harus saling menyetujui dan cinta mencintai, satu bulan sebelum perkawinan harus mengikuti penataran yang diberikan Pandita, umur kedua mempelai sudah 21 tahun atau ada izin orang tua mereka jika belum berumur 21 tahun. Perkawinan hanya boleh bagi mereka yang telah berumur 20 tahun bagi pria, dan 17 tahun bagi wanita, antara keduanya tidak ada hubungan darah atau hubungan susuan, di antara mereka tidak ada yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, Bandung, 1990). O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).