Syarat dan Rukun Khulu'
Pada: January 01, 2013
Khulu’ dianggap sah apabila telah memenuhi beberapa unsur di antaranya syarat dan rukun. Adapun dalam setiap rukun Khulu’ mempunyai syarat yang masing-masing harus ada pada rukun tersebut.
Untuk lebih jelasnya mengenai syarat-syarat Khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan dapat menegakkan hukum-hukum Allah.
Hendaknya Khulu’ itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Jika ia menyakiti istrinya, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya.
Khulu’ itu berasal dari istri dan bukan dari pihak suami. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya, maka suami tidak berhak mengambil sedikitpun harta dari istrinya. Khulu’ sebagai thalak bain, sehingga suami tidak diperbolehkan meruju’nya kembali, kecuali setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan kemudian melalui proses akan nikah yang baru.
Adapun yang menjadi rukun dari Khulu’ adalah :
- Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan
- Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan tebusan
- Uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh.
- Sighat atau ucapan cerai
Alasan untuk terjadinya Khulu’
Suami
Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk Khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam thalak adalah seorang yang ucapannya telah diperhitungkan secara syara, yaitu akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini. Bila suami masih belum dewasa atau suami sedang dalam keadaan gila pula maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian pula bila keadaan seseorang yang berada di bawah pengampuan karena kebodohannya, yang menerima permintaan khulu’ istri adalah walinya.
Dalam hal tersebut seluruh madzhab sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan Khulu’. Sedang Hambali mengatakan, Khulu’ sebagaimana halnya dengan thalak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah mengerti sekalipun belum baligh), mereka juga sepakat tentang sahnya khulu’ yang dilakukan oleh orang safih, tetapi uang (harta) tebusannya harus diserahkan kepada walinya.
Istri yang dikhulu’
Istri yang dikhulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
- Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami, dalam arti istrinya atau yang telah diceraikan, masih berada dalam iddah raj’iy.
- Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan Khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah pengampuan, dan sudah cerdas bertindak atas harta.
Para ulama madzhab sepakat istri yang mengajukan Khulu’ kepada suaminya wajib sudah baligh dan berakal sehat, dan mereka juga sepakat bahwa istri yang safih (idiot) tidak boleh mengajukan Khulu’ tanpa izin walinya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang keabsahan Khulu’nya manakala diizinkan oleh walinya.
Imam Hanafi mengatakan apabila walinya itu yang melaksanakan pembayaran tebusan dengan harta miliknya, Khulu’ tersebut sah, tapi bila tidak, salah satu dari riwayat yang lebih kuat, penebusan itu batal dan thalak jatuh atas istrinya.
Sedangkan Imamiyah, dan Maliki mengatakan; berdasarkan izin dari wali untuk membayar tebusan Khulu’, maka hal itu sah, sepanjang tebusan diambilkan dari hartanya sendiri dan bukan dari harta walinya.
Syafi’i dan hanbali mengatakan; Khulu’ yang diajukan oleh wanita safih sama sekali tidak sah, baik dengan atau tanpa izin walinya, akan tetapi Imam Syafi’i memberikan satu pengecualian,yaitu manakala walinya khawatir bahwa suaminya akan menguasai harta istrinya yang safih itu.
Imam Hambali mengatakan tidak terjadi Khulu’ dan tidak pula jatuh talak kecuali bila si suami berniat menjatuhkan thalak ketika ia melakukan Khulu’, atau Khulu’nya diucapkan dengan redaksi thalak. Apabila seorang istri mengajukan Khulu’ sedang dia dalam keadaan khulu’nya sah. Adapun Imamiyah menentukan syarat bagi wanita yang mengajukan khulu’, hal-hal yang mereka persyaratkan dalam thalak, dan mereka juga mensyaratkan adanya dua orang saksi laki-laki yang adil. Sedangkan madzhab-madzhab lainnya memandang khulu’ tersebut sah sepanjang persyaratan bagi seorang istri yang ditalak terpenuhi.
Adapun mengenai uang tebusan, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu’, mengenai sighat atau ucapan cerai, dalam hal ini tanpa menyebutkan ganti ini ia menjadi thalak biasa. Sedangkan adanya alasan untuk terjadinya Khulu’, baik dalam al-Quran maupun dalam hadits di atas telah disebutkan, tetapi dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama.
Untuk terjadinya Khulu’ tidak harus setelah terjadinya kekhawatiran tidak akan menegakkan hukum Allah. Ini yang pendapat yang dipegang alasan tidak dapat menegakkan hukum Allah. Sedang tanpa adanya alasan tidak dapat dilakukan khulu’ pendapat ini dianut oleh Zhahiri dan Ibnu al-Munzir.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bandung: Al-Maarif, 1983). Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006). Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,1994).