Akal menurut Bahasa dan Istilah
Pada: February 26, 2013
Dalam struktur manusia, terdapat satu potensi yang dinyatakan dengan beberapa kata, yaitu Ratio (Latin), Reason (Inggris dan Perancis), Nous (Yunani), Verstand (Belanda), Vernunft (Jerman), al-Aql (Arab), Buddhi (Sansekerta), dan akal budi (satu perkataan yang tersusun dari bahasa Arab dan bahasa Sansekerta).
Akal menurut pengertian pra-Islam ini berhubungan dengan pemecahan masalah. Sedangkan orang berakal menurut pendapat ini adalah orang yang memiliki kecerdasan untuk menyelesaikan masalah setiap kali ia dihadapkan pada problem dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Hal ini bias dipahami dari kebiasaan orang Arab zaman jahiliyah, yang menyebut ‘aqil sebagai orang yang dapat menahan amarahnya, dan oleh karena itu dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
Secara bahasa, akal yang berasal dari bahasa Arab al-Aql berarti Rabth yang berarti ikatan, tambatan, uqul berarti akal pikiran, fahm berarti paham, mengerti, Qalb berarti hati, al-Hijr (menahan), an-nahy (melarang), dan al-Man’u (mencegah). Akal juga bisa berarti cahaya Robbani, yang dengannya jiwa dapat mengetahui sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh indera.
Menurut Harun Nasution, kata Aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Dengan pengaruh masuknya filsafat Yunani ke dalam filsafat Islam, menurut Toshihiko Izutzu, kata al-Aql mengandung arti yang sama dengan nous, yaitu daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
Namun, istilah akal seringkali dikacaukan dengan term otak. Meskipun keduanya merujuk adanya kesamaan, tetapi juga mengandung perbedaan yang mendasar. Pengertian otak misalnya, adalah merujuk kepada materi (jaringan syaraf yang sangat lembut) yang terdapat dalam tempurung kepala. Disamping dimiliki oleh manusia, otak juga dimiliki oleh binatang. Oleh karena itu, dapat saja seseorang berotak tetapi tidak berakal, misalnya orang gila.
Menurut istilah, akal menurut Endang Saifuddin Anshari, merupakan satu potensi dalam ruhani manusia yang memiliki kesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis realitas kosmis yang mengelilinginya dan yang secara praktis dapat mengubah dan mempengaruhi nya. Sedangkan Musa Asy’ari mengartikan akal sebagai daya ruhani untuk memahami kebenaran yang bersifat mutlak dan kebenaran yang relatif.
Hampir senada dengan yang lain, Imam Bawani menyimpulkan bahwa akal merupakan substansi ruhaniyah yang dengannya manusia dapat memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan akal adalah suatu potensi atau daya yang terdapat dalam jiwa manusia sebagai alat untuk mengerti dan memahami segala sesuatu, baik yang bersifat teologis, kosmologis maupun etis, serta yang secara praktis dapat merubah dan mempengaruhi nya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004). Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neuro Sains dan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2002). Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986). Louis Ma’luf, Al-Munjidu fil-Lugati wal-A’lam, (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986). Toshihiko Izutzu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah dan Amiruddin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).