Hubungan Ikhtiar, Qadha dan Qadar
Pada: February 23, 2013
Kalau segala sesuatu telah dikuasai oleh takdir Tuhan, maka di manakah lagi tempat ikhtiar atau usaha manusia?. Padahal seperti diketahui bahwa manusia juga disuruh oleh Tuhan untuk berikhtiar?
Banyak pendapat berkaitan dengan keterlibatan usaha manusia dalam mewarnai takdir. Di antaranya adalah al-Jubbai, menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada atas kehendak dan kemauannya sendiri. Adapun daya (istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manunsia sebelum adanya perbuatan.
Doktrin Qadariyah berdasar atas suatu premis bahwa manusia dengan kreasinya karena Allah, telah dianugerahi kapasitas atau kehendak. Oleh karena itu istilah qadar (kekuasaan) menghasilkan perbuatan-perbuatannya sendiri dan karena itu harus tetap bertanggungjawab atasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Abdul Jabbar bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manunsia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Manusia adalah adalah makhluk yang dapat memilih. Artinya kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia. Tetapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri.
Berbeda dengan pendapat tersebut, manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih, segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Manusia menurut mereka sama dengan wayang yang digerakkan oleh ki dalang, karena itu manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pendapat inilah yang terkenal dengan Jabariyah yang dipelopori oleh Jahm bin Shafwan.
Doktrin Jabariyah berdasar asumsi bahwa manusia dan perbuatan-perbuatannya diciptakan oleh Allah, dan oleh karena itu, persoalan tentang pertanggungjawaban manusia tidaklah relevan. Asy’ari lebih memandang bahwa manusia adalah lemah, karena manusia bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Akan tetapi manusia mempunyai peluang untuk bergerak/ berusaha memilih.
Dengan demikian maksud dari Tuhan menciptakan perbuatan-perbuatan manusia adalah Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga manusia merupakan tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan. Demikian persoalan yang timbul berkenaan dengan ajaran qadha dan qadar Allah.
Lebih dari itu timbul pertanyaan pula dengan adanya takdir Tuhan, apa tidak berarti bahwa manusia itu serba terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya, sehingga manusia tidak lagi merdeka dalam berbuat. Persoalan tersebut dapat dijawab bahwa kebebasan bagi manusia, jelas memang ada, sebab perbuatan-perbuatan manusia ditentukan dan dilakukan atas dasar kehendak atau kemauannya sendiri.
Inilah kenyataaannya, tetapi di samping itu harus diakui pula kenyataan yang lain, bahwa tidak jarang pula manusia gagal dalam berbagai usahanya, sekalipun telah dikerjakan dengan sekuat tenaga. Ini semua membuktikan bahwa manusia memang mempunyai kebebasan/ kemerdekaan dalam perbuatan-perbuatannya, akan tetapi kebebasan itu ialah kebebasan yang terbatas.
Jadi kebebasan manusia ialah kebebasan yang tidak mutlak. Keterbatasan kebebasan manusia itu ialah disebabkan karena kebebasan manusia sebenarnya hanyalah dalam lingkungan kodrat dan irodatnya Tuhan. Karena itu suatu usaha yang direncanakan manunsia dapat berhasil, hanya kalau hal itu bersesuaian dengan rencana yang lebih tinggi kedudukan dan kekuatannya, yaitu rencana Tuhan. Ikhtiar atau usaha manusia, tidak musti secara mutlak berhasil.
Namun hal itu perlu dan wajib dilakukan. Dan sesudah berikhtiar, hendaknya orang juga berdoa dan bertawakal secara ikhlas kepada Tuhan. Kalau ikhtiar berhasil, Allah yang punya karunia, kalau tidak berhasil, Allah yang punya kuasa. Walaupun demikian, penempatan tawakal tidak boleh keliru. Tawakal letaknya ialah sesudah ikhtiar.
Orang tidak dapat disebut tawakal jika belum ikhtiar lebih dulu. Adapun hikmah ajaran qadha dan qadar adalah kadang-kadang orang salah tafsir dalam mempercayai qadha dan qadar, sehingga pengaruh yang timbul karenanya sangatlah negatif.
Sejarah Islam telah mencatat bahwa kemunduran dan kejatuhan umat Islam di dunia, terutama juga disebabkan karena kesalahan mereka dalam mempercayai qadha dan qadar.
Kepercayaan yang salah kepada qadha dan qadar menyebabkan terbunuhnya ikhtiar. Tidak lagi orang mau bekerja, tetapi hanya berpangku tangan mengharapkan jatuhnya sesuatu dari langit. Segala sesuatu digantungkan kepada takdir, tanpa ada usaha. Akan tetapi sebaliknya apabila ajaran qadha dan qadar dipercayai sebagaimana mestinya, tentulah ia menjadi sumber bagi bangkitnya amal-amal ikhtiar manusia, bahkan tentu menjadi sumber militansi yang tidak kenal menyerah.
Oleh karenanya ikhtiar dan usaha membuat diri bertambah dekat kepada Tuhan, mengasah budi pekerti dan akal, sehingga menjadi manusia yang mencapai derajat yang sempurna dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak perlu ragu-ragu dan bimbang dalam mengerjakan suatu amal yang baik, karena Tuhan telah menjanjikan kepada hamba-Nya yang saleh akan dimasukkan ke dalam surga dan yang durhaka akan dimasukkan ke dalam neraka.
Walaupun demikian manusia harus berusaha membersihkan jiwa sehingga harapan hidup melebihi harapannya terhadap surga atau takut neraka. Karena yang terpenting adalah bagaimana hati tidak jauh dari Tuhan, bukankah Tuhan sendiri mengatakan bahwa puncak segala nikmat di dunia adalah mengenal Tuhan? Secara umum dapat dijelaskan bahwa kepercayaan kepada takdir atau qadha dan qadar adalah salah satu dari enam pokok rukun iman.
Menurut penyelidikan para ahli sejarah dan sosiologi menyatakan bahwa tersiarnya agama Islam, yaitu hanya setengah abad serta berhasil meruntuhkan kerajaan raksasa pada waktu itu, yaitu Romawi dan Persia adalah lantaran kepercayaan kepada takdir. Bangsa Arab yang dulunya tidak mengenal jiwa persatuan politik, perjuangan antar bangsa dalam waktu sekejap telah berubah jalan sejarahnya. Sehingga sejarawan Inggris Arnold Toynbee sebagaimana yang dikutip Hamka dalam bukunya
Pelajaran Agama Islam menyatakan bahwa kedahsyatan sejarah yang terjadi di dunia ini baru tertuliskan tiga kali, yaitu; pertama, ketika Roma telah menerima agama Kristen yang berhasil menancapkan kekuasaan di daratan Eropa, kedua kebangkitan agama Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad, ketiga terbukanya era baru dan jaman modern yang ditandai dengan kebebasan berpendapat.
Kebangkitan Islam sebagian besar adalah karena kepercayaan akan takdir. Umat Islam yang telah mendapatkan siraman rohani ajaran Islam dengan sendirinya percaya akan adanya takdir. Percaya kepada takdir menjadikan pendorong atau semangat. Manusia ditakdirkan hidup hanya satu kali, sehingga hendaknya dipergunakan sebaik-baiknya.
Oleh karenanya nasib kaum muslimin terletak di bawah kilatan pedangnya, sehingga harus berjihad. Agama tanpa jihad adalah agama yang mati. Umat Islam menyerbu ke tengah-tengah musuh dengan gagah perkasa. Mereka tidak takut mati, karena mati di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak mentakdirkan celaka, tidaklah ada suatu kecelakaan akan menimpa diri.
Hal tersebut bukan berarti manusia langsung menyerahkan diri semuanya kepada Allah (tawakal). Karena tawakal kepada Allah bukan berarti menghilangkan dan meninggalkan sarana dan usaha. Bahkan tawakal tidak sah manakala tidak disertai dengan upaya untuk mencapai apa yang dibutuhkan umat manusia. Sarana-sarana yang ada dengan disertai uapaya merupakan perantara tawakal yang sebenarnya.
Hal tersebut disebabkan karena Allah mengikat sesuatu dengan sebab akibat. Ini artinya usaha dan sarana adalah modal utama, setelah hal tersebut dilakukan baru tawakal dikerjakan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, terj. Mochtar Zoerni & Joko S. Kahhar, (Risalah Gusti, Surabaya, 1999). Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, (Jakarta, UI Press, 1986). Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Bulan Bintang, Jakarta, 1982). Sayid Sabiq, Islamuna, (Nilai-Nilai Islami), terj. HMS. Prodjodikoro, dkk., (Sumbangsih Offset, Yogyakarta, 1988)
Banyak pendapat berkaitan dengan keterlibatan usaha manusia dalam mewarnai takdir. Di antaranya adalah al-Jubbai, menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada atas kehendak dan kemauannya sendiri. Adapun daya (istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manunsia sebelum adanya perbuatan.
Doktrin Qadariyah berdasar atas suatu premis bahwa manusia dengan kreasinya karena Allah, telah dianugerahi kapasitas atau kehendak. Oleh karena itu istilah qadar (kekuasaan) menghasilkan perbuatan-perbuatannya sendiri dan karena itu harus tetap bertanggungjawab atasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Abdul Jabbar bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manunsia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Manusia adalah adalah makhluk yang dapat memilih. Artinya kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia. Tetapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri.
Berbeda dengan pendapat tersebut, manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih, segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Manusia menurut mereka sama dengan wayang yang digerakkan oleh ki dalang, karena itu manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pendapat inilah yang terkenal dengan Jabariyah yang dipelopori oleh Jahm bin Shafwan.
Doktrin Jabariyah berdasar asumsi bahwa manusia dan perbuatan-perbuatannya diciptakan oleh Allah, dan oleh karena itu, persoalan tentang pertanggungjawaban manusia tidaklah relevan. Asy’ari lebih memandang bahwa manusia adalah lemah, karena manusia bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Akan tetapi manusia mempunyai peluang untuk bergerak/ berusaha memilih.
Dengan demikian maksud dari Tuhan menciptakan perbuatan-perbuatan manusia adalah Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga manusia merupakan tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan. Demikian persoalan yang timbul berkenaan dengan ajaran qadha dan qadar Allah.
Lebih dari itu timbul pertanyaan pula dengan adanya takdir Tuhan, apa tidak berarti bahwa manusia itu serba terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya, sehingga manusia tidak lagi merdeka dalam berbuat. Persoalan tersebut dapat dijawab bahwa kebebasan bagi manusia, jelas memang ada, sebab perbuatan-perbuatan manusia ditentukan dan dilakukan atas dasar kehendak atau kemauannya sendiri.
Inilah kenyataaannya, tetapi di samping itu harus diakui pula kenyataan yang lain, bahwa tidak jarang pula manusia gagal dalam berbagai usahanya, sekalipun telah dikerjakan dengan sekuat tenaga. Ini semua membuktikan bahwa manusia memang mempunyai kebebasan/ kemerdekaan dalam perbuatan-perbuatannya, akan tetapi kebebasan itu ialah kebebasan yang terbatas.
Jadi kebebasan manusia ialah kebebasan yang tidak mutlak. Keterbatasan kebebasan manusia itu ialah disebabkan karena kebebasan manusia sebenarnya hanyalah dalam lingkungan kodrat dan irodatnya Tuhan. Karena itu suatu usaha yang direncanakan manunsia dapat berhasil, hanya kalau hal itu bersesuaian dengan rencana yang lebih tinggi kedudukan dan kekuatannya, yaitu rencana Tuhan. Ikhtiar atau usaha manusia, tidak musti secara mutlak berhasil.
Namun hal itu perlu dan wajib dilakukan. Dan sesudah berikhtiar, hendaknya orang juga berdoa dan bertawakal secara ikhlas kepada Tuhan. Kalau ikhtiar berhasil, Allah yang punya karunia, kalau tidak berhasil, Allah yang punya kuasa. Walaupun demikian, penempatan tawakal tidak boleh keliru. Tawakal letaknya ialah sesudah ikhtiar.
Orang tidak dapat disebut tawakal jika belum ikhtiar lebih dulu. Adapun hikmah ajaran qadha dan qadar adalah kadang-kadang orang salah tafsir dalam mempercayai qadha dan qadar, sehingga pengaruh yang timbul karenanya sangatlah negatif.
Sejarah Islam telah mencatat bahwa kemunduran dan kejatuhan umat Islam di dunia, terutama juga disebabkan karena kesalahan mereka dalam mempercayai qadha dan qadar.
Kepercayaan yang salah kepada qadha dan qadar menyebabkan terbunuhnya ikhtiar. Tidak lagi orang mau bekerja, tetapi hanya berpangku tangan mengharapkan jatuhnya sesuatu dari langit. Segala sesuatu digantungkan kepada takdir, tanpa ada usaha. Akan tetapi sebaliknya apabila ajaran qadha dan qadar dipercayai sebagaimana mestinya, tentulah ia menjadi sumber bagi bangkitnya amal-amal ikhtiar manusia, bahkan tentu menjadi sumber militansi yang tidak kenal menyerah.
Oleh karenanya ikhtiar dan usaha membuat diri bertambah dekat kepada Tuhan, mengasah budi pekerti dan akal, sehingga menjadi manusia yang mencapai derajat yang sempurna dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak perlu ragu-ragu dan bimbang dalam mengerjakan suatu amal yang baik, karena Tuhan telah menjanjikan kepada hamba-Nya yang saleh akan dimasukkan ke dalam surga dan yang durhaka akan dimasukkan ke dalam neraka.
Walaupun demikian manusia harus berusaha membersihkan jiwa sehingga harapan hidup melebihi harapannya terhadap surga atau takut neraka. Karena yang terpenting adalah bagaimana hati tidak jauh dari Tuhan, bukankah Tuhan sendiri mengatakan bahwa puncak segala nikmat di dunia adalah mengenal Tuhan? Secara umum dapat dijelaskan bahwa kepercayaan kepada takdir atau qadha dan qadar adalah salah satu dari enam pokok rukun iman.
Menurut penyelidikan para ahli sejarah dan sosiologi menyatakan bahwa tersiarnya agama Islam, yaitu hanya setengah abad serta berhasil meruntuhkan kerajaan raksasa pada waktu itu, yaitu Romawi dan Persia adalah lantaran kepercayaan kepada takdir. Bangsa Arab yang dulunya tidak mengenal jiwa persatuan politik, perjuangan antar bangsa dalam waktu sekejap telah berubah jalan sejarahnya. Sehingga sejarawan Inggris Arnold Toynbee sebagaimana yang dikutip Hamka dalam bukunya
Pelajaran Agama Islam menyatakan bahwa kedahsyatan sejarah yang terjadi di dunia ini baru tertuliskan tiga kali, yaitu; pertama, ketika Roma telah menerima agama Kristen yang berhasil menancapkan kekuasaan di daratan Eropa, kedua kebangkitan agama Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad, ketiga terbukanya era baru dan jaman modern yang ditandai dengan kebebasan berpendapat.
Kebangkitan Islam sebagian besar adalah karena kepercayaan akan takdir. Umat Islam yang telah mendapatkan siraman rohani ajaran Islam dengan sendirinya percaya akan adanya takdir. Percaya kepada takdir menjadikan pendorong atau semangat. Manusia ditakdirkan hidup hanya satu kali, sehingga hendaknya dipergunakan sebaik-baiknya.
Oleh karenanya nasib kaum muslimin terletak di bawah kilatan pedangnya, sehingga harus berjihad. Agama tanpa jihad adalah agama yang mati. Umat Islam menyerbu ke tengah-tengah musuh dengan gagah perkasa. Mereka tidak takut mati, karena mati di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak mentakdirkan celaka, tidaklah ada suatu kecelakaan akan menimpa diri.
Hal tersebut bukan berarti manusia langsung menyerahkan diri semuanya kepada Allah (tawakal). Karena tawakal kepada Allah bukan berarti menghilangkan dan meninggalkan sarana dan usaha. Bahkan tawakal tidak sah manakala tidak disertai dengan upaya untuk mencapai apa yang dibutuhkan umat manusia. Sarana-sarana yang ada dengan disertai uapaya merupakan perantara tawakal yang sebenarnya.
Hal tersebut disebabkan karena Allah mengikat sesuatu dengan sebab akibat. Ini artinya usaha dan sarana adalah modal utama, setelah hal tersebut dilakukan baru tawakal dikerjakan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, terj. Mochtar Zoerni & Joko S. Kahhar, (Risalah Gusti, Surabaya, 1999). Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, (Jakarta, UI Press, 1986). Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Bulan Bintang, Jakarta, 1982). Sayid Sabiq, Islamuna, (Nilai-Nilai Islami), terj. HMS. Prodjodikoro, dkk., (Sumbangsih Offset, Yogyakarta, 1988)