Hubungan Karamah dan Perwalian
Pada: February 21, 2013
Hubungan karamah dan perwalian bagi Bagi Nurcholish Majid, adalah adanya kekuatan supra alami yang bersifat nisbi belaka, karena sesungguhnya kekuatan itu pada hakikatnya masih alami, kecuali bahwa jalan untuk mengetahui dan menggunakannya rumit. Dengan kata lain, ada jenis-jenis kemampuan supra alami yang dapat dipelajari, di ulang, dan dibuktikan secara lazim perkara ilmiah, meskipun metodelogi dan prosesnya berbeda.
Kekuatan supra alami diluar kapasitas manusia untuk mencapainya yaitu dengan mukjizat dari pada para nabi dan karamah para wali. Hakikatnya sebagi kekuatan supra alami karena ia muncul tidak dari gejala alami yang dikenal, yang bersifat lahiriyah, malainkan dari sumber-sumber kemampuan yang bersifat ruhani. Oleh karena iti tidak bersifat ilmiah lahiriyah, tidak dapat ditiru, dan tidak dapat diulang (dengan sengaja). Mukjizat para nabi dan karamah para wali bersifat unik
Dalam dunia nyata, para sufi atau lebih tepat mereka yang dianggap mempunyai kedudukan sebagai wali, memiliki mukjizat-mukjizat atau anugrah khusus dari Tuhan (karamat) yang merupakan tanda dari kewalian mereka. Teori-teori khusus disusun untuk membedakan secara cermat antara mukjizat-mukjizat tersebut dengan mukjizat para nabi agar keduanya tidak dianggap sebagai saingan terhadap satu sama lain.
Kata karamah yang mempunyai kata dasar karuma, secara etimologis dapat berarti dalam kemuliaan, diberi kemudahan, terjaga dan bersih dari maksiat. Jika dikaitkan dalam persoalan kewalian, karamah berarti sesuatu yang luar biasa atau keluar dari hukum kausalitas, yang berasal dari seeorang, tanpa dibarengi dengan dakwah kenabian. Atau ada yang mendefinisikannya dengan sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan, yang berasal dari seorang hamba yang taat (shalih), selalu mengikuti syari’at Nabi, dan diiringi dengan keyakinan (aqidah) yang benar dan amal yang shalih.
Kalangan sufi bersepakat menetapkan tentang adanya keramat para wali. Mereka mengkategorikan keramat para wali ini termasuk mukjizat. Para sufi menganggap cerita-cerita ajaib yang dialami oleh seseorang sufi haruslah dianggap sebagai cerita-cerita yang benar. Alasan para sufi ini, karena al-Quran mengilustrasikan mengenai adanya makhluk yang diberi ilmu dari kitab Allah swt, sehingga mampu memindahkan singasana dari suatu tempat ketempat yang lain.
Dalam al-Quran disebutkan “Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab: Aku akan membawa singasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip...” Juga kisah Maryam (ibu Nabi Isa as) ketika ditanya oleh Zakaria: “Hai Maryam, darimana kamu memperoleh makanan ini?, Maryam menjawab: makanan ini dari sisi Allah...”
Menurut Fazlurahman, pada abad ke-5/ 11 M, kepercayaan kepada keramat para wali telah tersebar luas. Ortodoksi (ulama’) dengan hati-hati juga menerimanya., Seabad kemudian ibnu Sina terpaksa harus menciptakan doktrin yang rasional untuk mengakomodasi paling tidak keramat yang dapat diterangkan oleh psikologi ilmiah. Dalam pengaruh sugesti, al-Ghazali sendiri menyusun sebuah teori yang terperinci untuk membuktikan adanya ‘alam al-mitsal sebagai suatu penengah antara alam spiritual dan alam materi.
Sedangkan Woodward, mengartikan karamah adalah ajektif yang mencirikan pencapaian religious para wali. Kramatan biasanya adalah suatu makam suci atau tempat keramat lainnya dimana wali bisa menjadi tempat memohon dengan khusyuk. Kekeramatan dalam bahasa arab berarti: “keajaiban-keajaiban yang dimiliki oleh para wali untuk kebaikan orang maupun bukti kewalian yang mereka miliki”.
Pengertian karamah bagi Woordward, secara superficial berkaitan dengan kesaktian. Kramat bisa diperoleh melalui pembersihan jiwa dan pengembangan hubungan yang akrab dengan Allah swt. Keramat merupakan salah satu diantara jalan pendahuluan menuju ke kesatuan mistik. Kebanyakan kesaktian wali berasal dari kemampuan mereka untuk memohon pengampunan atas nama Allah swt bagi orang yang tingkat pecapaian spiritualnya rendah.
Keramat dan kesaktian bisa digunakan untuk banyak tujuan yang kurang lebih sama, tetapi kesakten selalu berbahaya dan sebagian besar bersifat jahat,sementara keramat suci tidak mendua. Keduanya juga dikembangkan dengan cara yang berbeda-beda. Keramat diolah melalui ibadah, seperti zuhud dan meditasi yang berfokus pada Allah swt. Ia meliputi praktik-praktik keras dikenal sebagai tarekat, diantaranya adalah puasa, berdiri sepanjang malam di sungai, makan hanya nasi putih atau tumbuh-tumbuhan liar, tidak tidur semalam suntuk di sebuah tempat kramatan, dan lain- lain. Berbagai praktik yang seperti ini juga bisa disebut tapa.
Senada dengan Word, Suliman al-Kumayi mengatakan bahwa dalam konteks Islam lokal, definisi karamah mungkin berbeda dengan teks sufi stadar. Ia mengutip penelitian Alfani Daud terhadap orang-orang Banjar yang menunjukkan bahwa mereka mengkeramatkan kuburan tokoh ulama, tokoh raja-raja banjar, tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, dan tokoh cikal bakal desa.
Di kalangan pesantren, pemujaan terhadap wali memiliki banyak bentuk, di mana salah satunya adalah pembacaan riwayat hidup wali atau yang lebih popular disebut manaqib. Pembacaan ini akan terasa lebih intens jika dihubungkan dengan aspek praktikal tasawuf tarekat. Dalam tarekat Naqsabandiyah misalnya, untuk menyudahi serangkaian amalan-khataman, satu amalan terpenting dalah membaca manaqib syeh Abdul Qadir al-Jailani yang dilakukan oleh para khalifah dan dipimpinan oleh seorang guru. Manaqib-an ini dilakukan sebagi salah satu ritual yang tidak boleh ditinggalkan.
Fazlurrahman mendiskripsikan Kepercayaan kepada karamah para wali, dalam kenyataannya adalah bagian dari suatu konsep yang lebih luas tentang kekuasaan para wali yang disampaikan melalui penganut-penganut sufi. Kekuasaan ini memancar dari sang pemimpin spiritual dan mempengaruhi nasib baik spiritual maupun material dari pengikutnya. Kekuasaan barakah atau fayd, atau ‘karunia’. Kepercayaan yang tersebar luas tentang barakah ini menjurus kepada penghormatan, pemujaan makam para wali, dan peninggalan-peninggalan lain yang berasal dari mereka.
Pendapat Fazlurrahman itu, bisa dipahami jika seseorang meyakini bahwa karamahnya para wali tidak hanya pada waktu masih hidup, tetapi juga setelah meninggal, sebagaimana diyakini oleh mayoritas ulama’ ahl as-sunnah. Begitu pula dikatakan asy-Sya’rani yang diberitahu oleh guru-gurunya, bahwa Allah swt menempatkan malaikat di kuburannya untuk menyampaikan permohonan do’a peziarah, dan kadang wali itu keluar untuk memenuhi kebutuhan peziarah pada Allah swt. Inilah yang disebut tawassul, sebagai perantara kepada Allah swt.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Nurchalish Majid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000). Syaikh Ibrahim al Baijuri, Hasyiah ala Jauhari at Tauhid, (Semarang: Karya Toha Putra, t.th). Ali Syariati, Membangun Masa depan Islam, trj. Rahmani Astuti, (Bandung, Mizan, 1989).