Kepemilikan dalam Islam
Pada: February 01, 2013
Hak milik (kepemilikan) dalam Islam, adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan oleh Allah, di mana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap harta tersebut sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Menurut Musthafa Ahmad Zarqa dalam Ghufron Ajib, milik secara bahasa adalah pemilikan atas sesuatu (al-mal, atau harta benda), dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya.
Dengan demikian, milik merupakan penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut. Seseorang dapat memiliki hak milik terhadap sesuatu barang dikarenakan sebab-sebab sebagai berikut:
Ihraz al-Mubahah Adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki oleh orang lain.
Al-Mubahat sendiri adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (di kuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum untuk memilikinya. Misalnya air yang masih berada dalam sumbernya, ikan yang berada di lautan, hewan, pohon kayu di hutan, dan sebagainya. Setiap orang berhak menguasai harta benda ini untuk dimiliki sebatas kemampuan masing-masing. Perbuatan menguasai harta bebas ini untuk tujuan pemilikan.
Dengan demikian, upaya pemilikan suatu harta melalui Ihraz al-Mubahat harus memenuhi dua syarat. Pertama, tidak ada pi hak lain yang mendahului melakukan Ihraz al-Mubahat. Kedua, penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuan dimiliki.
Dalam masyarakat bernegara konsep ihraz al-Mubahat menjadi terbatas. Yakni terbatas pada harta benda yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku sebagai harta yang dapat dimiliki secara bebas.
Demi melindungi kepentingan publik (maslahat al-Ammah), negara atau penguasa berhak menyatakan harta-benda atau sumber kekayaan alam tertentu sebagai milik negara atau dikuasai oleh negara. Misalnya kekayaan tambang, pohon kayu di hutan, binatang langka, hutan lindung, cagar alam, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, seseorang tidak lagi bebas menebang pohon kayu di hutan, tidak boleh menguasai atau memiliki tanah dan kebun milik negara kecuali dengan izin, serta tidak boleh berburu satwa langka dan lain sebagainya.
Al-Tawallud Minal Mamluk Adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya. Artinya setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya.
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang lain/ baru). Misalnya binatang yang bertelur, berkembangbiak, menghasilkan air susu, begitu juga dengan kebun yang menghasilkan buah-buahan dan lainnya.
Prinsip tawallud tidak berlaku pada benda mati yang tidak bersifat produktif seperti rumah, perabotan rumah dan uang. Keuntungan (laba) yang dipungut dari benda-benda mati tersebut sesungguhnya tidak berdasarkan tawallud karena rumah atau uang sama sekali tidak bisa berbunga, berbuah, bertelur, apalagi beranak.
Al-Khalafiyah Adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama. Al-Khalafiyah dapat dibedakan menjadi dua kategori.
Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh orang lain, misalnya dalam hal hukum waris. Dalam hukum waris, seorang ahli waris menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya (tarikah).
Kedua, penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadlmin (pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan harta benda orang lain, atau pada ta’widh (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau menyebabkan kerusakan harta benda orang lain.
Al-Aqd Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul sesuai dengan ketentuan yang menimbulkan pengaruh terhadab obyek akad. Akad jual beli, hibah, wasiat, dan sejenisnya merupakan sumber kepemilikan yang paling penting. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat, dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan. Akad dilihat dari sebab kepemilikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ‘uqud jabariyah dan tamlik jabari.
Uqud jabariyah (akad secara paksa) adalah akad yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilan secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti paksaan menj ual harta untuk mel unasi hutang.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa seseorang bisa menjadi pemilik atas suatu harta. Pemilikan ini merupakan kekhususan atau keistimewaan (al-Ihtishash) bagi seseorang untuk secara bebas mengambil tindakan hukum terhadap miliknya. Namun bagaimana pun juga ihtishash, tersebut tidak bersifat mutlak, terutama jika dihadapkan pada benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Islam menggariskan bahwa setiap individu merupakan bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, setiap harta yang dimiliki oleh individu, terdapat hak-hak orang lain yang harus dipenuhi seperti zakat dan shadaqah. Selain itu, terdapat juga hak publik, sehingga kebebasan seseorang dalam bertindak terhadap milik pribadinya dibatasi atau tidak boleh melanggar hak publik yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Menurut Musthafa Ahmad Zarqa dalam Ghufron Ajib, milik secara bahasa adalah pemilikan atas sesuatu (al-mal, atau harta benda), dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya.
Dengan demikian, milik merupakan penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut. Seseorang dapat memiliki hak milik terhadap sesuatu barang dikarenakan sebab-sebab sebagai berikut:
Ihraz al-Mubahah Adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki oleh orang lain.
Al-Mubahat sendiri adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (di kuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum untuk memilikinya. Misalnya air yang masih berada dalam sumbernya, ikan yang berada di lautan, hewan, pohon kayu di hutan, dan sebagainya. Setiap orang berhak menguasai harta benda ini untuk dimiliki sebatas kemampuan masing-masing. Perbuatan menguasai harta bebas ini untuk tujuan pemilikan.
Dengan demikian, upaya pemilikan suatu harta melalui Ihraz al-Mubahat harus memenuhi dua syarat. Pertama, tidak ada pi hak lain yang mendahului melakukan Ihraz al-Mubahat. Kedua, penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuan dimiliki.
Dalam masyarakat bernegara konsep ihraz al-Mubahat menjadi terbatas. Yakni terbatas pada harta benda yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku sebagai harta yang dapat dimiliki secara bebas.
Demi melindungi kepentingan publik (maslahat al-Ammah), negara atau penguasa berhak menyatakan harta-benda atau sumber kekayaan alam tertentu sebagai milik negara atau dikuasai oleh negara. Misalnya kekayaan tambang, pohon kayu di hutan, binatang langka, hutan lindung, cagar alam, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, seseorang tidak lagi bebas menebang pohon kayu di hutan, tidak boleh menguasai atau memiliki tanah dan kebun milik negara kecuali dengan izin, serta tidak boleh berburu satwa langka dan lain sebagainya.
Al-Tawallud Minal Mamluk Adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya. Artinya setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya.
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang lain/ baru). Misalnya binatang yang bertelur, berkembangbiak, menghasilkan air susu, begitu juga dengan kebun yang menghasilkan buah-buahan dan lainnya.
Prinsip tawallud tidak berlaku pada benda mati yang tidak bersifat produktif seperti rumah, perabotan rumah dan uang. Keuntungan (laba) yang dipungut dari benda-benda mati tersebut sesungguhnya tidak berdasarkan tawallud karena rumah atau uang sama sekali tidak bisa berbunga, berbuah, bertelur, apalagi beranak.
Al-Khalafiyah Adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama. Al-Khalafiyah dapat dibedakan menjadi dua kategori.
Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh orang lain, misalnya dalam hal hukum waris. Dalam hukum waris, seorang ahli waris menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya (tarikah).
Kedua, penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadlmin (pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan harta benda orang lain, atau pada ta’widh (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau menyebabkan kerusakan harta benda orang lain.
Al-Aqd Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul sesuai dengan ketentuan yang menimbulkan pengaruh terhadab obyek akad. Akad jual beli, hibah, wasiat, dan sejenisnya merupakan sumber kepemilikan yang paling penting. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat, dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan. Akad dilihat dari sebab kepemilikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ‘uqud jabariyah dan tamlik jabari.
Uqud jabariyah (akad secara paksa) adalah akad yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilan secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti paksaan menj ual harta untuk mel unasi hutang.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa seseorang bisa menjadi pemilik atas suatu harta. Pemilikan ini merupakan kekhususan atau keistimewaan (al-Ihtishash) bagi seseorang untuk secara bebas mengambil tindakan hukum terhadap miliknya. Namun bagaimana pun juga ihtishash, tersebut tidak bersifat mutlak, terutama jika dihadapkan pada benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Islam menggariskan bahwa setiap individu merupakan bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, setiap harta yang dimiliki oleh individu, terdapat hak-hak orang lain yang harus dipenuhi seperti zakat dan shadaqah. Selain itu, terdapat juga hak publik, sehingga kebebasan seseorang dalam bertindak terhadap milik pribadinya dibatasi atau tidak boleh melanggar hak publik yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajawali Press, 2002).