Khabar Wahid dalam Ilmu Hadis
Pada: February 23, 2013
Khabar Wahid didefinisikan dengan berbagai pengertian oleh para ulama hadis, yang pada intinya bahwa Khabar Wahid adalah Khabar yang derajatnya tidak sampai kepada Khabar mutawatir. Seperti yang diungkapkan oleh Mahmud al-Thahhan yang dikutip oleh Munzier Suparta mengatakan bahwa Khabar Wahid ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.
Beberapa ulama memberikan definisi yang berbeda-beda tentang Khabar Wahid, seperti yang diungkapkan oleh sebagian ulama, sebagai berikut:
Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.
Pendapat lain diungkapkan oleh ulama yang membedakan hadis menjadi tiga macam yaitu hadis mutawatir, masyhur dan wahid. Seperti yang diungkapkan oleh Ajjaj al-Khalib:
Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur dan hadis mutawatir.
Ada lagi yang mengungkapkan definisi lain, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Abu Zamrah:
Tiap-tiap Khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima dari rasulullah saw. Dan tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur.
Imam Syafi’i dalam al-Risalahnya menyebutkan Khabar Wahid secara terminologi:
Khabar wahid adalah hadis yang dari satu orang dan demikian seterusnya sampai kepada sumbernya yakni Nabi atau sahabat.
Sedangkan pengertian secara istilah yang diungkapkan Imam Syafi’i dengan berbagai persyaratannya ditarik satu definisi yaitu khabar shahih yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau lebih tetapi tidak sampai kepada derajat hadis mutawatir.
Para ulama sepakat bahwa semua hadis selain yang mutawatir memuat pengertian dhanni termasuk Khabar Wahid. Sehingga mereka memberikan persyaratan-persyaratan terhadap penerimaan Khabar Wahid dapat dijadikan sebagai hujjah.
Subhi Shalih, memberikan syarat-syarat Khabar Wahid dapat dijadikah hujjah sebagai berikut:
Khabar Wahid bisa diterima kalau tidak bertentangan dengan penalaran akal, tidak bertentangan dengan hukum al-Quran yang tetap dan tegas maksudnya, sunnah yang telah diketahui secara luas, perbuatan yang dipersamakan dengan sunnah, setiap dalil yang dapat dipastikan kebenarannya
Dalam menerima kehujjahan Khabar Wa hid Imam Syafi’i mempunyai pendirian sebagai berikut :
Dan janganlah berhujjah dengan Khabar wahid kecuali terkumpul beberapa perkara, antara laian ialah adanya perawi hadis itu dapat dipercaya agamanya, terkenal jujur dalam periwayatan, dia faham apa yang diucapkan dia tahu tertukarnya makna hadis dari lafadlnya, dia tergolong orang yang meriwayatkan dengan lafadz yang ia dengar, tidak meriwayatkan hadis secara makna, karena sesungguhnya jika dia meriwayatkan secara makna, dan dia tidak tahu barangkali tertukar dari yang halal menjadi haram. Apabila dia meriwayatkan kata demi kata tiada alasan untuk merasa khawatir akan terjadinya perubahan maksud hadis. Kemudian hendaknya dia menghafalkan diluar kepala apabila meriwayatkan berdasarkan hafalan, atau dia mencatatnya dengan cermat apabila meriwayatkan dengan catatan. Dan hendaklah demikian ini terdapat pada perawi diatasnya yang meriwayatkan hadis tersebut. Dalam periwayatannya tidak terjadi tadlis (meriwayatkan dari orang yang dijumpainya dengan apa-apa yang tidak dia dengar sendiri dari perawinya, atau hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang meriwayatkan langsung dari Nabi atau dari orang yang dekat sekali hubungannya dengan Nabi, sebab masing-masing mereka menjamin hadis itu dari dia dan untuk perawi lainnya).
Dari pernyataan yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i tersebut, mengindikasikan bahwa Imam Syafi’i menerima Khabar Wahid sebagai hujjah, akan tetapi harus melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, Orang yang meriwayatkannya terpercaya agamanya, bahwa dia mempunyai akhlak yang baik dan teguh dalam memegang agama. Kedua, dikenal jujur dalam periwayatan, yaitu periwayat diakui oleh semua orang bahwa tidak memiliki cacat sedikitpun, dia tidak pernah berbohong. Ketiga, memahami apa yang diriwayatkannya, dia tahu betul tentang maksud hadis yang diriwayatkannya, dia memahami struktur kebahasaan sehingga dia memahami lafadz demi lafadz. Keempat, Menyadari suatu lafadz yang mungkin dapat mengubah arti hadis, dia memahami tentang lafadz yang ada pada hadis sehingga dalam meriwayatkan tidak secara makna atau dengan lafadz lain, karena hal itu dapat merubah arti hadis, yang akhirnya dia tidak menyadari kemungkinan dia telah mengubah halal menjadi haram atau sebaliknya. Kelima, Menghafal di luar kepala apabila meriwayatkan dengan hafalan atau dia mencatatnya dengan cermat apabila meriwayatkannya dengan catatan. Keenam, Dalam periwayatan tidak terjadi tadlis, yaitu meriwayatkan dari orang yang dijumpainya tentang apa-apa yang tidak didengar sendiri dari orang tersebut.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Bumi Aksara, Jakarta, 1997). Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Grafindo Persada, Jakarta, t. th). Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, Ar-Risalah, Mustafa al-Baby al-Halaby, (Mesir, 1969). Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Pustaka Firdaus, Jakarta,1993). Muh. Anwar Bc., HK, Ilmu Musthalah Hadis, (Al-Ikhlas, Surabaya, 1981).