Sejarah Istilah Gerhana
Pada: February 12, 2013
Pengertian pertama mengenai gerhana Bulan ditemukan dalam buku Cina yang berjudul Zhou-Shu, sebuah buku dari Dinasti Zhou. Buku ini ditemukan pada tahun 280 AD (Anna Domini). Gerhana yang ada dalam buku tersebut merupakan gerhana yang terjadi berabad-abad sebelumnya. S.M. Russell meyakini bahwa gerhana yang dideskripsikan dalam buku itu berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada 29 Januari 1136 BC (Before Christ).
Sedangkan Jhon Steele mengungkapkan bahwa catatan observasi gerhana Bulan pertama yang dilakukan oleh orang Babilonia adalah pada tahun pertama rezim Nabonassar tepatnya pada tahun 747 BCE (Before The Common Era). Pada masa itu, orang Babilonia mampu membuat suatu perhitungan tentang terjadinya gerhana, yang dikenal dengan istilah Tahun Saros (dari Bahasa Babilonia Sharu). Lama tahun saros ini sama dengan periode 223 lunasi (1 lunasi = rata-rata 1 Bulan sinodik = 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik) atau sekitar 6585 1/3 hari, yaitu 18 tahun, 10 atau 11 hari dan 8 jam. 223 lunasi itu kurang lebih sama dengan 239 Bulan anomalistik (6585, 537 hari), keduanya hanya terpaut kurang dari 6 jam.
Hal ini membuat selang waktu periode saros selain mengembalikan Bulan pada fase dan titik simpul yang sama, juga akan mengembalikan Bulan pada jarak yang kurang lebih sama dari Bumi. Oleh karena itu, hasil dari catatan observasi Babilonia ini memberikan kontribusi pengetahuan bahwa gerhana yang dipisahkan oleh periode saros akan memiliki karakterisik yang mirip.
Pada tahun 585 SM filosof kenamaan yaitu Thales, mentransmisikan pengetahuan tentang siklus saros dari Babilonia ke Bangsa Yunani. Ia juga pernah meramalkan bahwa pada tahun itu akan terjadi gerhana. Ramalan Thales ini ternyata tepat sekali dan pada saat itu memang benar-benar terjadi gerhana.
Dalam perkembangannya, fenomena gerhana tidak serta merta dipahami sebagai fenomena alamiah ilmiah. Ada sebagian orang yang memaknai sebagai kekuatan supranatural. Pada 9 oktober 425 BC, Penyihir perempuan dari Yunani tepatnya daerah Thessaly mengklaim mempunyai kemampuan untuk memadamkan cahaya Bulan dan menurunkannya dari langit.
Perkembangan pemahaman gerhana memang tidak akan terlepas dari berbagai mitologi. Orang-orang pada zaman jahiliyah meyakini bahwa gerhana terjadi ketika adanya kelahiran dan kematian orang-orang besar. Rasulullah membatalkan keyakinan ini dan menjelaskan hikmah Allah dalam terjadinya gerhana tersebut.
Ketika wafat putera Rasulullah, Ibrahim, ada sebagian golongan yang meyakini bahwa Matahari mengalami gerhana karena wafatnya Ibrahim. Mereka mengatakan demikian dengan maksud mengagungkan Nabi saw dan putranya. Ketika Nabi saw mendengar apa yang mereka katakan, Rasulullah marah, lalu berkhotbah kepada mereka yang isinya menjelaskan bahwa Matahari dan Bulan merupakan dua pertanda di antara tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah swt dan tidak ada satu kekuasaan pun bagi seseorang terhadap keduanya. Keduanya tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang, betapa pun besarnya orang tersebut. Jadi kematian atau kelahiran seseorang tidak berpengaruh sama sekali terhadap terjadinya gerhana Matahari dan Bulan.
Seorang ahli falak dari Mesir yang terkenal bernama Mahmud Phasya al-Falaky dengan menggunakan bilangan tahun Saros telah memperhitungkan terjadinya gerhana Matahari yang terjadi pada saat wafatnya Sayyid Ibrahim putra Nabi Muhammad saw. Gerhana tersebut terjadi pada tahun 10 Hijriyah, tepatnya pada hari Senin 29 Syawal 10 H bertepatan dengan tanggal 27 Januari 632 M, jam 08.30 pagi.46 Sedangkan dalam Kitab IrsyČd al-Murid, gerhana Matahari yang terjadi pada tahun 632 M terjadi pada 30 Januari yang bertepatan dengan bulan Dzulqaidah tahun 10 H.
Periodisitas gerhana dalam satu tahun memiliki pola gerhana yang berdampingan. Tentunya, tidak hanya gerhana Matahari saja, gerhana Bulan pun pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Dalam Kitab Irsyad al-Murid bahwa pada zaman Rasulullah saw tepatnya setelah Rasul hijrah dari Mekah ke Madinah, telah terjadi 8 kali gerhana Bulan yang terdiri atas 5 kali gerhana Bulan total dan 3 kali gerhana Bulan parsial.
Sedangkan para Fuqaha dan Muhadisin berpendapat bahwa pada masa Rasulullah saw tidak tejadi gerhana Bulan kecuali sekali dan Rasul melaksanakan salat atasnya. Pendapat fuqaha dan muhadisin ini tidak lantas menafikan pandangan ahli hisab diatas. Dalam pandangan mereka, meski tejadi 8 kali gerhana, Nabi melaksanakan salat gerhana Bulan hanya sekali tepatnya pada gerhana Bulan total pada tahun ke-5 hijriyah. Nabi tidak melakukan salat gerhana untuk gerhana Bulan yang tejadi sebelum tahun itu karena belum disyariatkan. Gerhana yang tejadi setelahnya adalah gerhana parsial yang tidak sempurna dalam rukyahnya kecuali akhir gerhananya saja. Tahun 5 hijriyah merupakan permulaan salat gerhana dalam Islam.
Pada dasarnya, sejarah gerhana tidak akan terlepas dari perkembangan dunia astronomi. Gerhana merupakan salah satu fenomena astronomi yang selalu menarik perhatian orang dengan berbagai macam interpretasinya, baik berupa interpretasi ilmiah, supranatural maupun mitologi. Oleh karena itu, perkembangan sisi hisab maupun pemahamannya, terkait erat dengan perkembangan keilmuan astronomi.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Alawi Abbas Al-Maliki, Penjelasan Hukum-Hukum Syari’at Islam, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dari Ibaanattul Ahkaam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994). Departemen Agama RI, Islam Untuk Disiplin Astronomi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000). Iratius Radiman, dkk, Ensiklopedi – Singkat Astronomi dan Ilmu Yang Bertautan, (Bandung: ITB, 1980). Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya). (Semarang: Komala Grafika, 2006). James Evans, The History and Practice of Ancient Astronomy, (New York: Oxford University Press, 1998). Ahmad Ghozali Muhammaf Fatahulloh, Irsyadul murid, (Jakarta: PBNU, 2005).