Ziarah Kubur menurut Ulama
Pada: February 18, 2013
Secara umum tradisi ziarah bukan datang dari Hindu atau bahkan ziarah ke makam wali disamakan dengan pemujaan dengan para Dewa di India. Sebelum Islam datang, kuburan atau makam dijadikan tempat berpesta, berzina, memainkan alat musik atau permainan lainnya di areal makam, sebagaimana pada hari besar. Rasulullah saw memberikan peringatan terhadap perlakukan umat Islam supaya tidak mengikuti jejak umat terdahulu.
Ada banyak pendapat mengenai ziarah. Ulama seperti al-Hafidz Zaki ad Din al-Mundziri dan Taqiuddin as-Subki, mengatakan bahwa pengertian hadits tentang ziarah secara umum, untuk mempebanyak ziarah ke makam Nabi saw, tidak hanya satu tahun dua kali seperti di hari raya. Namun ada juga yang memahami bahwa maknanya adalah mencegah berbuat tidak terpuji ketika ziarah seperti bermain musik dan bermain sebagaimana ketika hari raya.
Kata ziarah secara harfiyah berarti kunjungan. Apabila yang dimaksud sebagai kunjungan ke sebuah makam seorang suci (wali), kata itu menjadi berarti seluru rangkaian perbuatan ritual yang telah ditentukan.
Nabi Muhammad saw bersabda “Saya pernah melarang kalian ziarah kubur” Hadist ini tidak jelas motif pelarangannya. Akan tetapi, larangan itu disebabkan kekhawatiran akan terjadi perbuatan syirik (menyekutukan Allah swt) dan pemujaan terhadap kuburan atau pemujaan pada orang-orang mati.
Tujuan ziarah kubur salah satunya adalah mendoakan orang yang diziarahi. Para ulama ahl as-Sunnah sepakat tentang bermanfaatnya doa kepada orang yang sudah meninggal walaupun yang berdoa adalah orang kafir. Begitu pula az-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, bahwa para ulama sepakat bermanfaatnya kepada orang yag sudah meninggal, doa, istighfar, sodaqah, menjalankan kewajiban-kewajiban badaniyah dan maliyah yang belum dikerjakan mayit sebagai ganti, seperti haji.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi Dan Hukum Islam, (Jakarta: INS, 1991). Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha, (tp, 1425). Syaikh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiah ala Jauhari at-Tauhid, (Semarang, tth).