Pendapat Ulama Fikih tentang Hukum Liwath (sodomi)
Pada: March 11, 2013
Ulama fikih sepakat bahwa liwath atau sodomi adalah dosa besar. Dosa perbuatan yang lebih besar dari pada zina, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Hanya saja di antara ulama berbeda pendapat dalam menentukan ukuran hukuman yang harus ditetapkan bagi pelakunya. Ada tiga pendapat, mengenai hokum liwath atau sodomi, yaitu:
Pendapat yang mengatakan bahwa pelakunya harus dibunuh secara mutlak. Pelakunya harus dihadd, sebagaimana had zina, jika pelakunya masih jejaka, maka ia harus di dera, sedangkan jika pelakunya sudah duda (muhson), maka ia harus dirajam.
Pendapat yang mengatakan bahwa pelakunya harus diberi sanksi (ta’zir). Pendapat ini didasarkan ketika para sahabat Rasulullah. diantaranya Nashir, Qosim bin Ibrahim dan al-Syafi’i (dalam satu pendapat) mengatakan bahwa hadd terhadap pelaku liwath adalah hukum bunuh, meskipun pelakunya masih jejaka (ghoiru muhson),baik ia mengerjakan maupun yang dikerjai.
Pendapat ini berdasar dalil-dalil berikut:
Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barang siapa mengetahui seseorang telah berbuat liwath (perbuatan kaum Luth), maka bunuhlah keduanya, baik pelakunya maupun partnernya. (HR. al-Khamsah kecuali an-Nasa’i)
Ahmad Ibn Hanbal juga meriwayatkan sabda Rasulullah: Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth.
Para tabi’in diantaranya Sa’id bin Mussayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan Qotadah, Nakhai, al-Tsauri, al-Auzai, dan al-Syafii dalam satu pendapat mengatakan bahwa pelaku liwath yang masih jejaka dijatuhi hukuman hadd dera dan dibuang. Sedangkan pelaku liwath yang duda (muhson) dijatuhi hukum rajam.
Bahwasanya liwath adalah perbuatan sejenis dengan zina, karena liwath itu perbuatan memasukkan kemaluan laki-laki (penis) ke anus laki-laki lain. Dengan demikian maka pelaku liwath dan partnernya sama-sama masuk dalam keumuman dalil dalam masalah zina, baik muhson ataupun tidak.
Menurut Abu Hanifah mengatakan bahwa bagi para pelaku liwath tersebut hanya dikenakan ta’zir. Karena dalam liwath tidak ada percampuran nasab dan tidak ada konsekuensi yang ditimbulkan dari hubungan tersebut seperti umumnya hubungan suami istri, yang bisa menyebabkan hukuman mati bagi laith, karena liwath bukanlah zina.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sahal Mahfud dan Mustofa Bisri, Ensiklopedi Ijmak, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003). Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, t.th). Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar Al-Fikr, t. th). Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Daar Al-Fikr, t.th). Wahbah Zuhally, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989).