Bunuh Diri sebagai Bentuk Jihad
Pada: March 17, 2013
Bunuh diri sebagai bentuk jihad, dipahami sebagai suatu tindakan yang dilakukan sebagai bentuk dari pembelaan untuk agama guna melakukan perlawanan terhadap musuh Islam. Perlawanan yang membutuhkan pengorbanan baik jiwa dan raga. Oleh sebab itulah, perjuangan atas nama Islam yang terformulasi menjadi Jihad menumbuhkan semangat pengorbanan diri tersebut.
Mengambil istilah yang digunakan oleh Emile Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri diatas disebut sebagai Altruistic Suicide.
Pengorbanan diri yang dilakukan dalam bentuk perlawanan yang mengakibatkan kemungkinan kematian yang tinggi. Seperti, menyerang musuh sendirian di markas musuh, melakuakn peledakan/ aksi bom bunuh diri dan juga contoh-contoh yang semakna dengan peluang kematian sangat tinggi dalam tindakanya tindakannya tersebut. Intinya dimana ketika membela agama, tindakan mempertahankan kehormatan bangsa dan Negara menuntut pengorbanan diri.
Dalam literatur Islam keinginan kuat untuk mati dalam jihad diistilahkan dengan istisyhad. Kata Istisyhâd berarti thalab al-Syahadah atau mencari kesyahidan. Sedangkan orang yang meninggal dalam mencari kesyahidan di jalan Allah disebut dengan syahid.
Praktik istisyhad yang memiliki kesamaan dengan intihar dilihat dari adanya intense untuk mati. Akan tetapi, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan. Intense mati dari istisyhad adalah untuk melakukan perlawanan kepada musuh dan di dorong oleh rasa pengorbanan. Sedangkan intense mati dari intihar adalah karena keterputusasaan dan untuk mengakhiri persoalan hidup. Untuk menghindari kesalahpahaman karena kedua istilah tersebut kadangkala digunakan secara bersama sehingga member kesan kalau keduanya adalah sinonim.
Yusuf Qardhawi menyebutkan perbedaan praktik Istisyhad dan intihar. Antara lain :
Pertama, Orang yang bunuh diri adalah akibat kegagalan dirinya dalam transaksi, cinta, ujian atau hal-hal lainnya. Ia tidak berdaya dalam menghadapi kenyataan, lalu memutuskan untuk lari dari kehidupan dengan menjemput kematian. Sementara Istisyhad, sama sekali tidak memandang kepentingan dirinya sendiri. Orang yang melakukan praktik syahid rela mengorbankan dirinya untuk kepentingan yang besar. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, ia memandang remeh segala pengorbanan. Ia menjual dirinya kepada Allah untuk membeli surga.
Kedua; Jika orang yang bunuh diri mati karena menghindar dan mundur karena takut, orang yang melakukan praktik syahid meninggal karena berani maju dan menyerang.
Ketiga; Jika orang yang bunuh diri tidak memiliki tujuan selain lari dari pertarungan, sebaliknya orang yang melakukan praktik syahid memiliki tujuan yang jelas, yaitu meraih ridho Allah Swt.
Pandangan ulama tentang menyerang musuh tanpa ada harapan untuk kembali hidup dimasukkan ke dalam tiga konsep untuk dipertimbangkan :
1) At-Tahlukah (melemparkan diri sendiri ke dalam kehancuran). Ibn Al-Arabi mengartikan al-Tahlukan antara lain; menolak berbuat karena Allah, melaksanakan jihad tanpa ketentuan, melalaikan jihad, menyerang musuh tanpa mempunyai alat yang diperlukan untuk menyerang, hilang harapan akan pengampunan Allah.
Dalam rangka menyerang musuh tanpa menggunakan alat yang diperlukan untuk menyerang al-Arabi mengatakan bahwa para ulama berselisih pendapat mengenainya. Akan tetapi para ulama sepakat menentang aksi menghancurkan diri sendiri karena tidak kuatnya menanggung beban peperangan.
2) Al-Izzah (rasa mulia diri)
Al-Izz bin As-Salam berpendapat bahwa melarikan diri dari peperangan adalah dosa besar. Tetapi bagaimanapun, hukumnya akan berubah yaitu wajib baginya untuk melarikan diri kalau orang itu tahu bahwa sisa peperangan akan mengakibatkan dia terbunuh tanpa mengalahkan musuh. Kehilangan nyawa tanpa merugikan musuh atau member keuntungan bagi Muslim hanya akan membawa kerugian bagi tentara Muslim dan hal seperti itu tidak diperbolehkan.
Namun beberapa ulama mengharuskan ‘operasi mati syahid’ walaupun jika tidak mengakibatkan kerugian pada pihak musuh. Cukup saja jika ia dapat memotivasi Muslim lainnya untuk menjadi berani dalam peperangan dan dalam waktu yang sama menanamkan rasa takut ke dalam pikiran musuh.
3) Al-Ithar (mengutamakan orang lain dan berkorban untuk mereka)
Islam menganjurkan Muslim untuk mengamalkan al-Ithar. Namun aksi individu mengorbankan nyawanya sendiri untuk melindungi orang lain menurut pandangan Asy-Syathibi masih tetap menjadi persoalan yang diperselisihkan oleh para ulama. Operasi mati syahid dalam bentuk mengorbankan diri sendiri untuk menyelamatkan orang lain bisa diizinkan atau tidak. Walaupun begitu dasar argumen yang mengharuskannya, bisa dilacak kembali kepada aksi para sahabat nabi, Abu Thalhah mengorbankan diri sendiri untuk melindungi Nabi dari serangan musuh di Perang Uhud.
Dari perbedaan itu, Yusuf Qardhawi menyebutkan tentang keabsahan praktik bom bunuh diri (istishadiyyah) yang dilakukan di Palestina. Bahwa praktik istishadiyyah yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan Palestina untuk melawan penduduk Zionis, tidak termasuk dalam hal yang dilarang dengan alasan apapun, walaupun yang menjadi korban adalah penduduk sipil.
Istinbat hukum yang digunakan Yusuf Qardhawi dari kebolehannya melakukan praktik istisyhadiyyah bahwa praktik tersebut harus melihat keadanya dan kondisinya. Dalam kondisi darurat maka kaidah ushul yang menyatakan “keterpaksaan membolehkan larangan” yang berarti istisyhadiyyah sebagai bentuk dari keterpaksaan untuk melakukan perlawanan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Nawaf Hayil Takruri, al-Amaliyat al-Istisyhadiyah fi al-Mizan al-Fiqhi, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2003). Debby M. Nasution, Kedudukan Militer dalam Islam, dan Peranannya Pada Masa Rasulullah, (Yogyakarta, Tiara Wacanan Yogya, 2003). Hasbi Ash-Siddieqy, Al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).