Pembelaan menurut Hukum Pidana Islam
Pada: March 17, 2013
Pembelaan menurut hukum pidana Islam dinamakan Daf’u as-Sail (menolak penyerang/ pembelaan diri) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya atau jiwa orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai hukuman atas serangan tersebut.
Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa pembelaan menurut hukum pidana Islam adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak.
Pembelaan menurut hukum pidana Islam, merupakan suatu hak. Maka seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika meninggalknnya.
Untuk membela jiwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya. Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi’iy membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan menurut pendapat yang marjuh(lemah) di dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i serta pendapat yang rajih (kuat) di dalam mazhab Hanbali membela jiwa hukumnya jaiz (boleh) bukan wajib.
Imam Malik, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan maka harus membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk membela diri dari serangan mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak bertanggungjawab baik secara pidana maupun perdata sebab korban hanya menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap jiwanya.
Imam Abu Hanifah serta muridnya kecuali Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang harus bertanggung jawab secara perdata yaitu dengan membayar diat atas anak-anak, orang gila dan harga binatang yang telah dibunuhnya. Alasannya adalah karena pembelaan diri dilakukan untuk menolak tindak pidana, padahal perbuatan anak-anak, orang gila dan hewan tidak dianggap sebagai tindak pidana karena binatang tidak berakal.
Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang hanya bertanggungjawab atas harga hewan karena perbuatan anak kecil dan orang gila tetap dianggap sebagai tindak pidana. Meskipun penjatuhan hukuman atas keduanya dihapuskan karena keduanya tidak memiliki pengetahuan (kecakapan bertindak). Berdasarkan pendapat ini, dapat dikatakan bahwa menolak serangan anak kecil dan orang gila adalah dalam keadaan membela diri sedangkan menolak serangan hewan merupakan keadaan darurat yang memaksa.
Alasan ulama yang mengatakan ditegakannya pembelaan diri dalam segala keadaan bahwa manusia berkewajiban untuk membela dirinya dan orang lain dari segala serangan terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta pribadinya dan harta orang lain dari semua serangan yang ditujukan terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Marsum, Jinayat (HPI), (Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, 1989).