Pendekatan Historis dalam Ushul Fikih
Pada: March 11, 2013
Pendekatan historis atau pendekatan sejarah telah melekat dan terintegrasikan dalam Islam. Hal tersebut disebabkan Pertama, kewajiban bagi setiap muslim untuk meneladani Rasul, karena ia merupakan suri teladan dan uswah hasanah yang harus diikuti perilakunya oleh seluruh umat Islam.
Secara implementatif pendekatan historis (historical approach) digunakan oleh beberapa ulama dan pemikir muslim untuk mengkaji Ilmu Ushul Fikih, Para orientalis seperti S. Margaliouth, Joseph Schacht, Goldzhier, N.J. Coulson, H.R. Gibb dan Henry Lammen adalah diantara para orientalis yang menggunakan metode ini untuk mendekati sumber-sumber hukum Islam. Dengan metode ini mereka mencoba mengurai dan menjelaskan proses terciptanya sumber-sumber Islam ini secara detail dan kritis.
Pendekatan historis dalam ushul fikih sudah digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam mendekati persoalan kefikhian. Ibnu Khaldun memahami bahwa konteks ashabiyah (fanatisme kesukuan) bangsa Quraisy harus difahami tatkala memaknai Hadis ini. Sebelum Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd pernah menyatakan bahwa jika Ilmu Ushul Fikih merupakan Ilmu pengambilan dalil maka Allah mewajibkan kepada manusia untuk mengamati dan beristidlal.
Dalam konteks pemikiran Islam modern pendekatan historis dalam memahami Ilmu Usul Fikih digunakan oleh Fazlur Rahman. Ia secara sistematis dan konseptual sangat menekankan pentingnya pendekatan historis dalam Ushul Fikih. Konsepnya tentang evolusi sunnah dan adanya proses sejarah dalam relasi Sunnah-Ijtihad dan Ijma’ menjadi frame work pemikiran Rahman.
Secara konsepsional pendekatan historis, dapat ditelusuri dari beberapa istilah dan dapat disandarkan pada beberapa konsep yang ada dalam Ushul Fikih, konsep itu adalah :
Asbab al-Nuzul dan asbab al-Wurud, Konsep ini dirumuskan oleh generasi muslim awal dan dapat dijadikan sebagai genealogi pendekatan sejarah untuk memahami nash-nash syar’i. Dalam konteks ini al-Zarkasy, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syahrur, mengatakan bahwa Imam Ali pernah menyebut asbab nuzul dengan sebutan munasabat al-Nuzul (hal-hal yang terkait dengan penurunan wahyu ayat-ayat alqur’an) bukan dengan istilah asbab nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu)
Nasikh dan Mansukh. Naskh adalah pembatalan hukum baik yang menghapuskan dan melepaskan teks yang menunjuk hukum dari batasan (tidak dimasukkan dalam kodifikasi al-Quran), atau membiarkan teks tetap ada sebagai petunjuk adanya hukum yang dimansukh. Nasikh dan mansukh sesungguhnya merupakan indikasi adanya dialektika antara wahyu dan realitas.
Makky-Madany. Makky adalah ayat atau surat yang diturunkan sebelum hijrah dan Madany adalah yang diturunkan setelahnya, baik turun di masa penaklukan Makkah, atau haji wada atau dalam suatu perjalanan. Makky dan madany merupakan dua fase penting yang memberikan andil dalam pembentukan teks, baik pada dataran isi maupun struktur teks. Jika Makky-Madany pada asasnya menyingkap gejala-gejala umum dari interaksi nash dan realitas maka asbab al-Nuzul bermaksud menyingkap secara terinci interaksi tersebut dan memberi informasi mengenai fase-fase pembentukan teks dalam realitas dan kebudayaan secara lebih cermat.
Urf atau Adah. Secara bahasa ada perbedaan makna antara Urf dan Adah, secara literal kata Adah berarti kebiasaan, adat atau praktek, sementara kata Urf adalah sesuatu yang diketahui. Beberapa ahli, seperti Abu Syinnah dan Muhammad Mushtafa Syalaby, menggunakan definisi lughawi ini untuk membedakan kedua arti kata tersebut, yang pada intinya mengatakan bahwa Urf menunjukkan kebiasaan oleh individual maupun jama’ah sedangkan Adah menunjukkan kebiasaan sekelompok kecil orang saja.
Sesungguhnya secara teoritis Urf atau Adah tidak diakui sebagai sumber jurisprudensi Islam, namun dalam prakteknya Adah dan Urf memegang peran penting dalam proses kreasi hukum Islam dalam berbagai aspek hukum di negeri-negeri Islam. Sehingga walaupun demikian para ahli hukum Islam pada akhirnya memahami berbagai macam bentuk pranata adat dan memasukkan hukum adat dalam bangunan hukum Islam.
Secara historis terminologi Urf diperkenalkan oleh Imam Maliki. Pada waktu itu ia menggunakan Amal Ahl al-Madinah sebagai salah satu sumber penetapan hukum. Dalam proses selanjutnya Imam Syafi’i secara praksis juga menggunakan konsep ini, walaupun secara teoritis tidak mengakuinya. Perubahan ijtihad hukum antara waktu Syafi’i di Baghdad dan di Mesir adalah bukti dari hal ini. Selajutnya Imam Hanafi secara substansial juga memahami akan pentingnya Urf sebagai salah satu unsur penetapan hukum Islam.
Syar’u Man Qablana. Secara bahasa berarti syariat orang-orang sebelum kita. Dalam perspektif Ushul Fikih istilah ini dimaknai sebagai syariat-syariat yang diturunkan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasul sebelum datang syariat Muhammad atau syariat Islam.
Apapun relasinya dengan syariat islam, para ulama sepakat bahwa ia tidak dianggap sebagai syariat islam selama berdiri sendiri kecuali disandarkan pada Sunnah atau Kitab. Ini mengindikasikan bahwa syar’u man qab lana menjadi sebuah pertimbangan yang sangat fundamental dalam melakukan proses penetapan hukum dalam Ilmu Ushul Fikih.
Kelima konsep Ushul Fikih ini mengisyratkan bahwa historis atau sejarah menjadi salah satu faktor yang sangat fundamental dalam menetapkan hukum Islam. Dengan berbagai entitas, problematika dan dimensi yang mengitari masing-masing konsep Ushul Fikih yang dibangun oleh para Ushuliyyun ini, secara makro memberi indikasi bahwa perhatian tentang pendekatan sejarah cukup besar dan menjadi tema yang sangat penting dalam konsepsi Uhsul Fikih.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press1997). Muhammad Zarkasyi al-Burdisyi, Ushul Fikih, (Mekkah: al-Makatabah al-Fashilah, 1987). Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998). Ali Ja’far Muhammad bin Jarir al Thabari, Tarikh al-Thabary: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1991). Ricahard C. Martin, (Ed), Beberapa Pendekatan Dalam Kajian Islam, dalam Sufyanto dan Imam Musbikin (Eds), dalam Cita-Cita Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Nashr Abu Zaid, Mafhum al-Nash, Dirasah Fi Ulum al-Qur’an, Terj Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas al Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta, LKIS, 2002). Muhammad Syahrur, Dirasat Islamiyyah: Nahwa Ushul Jadidah li al-Fikih al-Islamy, Terj Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin, Metodologi Fikih Islam Kontemporer, (Yogyakarta, Elsaq Press, 2004).