Hukum Islam; Syariat atau Fikih
Pada: April 11, 2013
Istilah hukum Islam di Indonesia dalam penggunaan kesehariannya mengandung kerancuan (ambiguities) pemaknaan dan pemahaman, di satu sisi sebagai syariah di sisi lain sebagai fikih.
Dalam terminologi barat, hukum Islam dikenal dalam dua istilah. Pertama, Islamic law yang penggunaannya lebih mengacu pada al-Syariah. Kedua, Islamic jurisprudence sebagai terjemahan dari al-Fiqh al-Islami (Fikih Islam). Dalam perjalanan sejarahnya syariah sebatas berkaitan dengan soal hukum setelah mengalami persentuhan dengan ra’yu atau rasio manusia yang diformulasikan ke dalam term al-Fiqh al-Islami.
Syariat atau syara’ dalam bahasa arab secara harfiah berarti jalan yang harus dituruti oleh seorang muslim dalam penghidupanya atau dengan kata lain merupakan pedoman hidup (way of life) bagi setiap orang Islam. Ditinjau dari sudut ilmu hukum, syariah adalah dasar-dasar hukum yang mengatur seorang muslim dalam penghidupanya, dasar-dasar mana kita dapati dalam al-Quran.
Di dalam al-Quran dan hadis, istilah al-Hukm al-Islam tidak dijumpai. al-Quran maupun al-Sunnah menggunakan istilah al-Syariah, yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah al-Fiqh. Pada titik inilah kita dikatakan, bahwa hukum Islam adalah seperangkat norma hukum dari Islam sebagai agama, yang berasal dari wahyu Allah, sunnah Rasul-Nya, dan ijtihad para uliy al-amri.
Klasifikasi hukum ke dalam hukum publik, hukum perdata, hukum dagang, dan lain sebagainya bersifat relatif, tergantung sifat dan sejarah sistem perundang-undangan tertentu. Karena itu, klasifikasi hukum yang digunakan oleh hukum romawi yang diadopsi oleh sistem perundang-undangan eropa modern itu tidak pernah digunakan para ahli hukum Islam awal. Para ahli hukum syari’ah tidak membedakan antara hukum publik dan hukum perdata. Seperti dijelaskan oleh Joseph Schacht, klasifikasi yang dibuat ahli hukum muslim awal adalah antara “Hak Tuhan” dan “Hak manusia” yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum publik dan perdata.
Pengembangan materi hukum Islam yang bersifat inovatif mengacu pada upaya pembaharuan materi hukum Islam, baik tentang materi hukumnya maupun tentang sistematika penulisannya. Modifikasi pembagian hukum islam menjadi 2 (dua) bidang yang dirinci menjadi beberapa bagian, yaitu:
Pertama: Ibadah yang meliputi shalat, puasa, haji, dan lain-lain.
Kedua: Muamalat yang meliputi Ahwal al-Syakhsyiyah, perdata, perekonomian, pidana, acara, politik pemerintahan, politik kenegaraan dan lain-lain.
Menurut imam Syafi’i susunan kaidah dapat digolongkan menjadi 5 (lima) yaitu yang terkenal dengan istilah “al-Ahkam al-Khamsah” dimana seluruh perbuatan manusia dapat dimasukkan dalam salah satu golongan hukum yang lima tersebut:
- Fard (diharuskan) atau wajib, dengan ketentuan jika suatu perintah wajib dikerjakan ia mendapat pahala, sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa.
- Sunnah (sudah menjadi adat), mustahab (disukai) atau mandub (dianjurkan), dengan ketentuan jika dikerjakan dapat pahala tapi jika tidak dikerjakan tidak berdosa.
- Mubah atau Jaiz, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.
- Makruh (tercela), yaitu dengan ketentuan kalau perintah larangan dihentikan mendapat pujian, sebaliknya jika dilanggar hanya dicela, tidak sampai dihukum.
- Haram, yaitu larangan keras dengan pengertian jika dikerjakan kita berdosa atau dikenakan hukuman dan jika ditinggalkan kita mendapat pahala.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abdullah Sidik, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Widjaya, 1982). Said Agil Husain Al-Munawar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Pena madani, 2004). Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Gema media, 2001). Abdullahi Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta: LKIS, 2004). Mujiono Abdillah, Dialektika Hukum Islam Dan Perubahan Sosial, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003).