Talqin menurut Bahasa dan Istilah
Pada: April 10, 2013
Secara bahasa, kata talqin adalah shighat masdar berasal dari akar kata bahasa arab laqqana-yulaqqinu yang secara etimologis bermakna mendikte, mengajarkan atau memahamkan secara lisan. Kata itu sama maksudnya dengan kata allama, fahhama dan musyafahah yang berarti memahamkan secara lisan kepada orang lain.
Dalam pengertian istilah, talqin dipahami sebagai bimbingan mengucapkan kalimat syahadat atau kalimat yang baik yang dibisikkan kepada seorang mukmin yang telah menampakkan tanda-tanda kematian atau dalam keadaan sakarotul maut. Tujuan bimbingan itu adalah untuk mengingatkan kepada orang yang akan meninggal tersebut dengan tauhid, sehingga akhir ucapan yang keluar adalah kalimat tauhid, yakni La Ilaha Illallah.
Perlunya talqin untuk melafalkan kalimat tauhid adalah karena pada saat menjelang kematian merupakan saat yang menentukan, saat paling kritis bagi iman seseorang. Karena, setiap orang selalu berharap mati husnul khatimah, akhir kehidupan yang baik. Ini maknanya bahwa setiap orang memang berharap mati dalam keadaan iman kepada Allah.
Dalam perkembangannya, talqin ternyata juga memiliki pengertian lain ketika dipraktekkan kepada orang yang sudah meninggal (pasca sakaratul maut). Itu dilakukan diatas kubur, setelah mayit dikebumikan.
Dalam pengertian tersebut, talqin dipahami sebagai kegiatan membaca beberapa ayat al-Quran, hadis, pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan malaikat Mungkar-Nakir di dalam kubur serta memanjatkan doa kepada mayat agar diampuni dosanya dan dirahmati.
Amalan talqin yang demikian disandarkan pada sebuah hadis dari Abu Umamah al-Bahily. Ia berpesan agar mayatnya nanti diperlakukan sebagaimana yang diperintahkan Nabi saw, yaitu diseru nama jenazahnya dan diberi peringatan (pengajaran) tentang syahadat, tentang Islam sebagai agama dan sebagainya. Dalam hadis:
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006). Al-A’zami, Musthafa, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi, (Beirut: Maktab Islami, 1980). Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, (Surabaya, Pustaka Progresif, 1997). Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve). Jejen Musfah, Rindu Kematian, (Jakarta: Hikmah, 2004). Abul Qosim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mutair Al-Lahkmy As-Syamy Al-Thabrani, Mu’jamul Ausath, (Beirut Libanon: Darul Fikr, t.th).
Dalam pengertian istilah, talqin dipahami sebagai bimbingan mengucapkan kalimat syahadat atau kalimat yang baik yang dibisikkan kepada seorang mukmin yang telah menampakkan tanda-tanda kematian atau dalam keadaan sakarotul maut. Tujuan bimbingan itu adalah untuk mengingatkan kepada orang yang akan meninggal tersebut dengan tauhid, sehingga akhir ucapan yang keluar adalah kalimat tauhid, yakni La Ilaha Illallah.
Perlunya talqin untuk melafalkan kalimat tauhid adalah karena pada saat menjelang kematian merupakan saat yang menentukan, saat paling kritis bagi iman seseorang. Karena, setiap orang selalu berharap mati husnul khatimah, akhir kehidupan yang baik. Ini maknanya bahwa setiap orang memang berharap mati dalam keadaan iman kepada Allah.
Dalam perkembangannya, talqin ternyata juga memiliki pengertian lain ketika dipraktekkan kepada orang yang sudah meninggal (pasca sakaratul maut). Itu dilakukan diatas kubur, setelah mayit dikebumikan.
Dalam pengertian tersebut, talqin dipahami sebagai kegiatan membaca beberapa ayat al-Quran, hadis, pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan malaikat Mungkar-Nakir di dalam kubur serta memanjatkan doa kepada mayat agar diampuni dosanya dan dirahmati.
Amalan talqin yang demikian disandarkan pada sebuah hadis dari Abu Umamah al-Bahily. Ia berpesan agar mayatnya nanti diperlakukan sebagaimana yang diperintahkan Nabi saw, yaitu diseru nama jenazahnya dan diberi peringatan (pengajaran) tentang syahadat, tentang Islam sebagai agama dan sebagainya. Dalam hadis:
Dari Abu Umamah ra., “Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah telah diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara kamu berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab. Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah “ingatlah apa yang kamu pertahankan saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu trhadap Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan al-Quran sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat munkar dan nakir saling berpegangan tangan dan berkata, ‘ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malikat munkar dan nakir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu Hawa. (HR. at-Thabrani)Jika talqin dalam pengertian pertama memiliki fungsi mengingatkan kepada si sakit yang akan meninggal dunia kepada kalimat tauhid, maka talqin dalam jenis kedua diamalkan sebagai sarana memberikan peringatan kepada orang masih hidup agar ingat kepada siksa kubur.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006). Al-A’zami, Musthafa, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi, (Beirut: Maktab Islami, 1980). Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, (Surabaya, Pustaka Progresif, 1997). Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve). Jejen Musfah, Rindu Kematian, (Jakarta: Hikmah, 2004). Abul Qosim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mutair Al-Lahkmy As-Syamy Al-Thabrani, Mu’jamul Ausath, (Beirut Libanon: Darul Fikr, t.th).