Gibranisme (Pemikiran Kahlil Gibran)
Pada: May 08, 2013
Gaya penulisan dan gaya ungkapan yang amat khas melekat atas diri Kahlil Gibran, yang terlegitimasi semenjak dipercaya sebagai ketua organisasi Rabitah al-Qalamiyah. Melalui lembaga dan justifikasi para anggota Rabitah al-Qalamiyah ini, sering disebut sebagai Jubraniyah atau Gibranisme.
Ada tiga ciri khas dalam Gibranisme ini, yaitu:
- Memakai gaya simbolis dan kias dalam membahas dan khususnya dalam mengkritik sesuatu.
- Romantisme, yakni kecenderungan terhadap kehidupan alami, sesuai dengan fitrah dan kodrat dimana perasaan dipakai sebagai dasar utama, dan menganalisa segala sesuatu dalam keindahannya.
- Tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan baku tata bahasa dalam mengungkapkan ide sebagaimana khas para penyair.
Menilik pemikiran Gibran (Gibranisme) yang lebih menekankan keberadaan manusia di dunia ini, dan menekankan sisi kemanusiaan dan martabat serta keluhurannya sebagai makhluk Tuhan, Gibran sering dianggap sebagai filsuf eksistensial.
Dengan ciri khas Gibran ini sering kali disebut eksistensialis sayap kanan, yang mana tercermin dalam tiga bukunya, yakni: The prophet; yang berisi hubungan antara manusia dengan sesamanya, dan The earth God; yang berisi hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dan The Garden of the Prophet; yang memuat hubungan antara manusia dengan alam.
Gibran berpendapat bahwa manusia sebagai makhluk yang kompleks, ditandai oleh suatu dualisme dasar, yaitu disatu pihak manusia sebagai makhluk Tuhan, dan dilain pihak ia adalah hasil dari alamnya. Untuk menanggapi masalah ini, ada dua hal yang perlu digaris bawahi.
Pertama; untuk bertahan sebagai makhluk yang hidup, maka manusia dihadapkan pada keharusan-keharusan yang dianut oleh alam demi kelanjutan hidupnya. Kedua; ialah kenyataan bahwa manusia hidup bersama manusia-manusia yang lain, dimana hal ini menjelaskan sebagai kehidupan bermasyarakat. Gibran menganggap bahwa hidup bermasyarakat ini lebih terasa dan penting peranannya dibandingkan keharusan yang ditimbulkan oleh kodrat alamiah baginya.
Sebagai gerakan filsafat, eksistensialisme memiliki karekteristik tertentu, tetapi sebagai aliran pemikiran manusia, dalam arti luas, eksistensialisme selalu hadir dalam filsafat sastra dan mistik. Sebagai filsafat juga, seperti perhatian Budha terhadap penderitaan manusia, memandang eksistensi manusia sebagai subyek studi yang tepat. Tradisi humanism-mistisisme Gibran, menyarankan tidak hanya kemuliaan manusia tetapi juga keilahian manusia. Karya-karya Gibran nyaris semua berbau mistik dan berciri profetik.
Pengalaman eksistensial bukanlah pengalaman analisis tetapi pengalaman yang kreatif yang mensintesakan dan memadukan. Filsafat kemuliaan budi manusia yang didengungkan oleh kaum eksistensialis, nyaris sama dengan kemuliaan budi dan spiritual Gibran yang harus menjadi sumber bagi setiap hidup diatas bumi.
Aku tahu bahwa prinsip-prinsip yang mendasari tulisan adalah gema semangat, karena cenderung menuju kebebasan spiritual bagi kehidupan yang seolah jantung bagi tubuh. Ungkap Gibran dalam suratnya kepada Nakhli Gibran.
Persoalan humanisme yang diangkat Gibran dalam karya-karyanya, bersifat kompleks, karena Gibran menggunakan kata “eksistensi” bukan hanya untuk jenis manusia saja, tetapi terhadap benda-benda dan makhluk hidup lainnya.
Mengapa engkau berkata, oh benda mati? Setelah sekian lama menghuni taman ini? Tidakkah kau ketahui bahwa tiada yang mati disini? Segalanya hidup dan menyala sepengetahuan hari. Kau dan batu adalah satu. Perbedaan ada dalam degub jantung belaka. Jantungmu berdetak agak lebih cepat, bukankah begitu? Tapi tidak begitu tenang.” Tulisnya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
M. Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj: Ali Audah, (Tinta Mas, Jakarta, 1982). Wahid Akhtar, Filsafat Eksistensialisme, (Dalam Jurnal al-Hikmah, Maret-Juni 1990).