Pendapat Ulama dalam Masalah Nusyuz
Pada: May 22, 2013
Dalam menentukan hukum nusyuz, para ulama sepakat dalam menyelesaikan nusyuz mengacu pada surat an-Nisa Ayat 34, yaitu apabila istri nusyuz yang harus dilakukan oleh suaminya adalah menasehatinya, apabila sang istri tidak berubah dari nusyuznya, maka suami memisah ranjang dan apabila istri tidak juga berubah maka suami mengambil langkah yang terakhir yaitu memukulnya. Tetapi yang menjadi perbedaan pendapat adalah kriteria seorang istri dikatakan nusyuz dan seberapa batasan suami diperbolehkan memisah ranjang dan memukulnya.
Untuk lebih jelasnya dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34:
...wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..
Dalam kitab Tafsir al-Maraghi, ayat ini ditafsirkan sebagai berikut:
Maksudnya: Wanita-wanita yang kalian perkiraan akan sombong dan kalian khawatirkan mereka tidak akan memenuhi hak-hak suaminya, maka kalian dapat memperlakukan mereka dengan cara:
Tahap Pertama : Menasehati
Kalian mulai dengan memberikan nasehat yang menurut kalian bisa memberikan pengaruh pada pribadi-pribadi istri. Karena sebagian dari wanita itu ada yang bisa tersentuh jiwanya dan memberikan pengingat tentang adanya siksa Allah dan juga amarah Allah, ada juga yang bisa berpengaruh ketika nasehat itu dalam bentuk ancaman dan juga peringatan terhadap siksaan yang sangat pedih di dunia, seperti: penghinaan para musuh dan larangan terhadap mereka untuk mendapatkan dan menggunakan sesuatu yang mereka sukai, seperti: pakaian, perhiasan dll.
Tahap Kedua: Memalingkan diri dari tempat tidur
Dalam hal ini dapat terlaksana dengan mencegah dirinya dari istrinya di kamar tidur dengan memalingkan dan memisahkan diri (karena tradisi yang telah berlaku bahwa berkumpul suami istri dalam satu ranjang dapat menyatukan batin atau ketenangan jiwa) dengan ini dapat menyadarkan istri yang sedang nusyuz.
Tahap Ketiga: Memukul
Memukul yang tidak menyakiti maksudnya memukul yang tidak menyakiti atau sangat menyakitkan (membabi buta) seperti : memukul dengan tangan atau dengan tongkat kecil.
Menurut Sayyid Sabiq, yang dinamakan istri menyeleweng adalah yang durhaka kepada suaminya, tidak taat kepadanya atau menolak diajak ke tempat tidurnya atau keluar dari rumahnya tanpa seizin suaminya. Menasehati istri yaitu mengingatkann ia kepada Allah, menakut-nakuti dia dengan nama Allah dan mengingatkannya tentang kewajiban kepada suami dan hak-hak suaminya yang wajib ditunaikan, memalingkan pandangannya dari hal-hal yang dosa dan perbuatan yang dosa dan perbuatan durhaka, mengingatkannya akan kehilangan nafkah, pakaian, dan ditinggalkan di tempat tidur sendirian. Adapun mendiamkan istri dengan tidak mengajaknya berbicara boleh dilakukan asal tidak lebih dari 3 hari.
Menurut Muhammad Rashid Ridha, bahwa perempuan-perempuan yang melakukan nusyuz itu tidak mempunyai jiwa dan watak yang sama, maka apa yang akan dilakukan lebih dahulu, memberi nasehat atau meninggalkan tempat tidur dan sebagainya diserahkan kepada si suami, karena ada perempuan yang dapat menerima nasehat yang lemah lembut dan ada pula yang hanya merasa takut kalau dia diancam dengan perkataan yang kasar dan sebagainya. Sebab itu hendaklah diketahui apa sebabnya nusyuz itu timbul, apa sebab karenanya. Sebenarnya nusyuz itu bukanlah tabiat asli perempuan, melainkan sifat yang timbul kemudian.
Jika istri telah kelihatan nusyuz dengan adanya perubahan pada gerak-geriknya telah berubah dari yang biasanya dalam melayani suaminya. Jika telah terjadi demikian baiklah lebih dahulu diberikan ajaran atau nasehat dengan cara yang baik. Jika nasehat itu tidak memberi hasil, barulah boleh ditinggalkannya tempat tidur (sceiding van bed) dengan istrinya itu. Menurut Ibnu Abbas jangan dilawannya berbicara. Menurut Said bin Zubair, ditinggalkannya dari mencampuri istrinya. Sedangkan menurut Sya’bi, ditinggalkannya sebantal segulingan dengan istrinya (tidak menyetubuhinya).
Dalam kitab Tazkiyatun Nafs, bahwa jika terjadi pertengkaran antara suami dan istri, jika masalah yang ditimbulkan itu berasal dari mereka berdua atau dari pihak suami, maka istri tidak boleh menaati suaminya. Jika masalah itu tidak dapat didamaikan, maka mestilah ada dua orang hakim dari pihak suami dan dari pihak istri untuk meneliti masalah mereka berdua dan mendamaikannya. Seorang suami yang bijak apabila melihat tanda-tanda istrinya nusyuz, ia tidak langsung menghakiminya, tetapi ia akan berfikir mengapa istrinya melakukan hal itu. Mungkin saja istrinya nusyuz dikarenakan tindakan suami, semisal suami kurang layak dalam memberikan nafaqah.
Tentang hal pemukulan terhadap istri yang tidak mau berubah dari nusyuznya setelah dinasehati dan dipisah ranjang, para ulama menyepakati suami diperbolehkan memukulnya dengan catatan pukulan yang tidak mencederai, tidak menyakiti, tidak mematahkan tulang, dan tidak menjadikan fisiknya mengalami pendarahan. Seorang suami juga jangan memukul bagian wajah istrinya karena hal itu dilarang. Dan lebih bijak apabila suami menghindari memukul terhadap istri.
Tentang gugurnya nafaqah bagi istri yang nusyuz, ulama berpendapat bahwa istri yang membangkang tidak berhak memperoleh nafkah. Tetapi ada sebagian fuqaha yang berpendapat bahwa istri yang membangkang berhak memperoleh nafkah.
Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya dalil umum tentang pengertian nafkah. Ketentuan umum tersebut adalah sabda Nabi Muhammad saw:
Dari jabir ra dari Nabi saw. Dalam Hadis Haji yang panjang, bersabda: Tentang menyebutkan wanita: “Kalian wajib memberikan nafkah pada mereka dan memberi pakaian dengan cara yang baik.”
Muhammad At-tihami dalam kitabnya Qurratul Uyun, menyatakan bahwa istri yang nusyuz atau tidak ta’at pada suaminya diancam dengan siksa di neraka seperti hadis yang berbunyi:
“Wanita manapun yang tidak setia di tempat tidur suaminya, maka Allah swt pasti akan memasukkan ke dalam neraka, kemudian dari mulutnya keluar nanah, darah, dan nanah busuk.
Referensi Makalah®
Kepusatakaan:
Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Baerut: Darul Faqir, Juz 3-4, 1974). Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). Sa’ad Hawwa, Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya Ulumuddin, (Terjemah Sa ’id Hawwa, Al-Mustakhlash Fi Tazkiyatil Anfus), (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006). Hafizh Ali Syuaisyi, Kado Pengantin, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006). Abdul Walid Muhammad Bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darr Al-Jiil, 1989).