Prinsip dalam Hermeneutika Hadis
Pada: May 28, 2013
Dalam hermeneutika hadis, terdapat tujuh prinsip yang sangat penting untuk diperhatikan. Artinya, untuk dapat menangkap makna teks-teks hadis yang relevan dengan konteks historis kekinian sehingga lebih bermakna dan fungsional untuk menjawab problem-problem hokum dan kemasyarakatan masa kini, prinsip-prinsip itu adalah niscaya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, prinsip Konfirmatif, dalam penafsiran hadis, seorang penafsir harus selalu mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk al-Quran sebagai sumber tertinggi ajaran. Hal ini penting mengingat hadis berfungsi sebagai penjelas (bayan) bagi al-Quran. Nurcholish Madjid bahkan secara “ekstrim” menegaskan bahwa sunnah Nabi, khususnya segi yang dinamik dan mendasar dapat lebih banyak diketahui dari kitab suci al-Quran dari pada kumpulan kitab hadis. Pengkajian terhadap firman-firman Allah itu akan memberi gambaran yang utuh tentang siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepakterjang beliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun sebagai utusan Illahi.
Kedua, prinsip tematis-komprehensif. Teks-teks hadis tidak bisa dipahami sebagai teks yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebagai kesatuan yang integral, untuk itu, dalam penafsiran suatu hadis, seorang harus mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang relevan, sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif.
Ketiga, prinsip linguistik. Hadis Nabi adalah teks yang terlahir dalam sebuah wacana kultural dan bahasa Arab. Oleh karena itu dalam penafsiran hadis, seorang harus memperhatikan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab.
Keempat, prinsip historik. Prinsip ini menghendaki dilakukannya pemahaman terhadap latar situasional masa lampau dimana hadis terlahir baik menyangkut latar sosiologis masyarakat arab secara umum maupun situasi-situasi khusus yang melatar belakangi munculnya sebuah hadis. Termasuk dalam hal ini adalah kapasitas dan fungsi Nabi ketika melahirkan hadis yang bersangkutan.
Kelima, prinsip realistik. Artinya bahwa, selain memahami latar situasional masa lalu dimana hadis muncul, seorang juga memahami latar situasional kekinian dengan melihat realitas kaum muslimin, menyangkut kehidupan, problem, krisis dan kesengsaraan mereka. Hal ini berarti bahwa penafsiran terhadap hadis tidak bisa dimulai dari kevakuman, tetapi harus dari realitas yang kongkrit.
Keenam prinsip distingsi etis dan legis. Hadis-hadis Nabi tidak bisa hanya dipahami sebagai kumpulan hukum (compendium of law) belaka, tetapi lebih dari itu, ia mengandung nilai-nilai etis yang lebih dalam. Oleh karenanya seorang penafsir harus mampu menangkap dengan jelas nilai-nilai etis yang hendak diwujudkan oleh sebuah teks hadis dari nilai-nilai legisnya. Hal ini sangat penting mengingat kegagalan dalam menagkap makna etis dari makna legis hadis akan berakibat pada kegagalan menangkap makna hakiki dari hadis itu.
Ketujuh, prinsip distingsi instrumental dan intensional. Hadis pada hakekatnya memiliki dua dimensi, yakni dimensi instrumental (wasilah) yang bersifat temporal dan particular di satu sisi dan dimensi intensional (ghayah) yang bersifat permanen dan universal di sisi lain. Pada titik ini, seorang penafsir harus mampu membedakan antara cara yang ditempuh Nabi dalam menyelesaikan problematika hukum dam kemasyarakatan pada masanya dan tujuan asasi yang hendak diwujudkan Nabi ketika memunculkan hadisnya itu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Qolam, 2003). Musahadi HAM, Hermeneutika Hadis-Hadis Hukum; Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman, (Semarang: Walisongo Press, 2009).