Hadis sebagai Referensi Kedua Setelah al-Quran
Pada: June 14, 2013
Para sahabat di masa Rasul saw masih hidup mengambil hukum-hukum Islam atau syariat-syariat dari al-Quran yang mereka terima dari Rasul. Dalam pada itu, sering kali al-Quran membawa keterangan-keterangan yang bersifat mujmal, tidak mufashshal kerap kali membawa keterangan-keterangan yang bersifat mutlaq dan muqayad.
Lantaran demikian, para sahabat perlu kembali kepada Rasul saw, untuk mengetahui penjelasan-penjelasan yang diperlukan bagi ayat-ayat yang sedemikian sifatnya. Adapun banyak pula kejadian-kejadain yang terjadi yang tidak ada nash yang menashkannya dalam al-Quran secara tegas. Dalam hal ini lebih-lebih lagi sangat diperlukan ketetapan Nabi yang telah diakui sebagai keputusan Allah untuk disampaikan kepada umatnya tentang syari’at dan undang-undang.
Sesungguhnya Allah telah melimpahkan nikmat-nya kepada para mukmini, karena Allah telah membangkitkan dalam kalangan mereka seorang Rasul dari diri mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat Allah dan mengheningkan mereka serta mengajari mereka kitab dan nikmat walaupun mereka dahulunya dalam sesat yang nyata. (QS.Ali Imron: 164).
Dalam terjemahan ayat tersebut, jumhur ulama dan ahli tahqiq berpendapat, yang dikehendaki nikmat dalam ayat ini ialah keterangan-keterangan agama yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw, yang diberi nama hadits. Ringkasnya tak dapat diragukan lagi bahwa hadits adalah sumber hukum yang kedua bagi hukum-hukum islam, dialah sumber yang paling banyak cabangnya dan paling lengkap undang-undangnya serta paling lebar penjelasannya, sehingga memberikan perhatian yang penuh untuk mensyarahkan kandungan al-Quran dari hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran.
Ayat di atas pula yang menjelaskan bahwa hadits Nabi saw menjadi hujjah kedua dalam menetapkan hukum syara, sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa hadits itu ada yang mutawatir, shahih, hasan, dan dha’if. Di antara hadits tersebut sedikit yang menjadi hujjah, hanya hadits mutawatir, shahih, hasan, atau hadits lain yang dibantu oleh hadits tersebut, sedangkan hadits dha’if tidak dapat diambil menjadi hujjah dalam menetapkan syara.
Jadi seluruh ulama sepakat bahwa hadis itulah yang bertindak menerangkan segala yang di kehendaki al-Quran, sekaligus menjadi referensi hukum kedua setelah al-Quran, walaupun ada perbedaan-perbedaan paham mengenai batas kehujjahan hadits. Mengingat kedudukan hadis (fungsinya) sebagai mana yang sudah disebutkan kita harus mempelajari hadits dengan sedalam-dalamnya, di samping itu perlu menepis dan menyaringnya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hasbi As-Shiddiqi, Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta, Bulan Bintang, 1967).