Hadis sebagai Sumber Hukum dalam Pandangan Imam Madzhab
Pada: June 15, 2013
Dalam soal hadis ini mulai timbul perbedaan di antara madzhab fikih Islam. Pertama antara golongan madzhab sunni dengan golongan syiah, golongan yang terakhir ini tidak mau menerima hadis, kecuali yang isnadnya sampai kepada ahli bait (keluarga Rasul). Para ahli hadis dari golongan ini, bahwa semua hadis yang diterima bukan dari ahli bait Nabi saw adalah batal. Perselisihan antara beberapa madzhab sunni sendiri yang berakibat mereka ini terpecah menjadi dua golongan besar, yaitu golongan aliran ra’yi yang berpusat di Irak dan golongan aliran ahli hadis di hijaz.
Dari madzab golongan sunni ada empat macam madzhab yaitu madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hambali. Kesemuanya berbeda dalam melihat hadis sebagai landasan hukum
Pertama: madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi terambil dari nama Imam Abu Hanifah. Dalam menyusun ilmu fikih, Abu Hanifah pertama-tama mencari keterangan dari al-Quran, bila dalam al-Quran tak diperoleh suatu keterangan beliau mencarinya dalam Sunnatur Rasul. Hadis yang shahih dan masyhur, yang tersiar dalam kalangan orang yang terpercaya.
Bila ternyata dalam al-Quran tidak diemuka, maka dia mencurahkan segala kemampuannya dalam menggali dalil dari al-Quran dan hadis untuk menetapkan hukum yang bersangkutan. Tindakan yang terakhir ini dinamai Ijtihad, Abu Hanifah termasuk seorang Imam yang paling pandai dalam urusan “qiyas.”
Kedua: Madzhab Maliki. Madzhab Maliki mengambil dari nama Imam Maliki, Dalam menetapkan suatu hukum, dasar yang dipergunakan Imam Maliki tidak berbeda dengan Imam Hanafi, yakni mula-mula mencari keterangan dari al-Quran, bila tidak diketemukan dicarinya dalam hadis yang shahih. Hadis yang diterimanya dari gurunya yang ada di Hijaz, yang berjumlah tidak kurang dari 25 Syaikh (guru).
Beda beliau dengan Imam Hanafi dia beliau memandang amal perbuatan yang dilakukan orang kota Madinah adalah suatu hal yang dapat mempengaruhi kedudukan suatu hukum dan patut diperhatikan, sebab kota Madinah ialah tempat Rasul dan para sahabatnya tinggal. Para sahabat menerima segala sesuatu yang berkenaan dengan agama yang langsung dari Rasul. Oleh karena itu, tentulah segala perbuatan yang dilakukan orang Madinah itu secara turun-temurun. Terutama perbuatan yang berasal dari perbuatan yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khathab. Demikian pula halnya segala perbuatan para Imam yang berada di Madinah.
Hadis dalam pandangan Imam Maliki mendatangkan hukum baru yang tidak disebut dalam al-Quran. Hadis Nabi berfungsi adakalanya untuk menjelaskan al-Qur’an dan adakalanya mendatangkan hukum baru dalam syariat Islam. Ia berasal dari hadis yang khususnya dijadikan amal ahli Madinah.
Madzhab Syafi’i. Madzhab Syafi’i mengambil dari nama Imam Syafi’i. Dalam hal menjadikan hadis sebagai landasan hukum, Imam Syafi’i menetapkan hukum serta hujjah-hujjah dengan lebih jelas dan lebih terperinci dari pada Imam-imam lainnya. Hal itu disebabkan karena Imam Syafi’i tak tinggal diam di satu tempat saja. Beliau berkeliling ke berbagai negeri lainnya, sehingga berkesempatan untuk bertemu dengan para Imam di negeri-negeri tersebut. Antara lain beliau bertemu dengan Imam Ahmad di Baghdad. Selain dari pada itu, beliaupun telah menyusun sebuah kitab Ushul Fiqih yang bernama Risalatusy-Syafi’i.
Imam Syafi’i menetapkan hukum berdasarkan ayat-ayat al-Quran, menurut zahir ayat yang bersangkutan, menfahamkan ayat itu dalam arti yang hakiki dan baru beliau fahamkan dalam arti lainnya bila terdapat “qarinah” atau dasar lain yang dapat menyimpangkan pengertian hakiki termasuk pada arti selain arti itu.
Perihal hadis Nabi, Imam Syafi’i berpendapat, bahwa hadis yang sanadnya tunggal (khabar ahad) dapat diterima sebagai hujjah dengan syarat periwayat-periwayatnya itu termasuk orang-orang yang dapat dipercaya dan kuat ingatannya. Hal ini berbeda dengan pendapat Imam Maliki yang memberikan syarat “masyhur.”
Madzhab Hambali. Madzhab Hambali mengambil dari nama Imam Ahmad bin Hambal. Sebagaimana halnya dengan Imam Syafi’i bahwa Imam Ahmad menerima hadis yang bersanad tunggal sebagai hujjah. Dia menerima hadis tersebut tanpa syarat, asal benar-benar itu shahih keadaannya.
Secara umum keempat Imam Madzhab tersebut memposisikan hadis dalam posisi yang sangat penting dan fundamental dalam menformulasikan hukum mereka yaitu pada posisi setelah al-Quran, meskipun diantara keempatnya memiliki karakteristik yang berbeda.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abdurrahman, Perbandingan Madzhab-madzhab, (Bandung, Sinar Baru, 1986). Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung, Al-Ma’arif, 1981).