Pendapat Ulama Madzhab tentang Rukun Gadai
Pada: June 09, 2013
Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua: Akad gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh.
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah dan al-Jaifah.
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak.
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut: Dar al-Jiil, 1990).