Aliran Sivaisme dalam Agama Hindu
Pada: June 26, 2013
Pada permulaan agama Hindu yaitu pada masa peradaban Bangsa Pra-Arya pada abad kedua sebelum Masehi setelah ada golongan Bhagawata yang becorak Siva, yang golongan itu memuja Siva sebagai Pasupata. Selain itu juga adanya Bangsa Pra-Arya yang sudah mengenal pemujaan terhadap Lingga yang merupakan simbol bagi Siva, yang dihormati dan disembah secara luas sebagai lambang ke-Ilahian. Adanya penemuan berupa materai-materai yang memperlihatkan secara persis dewa bersimbol Lingga di Harappa ini membuktikan bahwa memang pada masa Pra-Arya sudah ada aliran ini, dan pemujaan Lingga ini merupakan ciri khas dari musuh-musuh bangsa Arya.
Dewa yang bersimbol Lingga ini digambarkan sedang duduk dengan kedua kakinya menjulur ke atas sejajar badannya dan kedua tumitnya bersentuhan, di kepalanya tumbuh sepasang tanduk, dan di sekelilingnya seekor Gajah, seekor Harimau, seekor Kuda Nil, dan seekor Kerbau. Semua ini rupanya menampilkan Rudra-Siva dikemudian hari, sebab sikap duduk ini merupakan salah satu yang digemari kaum Yogi hingga hari ini. Oleh karena itu, sejak Atharva Veda dia sudah dikenal sebagai Pasupati, “Tuhan bagi para binatang.” Dewa ini juga mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Lembu yang tanduknya dijadikan hiasan di materai Harappa itu. Dan di antara penemuan Harappa itu juga tedapat lukisan-lukisan kecil wanita yang telanjang atau setengah telanjang, wanita itu merupakan penampilan dari Dewi Ibu, yang khas bagi agama Mesopotamia. Tetapi kemudian, dewi ini muncul kembali dalam bentuk Dewi Durga yang merupakan pasangan dari Siva yang hingga hari ini dipuja secara luas terutama di Bengali.
Selain itu telah diketahui bahwa Sivaisme merupakan salah satu aliran yang ada dalam agama Hindu. Begitu juga dengan Siva yang merupakan salah satu dewa yang terangkai dalam Trimurti. Penjelasan mengenai keberadaan Dewa Siva dijelaskan dalam Padma Purana, yaitu ketika wujud yang agung dan absolut berkeinginan untuk melahirkan semua perwujudan yang ada di dunia ini, maka Dia merencanakan serta membagi rencana tersebut menjadi tiga bidang, bidang penciptaan dan pemusnahan. Dalam proses dan usaha tersebut, wujud agung dan melahirkan dari sisi kanan tubuh-Nya sendiri yaitu Dewa Brahman sebagai pencipta. Sedang untuk memelihara dunia ini, maka dilahirkan dari sisi kiri tubuh-Nya Dewa Wisnu. Kemudian yang terakhir, untuk melakukan pemusnahan Trinetra, maka dilahirkan Dewa Siva di bagian tengah tubuh¬Nya.
Aliran Siva ini sudah kita kenal sejak zaman Pra-Arya, yang di zaman itu dikenal sebagai nama Rudra, dewa dari bangsa Pra-Arya. Siva diakui sebagai dewa dan mempunyai sekelompok manusia yang menyembahnya pada abad kedua sebelum Masehi. Sekelompok manusia itu adalah Baghawata yang bercorak Siva, yang menyembah Siva sebagai Pasupata.
Sejak abad keenam dan selanjutnya, pemujaan Siva mengalami perkembangan yang pesat di daerah-daerah berbahasa Tamil di India Selatan. Saat itu Jainisme dan Budhisme yang berjumlah kecil mulai terdesak oleh aliran Siva ini. Gerakan ini bercirikan kebaktian yang mendalam dan kebaktian yang penuh cinta. Pada abad ketujuh, gerakan ini mencapai puncaknya dengan tokoh Sambandhar yang mempertobatkan raja setempat dari Jainisme dan Manikka Vasagar yang pada abad kesembilan menyusun sebagian dari Madah Pujian yang paling indah yang pernah ditulis dalam suatu bahasa tentang cinta Tuhan. Selanjutnya teologi dari Tamil, yaitu Siva Sidhanta dari daerah selatan disistematisir oleh seorang penyair dan penulis yang memperoleh kedudukan terpenting diabad ke-13 yaitu Meykander Karulturai, yang menyusun buku berjudul Siva-jnana Bodham.
Berkat orang itu pula perkembangan Sivaisme ini menjadi luas, terutama di Tamil. Orang-orang suci menyebarkan ajaran lainnya tentang keselamatan, yaitu keselamatan hanya akan diperoleh bila menyerahkan diri sepenuhnya pada Siva.
Pada aliran Siva Siddhanta seluruh konsepsinya tentang Tuhan ada hubungannya dengan dunia lebih dekat dengan Kristianisme daripada dengan sistem lainnya, karena dalam sistemnya Tuhan cinta. Dan setiap tindakannya muncul dari perhatiannya yang penuh kecintaan pada makhluk-makhluk-Nya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Siva sejak awal Atharva Veda sudah dikenal sebagai Pasupati atau penguasa kawanan ternak. Dalam Siva Sidhanta seluruh eksistensinya terbagi dalam 3 golongan, yaitu pati, Tuhan, yaitu Siva, pasu, ternak yang digembalakan olehnya yakni jiwa perseorangan, dan pasa atau ikatan, yaitu pemeliharaan yang diberikan oleh gembala kedewataan kepada kawanan ternaknya.
Kendati demikian, para penganut aliran ini memandang hidup sebagai terikatnya jiwa, yang dengan moksa yaitu usaha untuk melepaskan ikatan (pasa) atas jiwa (pasu) dapat terlepas dari keterikatan itu. Adapun cara untuk mencapai semua itu (moksa) adalah dengan 4 cara, yaitu carya (mentaati ajaran), kriya (ritus), yoga (penyatuan pikiran pada pikiran Tuhan), dan terakhir jnana (kearifan).
Di daerah lain selain di selatan muncul sebuah gerakan yang sama di Kashmir, yaitu di daerah India Utara. Gerakan ini ada hubungannya dengan nama-nama seperti Vasugupta dan Somananda yang hidup dalam abad kesembilan sebelum Masehi. Beda dengan gerakan yang di selatan, gerakan di Kashmir ini menyerupai sistem sankara, meskipun ada bedanya dalam 3 hal penting, yaitu, pertama, yang absolut bukan lagi Brahman, melainkan Siva, kedua personalitas ilahi dirumuskan secara jauh lebih pelik dan piawai, dan ketiga, maya tidak pernah diartikan sebagai khayali, karena secara logis Siva adalah sungguh-sungguh nyata tidak mungkin berada bersama dalam khayali atau dalam arti tidak nyata.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Rasyidi, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi (Jakarta: Bulan Bintang, 1974). Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994). Djaman’annuri, Agama Kita : Perspektif Agama-agama (Yogyakarta: Karunia Kalam Semesta, 2000). Pratedja, Sejarah Filsafat Timur (Jakarta: Pro Monus Cipto, 1971). A.G. Honiq, Ilmu Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997). Robert. C. Zaehner, Kebijaksanaan dari Timur (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992).