Dasar Hukum Puasa dan Hubungan Hamba dengan Khalik
Pada: June 27, 2013
Perintah puasa sebagai rukun Islam yang keempat dasarnya dapat ditemukan dalam al-Quran, di mana puasa sudah diwajibkan pada umat terdahulu sampai pada umat Nabi Muhammad saw. Artinya puasa tidak hanya diwajibkan kepada nabi Muhammad saw dan umatnya saja, tetapi juga diwajibkan kepada nabi-nabi dan umat sebelumnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. al-Baqarah/2: 183-184 yang artinya:
Puasa inilah hasil pengembangan dari maksud diciptakan manusia untuk mengabdi kepada Allah. Rukun Islam yang terdiri dari membaca dua kalimah syahadat, mengerjakan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa dan pergi haji ke Baitullah bagi yang mampu. Semua merupakan perwujudan dari aktifitas ibadah kepada Allah swt. Hal itu sesuai dengan hadis Nabi yang artinya:
Ajang pertemuan ini sebagai arena untuk mewujudkan beberapa impian yang terpendam dalam benak, untuk dapat melakukan dialog secara intern dengan Allah swt. Sebab dalam keseharian, manusia selalu dibanjiri rutinitas kerja yaitu aktifitas harian yang hanya mempersoalkan masalah duniawi.
Kewajiban puasa dalam Islam baru ditetapkan pada periode Madinah (622-632), sebagaimana yang berlaku pada kewajiban ibadah lainnya.
Puasa disyariatkan pada tahun ke-2 hijriyah setelah arah kiblat dalam salat dipalingkan dari Masjidil Aqso di Yerusalem ke Ka’bah (Baitullah Mekah). Ada pula yang berpendirian bahwa pensyariatan puasa terjadi pada tahun ketiga hijriyah.
Ini artinya puasa merupakan ibadah yang sudah ditetapkan Allah supaya hamba-hamba-Nya melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Suzanne Hannef, Islam dan Muslim, terj Siti Zainab Luxfiati, (Pustaka Firdaus; Jakarta 1993). Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Terjemah Sahih Bukhari, oleh H. Zainuddin, (Wijaya; Jakarta1969).
Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. al-Baqarah/2: 183-184 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.Takwa menjadi barometer bagi keberhasilan puasa seseorang, sehingga dengan puasa orang dapat mendekatkan diri dengan Allah swt dan lebih jauh berma’rifah (mengenal) Allah dengan beribadah kepadanya, dan melaksanakan hak-hak ‘ubudiyah serta uluhiyah-Nya.
Puasa inilah hasil pengembangan dari maksud diciptakan manusia untuk mengabdi kepada Allah. Rukun Islam yang terdiri dari membaca dua kalimah syahadat, mengerjakan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa dan pergi haji ke Baitullah bagi yang mampu. Semua merupakan perwujudan dari aktifitas ibadah kepada Allah swt. Hal itu sesuai dengan hadis Nabi yang artinya:
Dari Ibnu umar katanya: Islam itu ditegakkan atas lima pondasi yaitu bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, melaksanakan salat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu dan puasa di bulan ramadhan”. (HR. Bukhari Muslim dan Ahmad)Puasa sebagai bagian perwujudan dari aktifitas ibadah kepada Allah swt. Kehadirannya selalu dinantikan oleh sebagian besar umat Islam, sebab puasa di bulan ramadhan merupakan ajang pertemuan langsung antara hamba dengan sang Kholik.
Ajang pertemuan ini sebagai arena untuk mewujudkan beberapa impian yang terpendam dalam benak, untuk dapat melakukan dialog secara intern dengan Allah swt. Sebab dalam keseharian, manusia selalu dibanjiri rutinitas kerja yaitu aktifitas harian yang hanya mempersoalkan masalah duniawi.
Kewajiban puasa dalam Islam baru ditetapkan pada periode Madinah (622-632), sebagaimana yang berlaku pada kewajiban ibadah lainnya.
Puasa disyariatkan pada tahun ke-2 hijriyah setelah arah kiblat dalam salat dipalingkan dari Masjidil Aqso di Yerusalem ke Ka’bah (Baitullah Mekah). Ada pula yang berpendirian bahwa pensyariatan puasa terjadi pada tahun ketiga hijriyah.
Ini artinya puasa merupakan ibadah yang sudah ditetapkan Allah supaya hamba-hamba-Nya melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Suzanne Hannef, Islam dan Muslim, terj Siti Zainab Luxfiati, (Pustaka Firdaus; Jakarta 1993). Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Terjemah Sahih Bukhari, oleh H. Zainuddin, (Wijaya; Jakarta1969).