Pengertian dan Dasar Hukum Ila'
Pada: June 15, 2013
Kata ila’ berasal dari bahasa Arab al-Aliyatu yang berarti sumpah. Al-Juzairi memberi keterangan bahwa kata ila’ secara bahasa lebih umum dari pengertian secara syarak, di mana syarak mengkhususkan hanya terhadap soal watha’ dari suami kepada istrinya. Dengan demikian sumpah tidak makan, minum atau lainnya tidak termasuk sumpah itu.
Sumpah ila’ adalah sumpah yang bersangkutan dengan hubungan suami istri dan dapat diambil kesimpulan bahwa sumpah ila’ adalah sumpah suami tidak akan menggauli istrinya dan oleh Islam dibatasai sumpahnya tersebut hanya selama empat bulan.
Sebenarnya sumpah ila’ sudah ada sejak zaman jahiliyah, yang pada masa itu sumpah ila’ merupakan tradisi seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dengan tujuan agar istrinya merasa terkatung-katung seperti seorang perempuan yang tidak mempunyai suami dan merasa tersiksa dengan keadaan demikian tersebut dengan tidak membatasi waktu dalam bersumpah untuk tidak menggauli istrinya tersebut.
Kemudian seiring dengan perubahan dan kemajuan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, terjadi pula perubahan pada ketentuan sumpah ila’ yang oleh risalahnya yang berupa wahyu diberi batasan tenggang waktu empat bulan. Yang demikian tersebut agar hak-hak seorang istri dapat terlindungi.
Dasar hukum ila’ terdapat dalam al-Quran yaitu firman Allah swt yang artinya:
Bagi para suami yang meng-ila’ istrinya, maka menunggu selama empat bulan, bila dia kembali maka sesungguhnya Allah swt maha pengampun dan maha penyayang. Bila dia ingin, mentalaknya, maka sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (QS: Al- Baqarah: 226-227)
Para ulama pun sepakat, kalau ada suami meninggalkan istrinya dalam batas lebih dari empat bulan, tidak juga disebut ila’ kecuali kalau dia bersumpah. Oleh karena itu ada kaitanya dengan wajib kafarat, dan istrinya tidak tertalak karena ditinggalkan itu.
Adapun dasar hukum ila’ yang berasal dari hadis, yaitu:
Isma ’il berkata kepadaku dari Malik dari nafi’ dari Ibnu Umar: “Apabila telah berlangsung empat bulan, maka dihentikan sampai ia mentalaknya. Dan tidaklah terjatuh talaknya sehingga ia mentalaknya.”
Adapun mengenai iddah bagi isteri yang di-ila’ menurut para ulama bila seorang bersumpah tidak akan mendekati isterinya, kemudian masa ila’ yaitu empat bulan telah berlalu, apakah istri yang diila’ harus menjalani iddah atau tidak, maka jumhur fuqaha berpendapat bahwa ia harus menjalani iddah.
Jabir bin Said berpendapat bahwa tidak wajib atasnya iddah jika telah berhaid tiga kali selama masa empat bulan. Pendapat ini dipegangi oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas ra, alasannya maksud diadakannya iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim, sedangkan kekosongan rahim ini sudah dapat diketahui dari masa tersebut.
Jumhur fuqaha beralasan bahwa istri yang di-ila’ adalah istri yang dicerai pula oleh karenanya ia harus beriddah seperti perempuan lain yang dicerai. Bila seorang bersumpah tidak akan mendekati istrinya, tetapi dalam masa empat bulan dua menyentuh istrinya itu, maka hentikanlah masa ila’nya dan dia wajib membayar kafarat yamin (denda melanggar sumpah), tetapi kalu sampai habis mas empat bulan itu dia tidak bersenggama dengan istrinya itu, maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa istri berhak meminta kepada suaminya akan menyenggamainya atau mentalaknya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Achmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Abdul Rahman Al-Juzairi, Al-Fiqh ‘Ala Mazhab Al-‘Arba’ah, (Beirut: Lebanon, Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th). Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawa’ul al-Bayan, (Damsyik, Syuriah Maktabat al-Ghazali, t.th). Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Bairut; Libanon: t.th). Muhamamd bin Isma’il, Bulughul Maram, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992).