Pengertian dan Sejarah Mihnah
Pada: June 21, 2013
Secara bahasa kata Mihnah memiliki arti cobaan, ujian atau bala. Sedangkan secara istilah mihnah adalah ujian keyakinan yang ditujukan kepada para ulama, ahli hadis dan hukum sehubungan dengan permasalahan penciptaan al-Quran, Di antaranya adalah Ahmad bin Hambal (W. 855/ 240 LI), karena keteguhannya mempertahankan pendapat bahwa al-Quran adalah qadim (tidak diciptakan).
Adapun peristiwa mihnah terjadi pada masa khalifah Abbasiyah yaitu khalifah al-Ma'mun (170 H/ 785 M-218 HI 833 M). Peristiwa mihnah tersebut terjadi selama tiga periode pemerintahan yaitu al-Makmun, al-Mu’tasim (W 227 H) dan al-Watsiq (W 232 H).
Peristiwa mihnah yang terjadi pada masa khalifah al-Makmun itu karena perbedaan pendapat sehubungan dengan paham khalq al-Qur’an. Muktazilah berpendapat bahwa al-Quran adalah baru karena kalam Allah swt yang tersusun clari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti is sesuatu yang barn, jadi tidak qadim. Jika al-Quran itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik.
Khalifah al-Makmun menginstruksikan supaya dilaksanakan pengujian terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma'mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa al-Quran adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting di dalam pemerintahan, terutama dalam jabatan Qadi.
Para ulama Ahlus Sunnah wal-Jamaah termasuk imam Ahmad bin Hambal sepakat mengatakan bahwa al-Quran adalah kalam Allah dan sifat Allah yang qadim, bukan makhluk yang baru, tuhan bersama sifat-Nya adalah qadim, yang tidak berpermulaan ada-Nya. Kalam Allah yang qadim itu diperdengarkan kepada Malaikat Jibril dan dijadikan bersuara dan berhuruf, Malaikat Jibril membawakan kepada Nabi Muhammad saw sebagai wahyu Tuhan. Bacaan al-Quran adalah barn, huruf-huruf al-Quran yang diucapkan oleh pembacanya adalah baru karena is merupakan sifat Bari pembacanya, atau salah satu dari bermacam-macam perbuatannya, sedangkan perbuatannya itu tidak diragukan adalah baru.
Mereka mengatakan al-Quran dapat dillihat dari dua segi. Pertama, dari segi sumbernya, yaitu Allah yang bersifat Kalam dan al-Quran adalah Kalam Allah. Kedua dari segi huruf-hurufnya dan kalimat-kalimat yang tercliri dari huruf-huruf itu, yaitu makna-makna yang ditunnjukkan oleh kalimat-kalimat menurut Muktazilah dan yang dipahami dari situ. Dua segi pandangan inilah yang menjadi cumber terjadinya peristiwa mihnah tersebut.
Muktazilah menafikan sifat al-Kalam dari Allah karena menurut mereka sifat itu termasuk sifat yag barn. Apa yang dihubungkan kepada-Nya, yaitu bahwa Dia berkata-kata, adalah karena Dia yang menciptaakan kata-kata itu pada suatu tempat. Jadi, Allah berkata-kata kepada Musa ialah dengan menciptakan kata-kata di pohon tertentu. Sedangkan para fuqaha dan muhadditsin menetapkan sifat al-kalam kepada Allah. Atas dasar itu, menurut mereka, al-Quran adalah kalam Allah, dan karena itu al-Quran bukan rtikhluk sebagaimana makhluk-makhluk yang lain. Demikianlah pandangan kedua belah pihak yang masing masing berawal dari sudut pandang yang berbeda.
Ketika naik tahta, al-Makmun didekati oleh kalangan Muktazilah dan secara terang terangan menyatakan dirinya menganut paham Muktazilah. Ia mengagungkan Muktazilah secara berlebihan, Muktazilah menyadari kedudukan mereka dalam pandangan al-Makmun, khususnya ketika ia memilih Ahmmad ibn Abi Dawud menjadi teman dekat dan keluarganya. Dengan adanya hubungan antara al-Makmun dan Muktazilah dalam bidang pemikiran dan kekeluargaan, kemudian Muktazilah menggunakan kesempatan tersebut untuk menyebarluaskan pendapat bahwa al- Qur'an adalah makhluk. Al-Makmun mengumumkannya pada tahun 212 H. Walaupun demikian ia masih memberikan kemerdekaan kepada rakyatnya dalam beraqidah dan berpendapat, dan tidak memaksa mereka untuk menganut pendapat yang tidak sejalan dengan pendapat mereka.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir, (Pustaka Progresif, Surabaya, 2002). IMN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Djambatan, Jakarta,1992). Al-Syahrastani, Al-Milal wa Nihal, (Bina Ilmu, Surabaya 2006). Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Indonesia. (Ichtiar Baru Van Hoene. Jakarta, 1993). Sirajuddin Abbas, Etiqad Ahlussunnah wal-Jamaah, (Pustaka Tarbiyyah, Jakarta, 1984). Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Terjemahan Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Logos Pulishing house, Jakarta, 1996).