Perbedaan Nikah Mut'ah dan Nikah Sunah
Pada: June 12, 2013
Agar lebih jelas, mengenai persoalan nikah Mut’ah, referensi ini akan memaparkan perbedaan nikah Mut’ah dengan nikah sunah (istilah nikah selain Mut’ah atau yang umumnya dilaksanakan Ahl Sunnah wa al-Jamaah) sebagai berikut:
Pertama, bahwa nikah Mut’ah harus disebutkan batas waktu yang jelas dan disepakati untuk hidup bersama, jika tidak disebut, menurut ulama Syiah, ia menjadi langgeng dan menurut ulama lainnya ia menjadi tidak sah, sedangkan dalam nikah sunnah tidak boleh disebut batas waktu karena seharusnya ia langgeng.
Kedua, mahar merupakan rukun nikah sehingga bila tidak disebutkan dalam akad pernikahan Mut’ah tidak sah. Sedangkan dalam nikah sunnah, mahar bukan rukun sehingga bila tidak disebut dalam akad nikah tetap sah.
Ketiga, Iddah (masa menunggu) bagi nikah Mut’ah setelah habis masa perjanjian nikah adalah dua kali haid. Hal ini berbeda dengan iddah pada nikah sunnah yakni tiga kali haid.
Keempat, suami-isteri dalam nikah sunnah saling mewarisi, sedangkan dalam nikah mut’ah diperselisihkan. Ada yang berpendpat saling mewarisi dan ada juga yang berpendapat sebaliknya.
Kelima, tidak ada kewajiban nafkah atas suami bagi perempuan yang dinikahi secara Mut’ah, kecuali bila disyaratkan dalam akad. Berbeda dengan nikah sunnah nafkah merupakan merupakan kewajiban suami.
Demikian beberapa perbedaan antara nikah sunnah dengan nikah mut’ah dengan nikah sunnah. Namun, meski mayoritas memahami dari kumpulan teks keagamaan, bahwa nikah Mut’ah haram dan terlarang dalam pandangan agama, mereka tidak menamakannya dengan zina.
Menurut hemat penulis, jika kita hendak menempuh jalan kehati-hatian, tidak melakukan Mut’ah jauh lebih aman dari pada melakukannya.
Kalau hendak menempatkan perempuan dalam kedudukan terhormat, tentu seorang pun tidak akan rela melakukan Mut’ah, karena jika hendak meraih kesucian jiwa, menghindari sedapat mungkin ke arah dosa sekecil apapun.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai S3ks dari Nikah Mut’ah samapi Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2002). Sirajuddin Akbar, I’tikad Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1980). Ahmad Zen al-Kaf. Dialog Apa dan Siapa Syiah (Surabaya: Pustaka al-Bayyinah, 2005).
Pertama, bahwa nikah Mut’ah harus disebutkan batas waktu yang jelas dan disepakati untuk hidup bersama, jika tidak disebut, menurut ulama Syiah, ia menjadi langgeng dan menurut ulama lainnya ia menjadi tidak sah, sedangkan dalam nikah sunnah tidak boleh disebut batas waktu karena seharusnya ia langgeng.
Kedua, mahar merupakan rukun nikah sehingga bila tidak disebutkan dalam akad pernikahan Mut’ah tidak sah. Sedangkan dalam nikah sunnah, mahar bukan rukun sehingga bila tidak disebut dalam akad nikah tetap sah.
Ketiga, Iddah (masa menunggu) bagi nikah Mut’ah setelah habis masa perjanjian nikah adalah dua kali haid. Hal ini berbeda dengan iddah pada nikah sunnah yakni tiga kali haid.
Keempat, suami-isteri dalam nikah sunnah saling mewarisi, sedangkan dalam nikah mut’ah diperselisihkan. Ada yang berpendpat saling mewarisi dan ada juga yang berpendapat sebaliknya.
Kelima, tidak ada kewajiban nafkah atas suami bagi perempuan yang dinikahi secara Mut’ah, kecuali bila disyaratkan dalam akad. Berbeda dengan nikah sunnah nafkah merupakan merupakan kewajiban suami.
Demikian beberapa perbedaan antara nikah sunnah dengan nikah mut’ah dengan nikah sunnah. Namun, meski mayoritas memahami dari kumpulan teks keagamaan, bahwa nikah Mut’ah haram dan terlarang dalam pandangan agama, mereka tidak menamakannya dengan zina.
Menurut hemat penulis, jika kita hendak menempuh jalan kehati-hatian, tidak melakukan Mut’ah jauh lebih aman dari pada melakukannya.
Kalau hendak menempatkan perempuan dalam kedudukan terhormat, tentu seorang pun tidak akan rela melakukan Mut’ah, karena jika hendak meraih kesucian jiwa, menghindari sedapat mungkin ke arah dosa sekecil apapun.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai S3ks dari Nikah Mut’ah samapi Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2002). Sirajuddin Akbar, I’tikad Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1980). Ahmad Zen al-Kaf. Dialog Apa dan Siapa Syiah (Surabaya: Pustaka al-Bayyinah, 2005).