Biografi Lanre Said Pendiri Pondok Pesantren Tuju Tuju
Pada: July 04, 2013
Lanre Said, salah seorang ulama Sulawesi Selatan, dilahirkan pada 1923 M. Tidak diketahui pasti hari, tanggal, dan bulannya, di sebuah kampung bernama Ulunipa atau Manera, Salomekko, Kabupaten Bone. Anak kedua dari tujuh bersaudara, dari pasangan Andi Passennuni Petta Ngatta dengan Andi Marhana Petta Uga.
Nama kecilnya adalah Andi Muhammad Said, namun setelah masuk di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI), Sengkang, namanya dirubah oleh KH Muhammad As’ad menjadi Lanre Said.
Dikisahkan, sebagaimana ditulis oleh Ilham Kadir bahwa ibunya pernah mendapatkan Lailatul Qadar dan berdoa agar dikaruniai keturunan ulama semuanya hafal al-Quran dan penghuni surga. Lanre Said tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan didikan ayahnya.
Setelah berumur sepuluh tahun, ia dikirim belajar ke MAI Sengkang pada tingkat Ibtidaiyah untuk manyusul kakaknya Petta Haji Lesang yang telah belajar disana. Dari tujuh bersaudara, semuanya pernah belajar dan mondok di MAI Sengkang. Adik-adiknya yang turut serta mondok dan belajar di bawah asuhan KH Muhammad As’ad adalah Petta Haji Sikki, Petta Haji Dollah, Petta Hj Sokku, Petta Lebbi, dan Andi Abdul Malik Petta Simpuang.
Lanre Said menghabiskan waktunya selama 16 tahun untuk menimba ilmu di madrasah As’adiyah. Ia menempuh seluruh jenjang pendidikan yang ada di As’adiyah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan kelas atau halaqah khusus, kelas ini setingkat dengan perguruan tinggi. Pelajaran yang diterima dari seorang guru lebih spesifik (khusus). Syekh yang pernah mengajar di sana kesemuanya berasal dari Timur Tengah.
Dari penelusuran penulis, mereka adalah Syekh Ahmad al Hafifi, merupakan ulama jebolan al Azhar Cairo yang langsung didatangkan dari negara asalanya, Mesir dan Syekh Sulaiman as Su’ud, merupakan ulama yang dikirim langsung dari Mekah, Saudi Arabia. Ketika umurnya yang menginjak 22 tahun, Lanre Said telah menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan yang ada di Madrasah Arabiyah Islamiyah Sengkang. Tepatnya tahun 1945.
Setelah itu, ia mengajar pada almamaternya selama empat tahun, hingga 1949. Kemudian kembali ke kampung halamannya di Tuju-Tuju untuk mengabdikan diri dengan mengajar dan berdakwah. Pada tanggal 7 Agustus 1953, Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Sulawesi Selatan Abdul Qahhar Muzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan dan daerah yang dikuasainya ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat.
Dengan bergabungnya Qahhar Muzakkar ke dalam NII, secara otomatis jaringan NII ini yang telah diproklamirkan Kartoswirjo pada 7 Agustus tahun 1949 bertambah luas. Untuk menopang perjuangan NII, Kartoswirjo membentuk angkatan bersenjata yang diberi nama Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang digunakan untuk mempertahankan eksistensinya, termasuk menentang pasukan dan pemerintahan Republik Indonesia yang tidak setuju tentang perjuangan, visi, dan misi NII.
Sejak awal, setelah menyelesaikan pendidikannya di MAI Sengkang, Lanre Said langsung terjun mengajar dan tidak tertarik dengan pola perjuangan DI/TII. Namun, Lanre Said ikut bergabung dengan DI/TII di bawah komandan Qahhar Muzakkar karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain.
Saat itu, sejumlah teman-temannya sudah lebih dulu bergabung dan memberikan informasi kalau Lanre Said merupakan salah satu alumni terbaik MAI Sengkang dan penguasaan hukum Syariah serta berbagai macam disiplin ilmu lainnya sangat tinggi.
Untuk itulah, walaupun berada nun jauh di pulau yang sangat terpencil itu, tetap saja berkali-kali anggota Qahhar Muzakkar datang untuk mangajaknya ikut bergabung. Padahal, saat itu alat transportasi dan komunikasi masih sangat langka. Setelah Qahhar Muzakkar dinyatakan terbunuh oleh pasukan siliwangi pada tahun 1965, secara total pasukan dan anggota DI/TII di bawah kekuasaannya menyerah dan ikut kembali bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka, pada saat itu, Lanre Said merasa mendapatkan angin segar dan leluasa mencari tempat untuk mendirikan lembaga pendidikan. Pada tahun ini juga, Lanre Said melakukan ekspedisi pertama. Dia berangkat dari Pulau Sembilan yang bernama Kanalo (Sinjai) dengan menumpang kapal barang disertai oleh 20 orang yang barasal dari veteran pasukan DI/TII, serta beberapa kerabatnya. Mereka menuju Pulau Kalimantan bagian selatan, tepatnya di Kabupaten Kota Baru Kecamatan Pamukan Selatan, di sebuah kampung bernama Tanjung Salamantakan.
Bermukim mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan sosial termasuk di antaranya belajar mengajar bagi penduduk setempat. Sekitar tahun 1970, Lanre Said kembali melanjutkan perjalanannya ke sebuah pulau yaitu Sumbawa dan Lombok, bahkan sempat ke Nusa Tenggara Timur tepatnya di Flores.
Dalam perjalanannya, misi utamanya tetap mencari tempat untuk mendirikan lembaga pendidikan. Tetapi apa yang didapatkan di daerah ini ternyata lebih parah dari sebelumnya. Jika di daerah Kalimantan para masyarakatnya bersikap masa bodoh terhadap pendidikan, di daerah Sumbawa, Lombok, dan sekitarnya Lanre Said tidak diberikan kesempatan untuk mengajar dan berdakwah. Selama beberapa bulan disana, hanya diperkenankan naik mimbar sekitar dua kali saja. Bahkan, Lanre Said pernah dikepung akan dihabisi massa dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Dia dan beberapa pendamping setianya dikepung dalam mesjid.
Namun seperti biasa, ada saja beberapa orang bepengaruh yang diutus oleh Allah untuk membelanya. Karena pembelanya ini tergolong jawara dan sangat berpengaruh maka para massa ini pun ciut nyalinya dan akhirnya bubar. Tak lama, akhirnya Lanre Said kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia mencoba ke pulau Jawa, Surabaya, di tempat para saudaranya yang lebih dulu telah merantau dan bermukim di kota pahlawan ini.
Berada di Surabaya jauh lebih nyaman dibanding beberapa tempat dan kampung halaman yang disinggahinya selama dalam perantauan. Di sana ia diberi kesempatan dan keleluasan untuk mengajar dan berdakwah di beberapa mesjid. Hal ini dapat dimengerti karena mayoritas penduduk di daerah tempat tinggalnya adalah masyarakat pendatang juga atau heterogen dan memiliki sumberdaya manusia yang lebih tinggi dari pada territorial dakwah sebelumnya.
Lanre Said juga mengoptimalkan waktunya dan kesempatannya untuk tetap mencari tempat yang sesuai dalam mendirikan lembaga pendidikan yang selama ini diidam-idamkannya. Dia pun melakukan kroscek dari satu daerah ke daerah lain sampai ke Jawa Barat tepatnya di daerah Cirebon. Namun, hasilnya nihil alias tidak menggembirakan.
Ini berlanjut sampai tahun 1973, Lanre Said pernah kembali ke Tuju-Tuju. Namun itu tidak berlangsung lama, sekadar mengantar keluarga dari istri keduanya yaitu Andi Nurhasanah Petta Cinnong ke Tuju-Tuju dan dua bulan kemudian kembali ke Surabaya hingga awal tahun 1975. Antara tahun 1973 dan 1975 tersebut, Lanre Said sudah merasa menemukan tempat yang tepat untuk mendirikan lembaga pendidikan yang selama ini menjadi obsesi dan cita-cita mulianya, yaitu kampung asal atau halamannya sendiri di Tuju-Tuju.
Pada tahun-tahun ini jugalah dia telah menanamkan pengetahuan dan jiwa sosial yang tinggi kepada kedua istrinya yaitu Andi Nuhasanah Petta Cinnong dan Andi Banunah Petta Paccing (istri ke empat) yang saat itu masih bermukim di Surabaya. Karena kelak jika telah mendirikan pondok maka harus betul-betul ikhlas memelihara dan mendidik para santri.
Akhirnya pada awal 1975, Lanre Said dan seluruh keluarganya yang masih tersisa di Surabaya kembali ke Tuju-Tuju dan pada tahun itu juga tepatnya pada Jam 07.00, tanggal 7 Agustus 1975 yang bertempat di Tuju-Tuju dengan tujuh santri, sebuah lembaga pendidikan lahir dengan nama Majelisul Qurra wal Huffaz. Dan mimpi itu pun terwujud menjadi sebuah kenyataan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Ilham Kadir Palimai,Jejak Dakwah KH. Lanre Said, Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi, (Jogjakarta: Aynat Publishing, 2010). Rohadi Abdul Falah, dkk. Rekonstruksi Pessantren Masa Depan, dari Tradisonal, Modern, hingga Post Modern, (Jakarta: Listafariska, 2008). Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Muzakkar, dari Patriot hingga Pemberontak, (Jakarta: Ombak, 2004).
Nama kecilnya adalah Andi Muhammad Said, namun setelah masuk di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI), Sengkang, namanya dirubah oleh KH Muhammad As’ad menjadi Lanre Said.
Dikisahkan, sebagaimana ditulis oleh Ilham Kadir bahwa ibunya pernah mendapatkan Lailatul Qadar dan berdoa agar dikaruniai keturunan ulama semuanya hafal al-Quran dan penghuni surga. Lanre Said tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan didikan ayahnya.
Setelah berumur sepuluh tahun, ia dikirim belajar ke MAI Sengkang pada tingkat Ibtidaiyah untuk manyusul kakaknya Petta Haji Lesang yang telah belajar disana. Dari tujuh bersaudara, semuanya pernah belajar dan mondok di MAI Sengkang. Adik-adiknya yang turut serta mondok dan belajar di bawah asuhan KH Muhammad As’ad adalah Petta Haji Sikki, Petta Haji Dollah, Petta Hj Sokku, Petta Lebbi, dan Andi Abdul Malik Petta Simpuang.
Lanre Said menghabiskan waktunya selama 16 tahun untuk menimba ilmu di madrasah As’adiyah. Ia menempuh seluruh jenjang pendidikan yang ada di As’adiyah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan kelas atau halaqah khusus, kelas ini setingkat dengan perguruan tinggi. Pelajaran yang diterima dari seorang guru lebih spesifik (khusus). Syekh yang pernah mengajar di sana kesemuanya berasal dari Timur Tengah.
Dari penelusuran penulis, mereka adalah Syekh Ahmad al Hafifi, merupakan ulama jebolan al Azhar Cairo yang langsung didatangkan dari negara asalanya, Mesir dan Syekh Sulaiman as Su’ud, merupakan ulama yang dikirim langsung dari Mekah, Saudi Arabia. Ketika umurnya yang menginjak 22 tahun, Lanre Said telah menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan yang ada di Madrasah Arabiyah Islamiyah Sengkang. Tepatnya tahun 1945.
Setelah itu, ia mengajar pada almamaternya selama empat tahun, hingga 1949. Kemudian kembali ke kampung halamannya di Tuju-Tuju untuk mengabdikan diri dengan mengajar dan berdakwah. Pada tanggal 7 Agustus 1953, Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Sulawesi Selatan Abdul Qahhar Muzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan dan daerah yang dikuasainya ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat.
Dengan bergabungnya Qahhar Muzakkar ke dalam NII, secara otomatis jaringan NII ini yang telah diproklamirkan Kartoswirjo pada 7 Agustus tahun 1949 bertambah luas. Untuk menopang perjuangan NII, Kartoswirjo membentuk angkatan bersenjata yang diberi nama Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang digunakan untuk mempertahankan eksistensinya, termasuk menentang pasukan dan pemerintahan Republik Indonesia yang tidak setuju tentang perjuangan, visi, dan misi NII.
Sejak awal, setelah menyelesaikan pendidikannya di MAI Sengkang, Lanre Said langsung terjun mengajar dan tidak tertarik dengan pola perjuangan DI/TII. Namun, Lanre Said ikut bergabung dengan DI/TII di bawah komandan Qahhar Muzakkar karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain.
Saat itu, sejumlah teman-temannya sudah lebih dulu bergabung dan memberikan informasi kalau Lanre Said merupakan salah satu alumni terbaik MAI Sengkang dan penguasaan hukum Syariah serta berbagai macam disiplin ilmu lainnya sangat tinggi.
Untuk itulah, walaupun berada nun jauh di pulau yang sangat terpencil itu, tetap saja berkali-kali anggota Qahhar Muzakkar datang untuk mangajaknya ikut bergabung. Padahal, saat itu alat transportasi dan komunikasi masih sangat langka. Setelah Qahhar Muzakkar dinyatakan terbunuh oleh pasukan siliwangi pada tahun 1965, secara total pasukan dan anggota DI/TII di bawah kekuasaannya menyerah dan ikut kembali bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka, pada saat itu, Lanre Said merasa mendapatkan angin segar dan leluasa mencari tempat untuk mendirikan lembaga pendidikan. Pada tahun ini juga, Lanre Said melakukan ekspedisi pertama. Dia berangkat dari Pulau Sembilan yang bernama Kanalo (Sinjai) dengan menumpang kapal barang disertai oleh 20 orang yang barasal dari veteran pasukan DI/TII, serta beberapa kerabatnya. Mereka menuju Pulau Kalimantan bagian selatan, tepatnya di Kabupaten Kota Baru Kecamatan Pamukan Selatan, di sebuah kampung bernama Tanjung Salamantakan.
Bermukim mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan sosial termasuk di antaranya belajar mengajar bagi penduduk setempat. Sekitar tahun 1970, Lanre Said kembali melanjutkan perjalanannya ke sebuah pulau yaitu Sumbawa dan Lombok, bahkan sempat ke Nusa Tenggara Timur tepatnya di Flores.
Dalam perjalanannya, misi utamanya tetap mencari tempat untuk mendirikan lembaga pendidikan. Tetapi apa yang didapatkan di daerah ini ternyata lebih parah dari sebelumnya. Jika di daerah Kalimantan para masyarakatnya bersikap masa bodoh terhadap pendidikan, di daerah Sumbawa, Lombok, dan sekitarnya Lanre Said tidak diberikan kesempatan untuk mengajar dan berdakwah. Selama beberapa bulan disana, hanya diperkenankan naik mimbar sekitar dua kali saja. Bahkan, Lanre Said pernah dikepung akan dihabisi massa dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Dia dan beberapa pendamping setianya dikepung dalam mesjid.
Namun seperti biasa, ada saja beberapa orang bepengaruh yang diutus oleh Allah untuk membelanya. Karena pembelanya ini tergolong jawara dan sangat berpengaruh maka para massa ini pun ciut nyalinya dan akhirnya bubar. Tak lama, akhirnya Lanre Said kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia mencoba ke pulau Jawa, Surabaya, di tempat para saudaranya yang lebih dulu telah merantau dan bermukim di kota pahlawan ini.
Berada di Surabaya jauh lebih nyaman dibanding beberapa tempat dan kampung halaman yang disinggahinya selama dalam perantauan. Di sana ia diberi kesempatan dan keleluasan untuk mengajar dan berdakwah di beberapa mesjid. Hal ini dapat dimengerti karena mayoritas penduduk di daerah tempat tinggalnya adalah masyarakat pendatang juga atau heterogen dan memiliki sumberdaya manusia yang lebih tinggi dari pada territorial dakwah sebelumnya.
Lanre Said juga mengoptimalkan waktunya dan kesempatannya untuk tetap mencari tempat yang sesuai dalam mendirikan lembaga pendidikan yang selama ini diidam-idamkannya. Dia pun melakukan kroscek dari satu daerah ke daerah lain sampai ke Jawa Barat tepatnya di daerah Cirebon. Namun, hasilnya nihil alias tidak menggembirakan.
Ini berlanjut sampai tahun 1973, Lanre Said pernah kembali ke Tuju-Tuju. Namun itu tidak berlangsung lama, sekadar mengantar keluarga dari istri keduanya yaitu Andi Nurhasanah Petta Cinnong ke Tuju-Tuju dan dua bulan kemudian kembali ke Surabaya hingga awal tahun 1975. Antara tahun 1973 dan 1975 tersebut, Lanre Said sudah merasa menemukan tempat yang tepat untuk mendirikan lembaga pendidikan yang selama ini menjadi obsesi dan cita-cita mulianya, yaitu kampung asal atau halamannya sendiri di Tuju-Tuju.
Pada tahun-tahun ini jugalah dia telah menanamkan pengetahuan dan jiwa sosial yang tinggi kepada kedua istrinya yaitu Andi Nuhasanah Petta Cinnong dan Andi Banunah Petta Paccing (istri ke empat) yang saat itu masih bermukim di Surabaya. Karena kelak jika telah mendirikan pondok maka harus betul-betul ikhlas memelihara dan mendidik para santri.
Akhirnya pada awal 1975, Lanre Said dan seluruh keluarganya yang masih tersisa di Surabaya kembali ke Tuju-Tuju dan pada tahun itu juga tepatnya pada Jam 07.00, tanggal 7 Agustus 1975 yang bertempat di Tuju-Tuju dengan tujuh santri, sebuah lembaga pendidikan lahir dengan nama Majelisul Qurra wal Huffaz. Dan mimpi itu pun terwujud menjadi sebuah kenyataan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Ilham Kadir Palimai,Jejak Dakwah KH. Lanre Said, Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi, (Jogjakarta: Aynat Publishing, 2010). Rohadi Abdul Falah, dkk. Rekonstruksi Pessantren Masa Depan, dari Tradisonal, Modern, hingga Post Modern, (Jakarta: Listafariska, 2008). Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Muzakkar, dari Patriot hingga Pemberontak, (Jakarta: Ombak, 2004).