Teori Double Movement dalam Ushul Fikih
Pada: July 02, 2013
Ada dua istilah metodik yang sering disebutkan dalam buku-buku Fazlur Rahman, yakni historico-critical method (metode kritik sejarah) dan hermeunetic method (metode hermeunetik). Kedua istilah tersebut merupakan kata kunci untuk menelusuri metode-metode dalam pemikirannya.
Dalam memahami dan menafsirkan sumber utama Islam, dalam hal ini al-Quran, Rahman menggunakan teori double movement (gerak ganda). Hubungan yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam al-Quran yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Dua unsur inilah yang menjadi tema sentral metode Rahman. Permasalahannya ada pada bagaimana cara mendialogkan antara dua sisi tersebut agar nilai-nilai kewahyuan bisa selalu sejalan dengan sejarah umat manusia.
Gerak pertama pada teori Rahman menghendaki adanya pemahaman makna al-Quran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik dimana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Dari sini bisa diambil pemahaman yang utuh tentang konteks normatif dan historisnya suatu ayat, maka timbullah istilah legal specific (praktis temporal) dan moral ide (normative universal).
Kemudian gerak kedua yang dilakukan adalah upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era kontemporer yang tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman yang kompleks terhadap suatu permasalahan.
Disini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fikih lama yang cenderung literalistik dan menurutnya perlunya penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah.
Sangat jelas bahwa gagasan yang ditawarkannya bersifat paradigmatik yang berusaha menghindarkan pemahaman intelektual dari dogma dan batas-batas dimensi kultural yang membelenggu.
Contoh sederhana dari teori gerak gandanya Rahman dalam hal poligami. Fazlur Rahman telah memberikan penjelasan tentang poligami yang oleh para fuqoha’ dianggap sebagai asas perkawinan yang sah menurut Islam. al-Quran surat An-Nisa: 3 mengatakan:
…dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu men gawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dalam al-Quran Surah Ali Imron, al-Quran mengutuk para wali dari anak-anak yatim laki-laki dan perempuan, karena menyelewengkan harta kekayaan mereka, padahal ayat ini diturunkan di Mekkah (QS. al-Anam: 152 dan al-Isra: 34) dan kemudian lebih ditekankan di Madinah (QS. al-Baqarah: 220 dan QS.an-Nisa: 2, 6, 10, dan 127). Lalu al-Quran menyatakan agar tidak menyelewengkan harta nak-anak perempuan yatim, para wali tersebut boleh mengawini sampai empat orang di antara mereka (para wali) dapat berbuat adil. Kebenaran penafsiran ini menurut Fazlur Rahman, di dukung oleh surat an-Nisa: 127, yang mungkin di turunkan lebih dulu dari pada al-Quran Surat an-Nisa: 3
Al-Quran surat an-Nisa: 127 menyatakan bahwa:
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu men gurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.
Keterangan ini menunjukkan bahwa masalah ini timbul dalam konteks perempuan-perempuan yatim, tetapi al-Quran juga menyatakan: “Betapapun kamu menginginkannya, namun kamu tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan tersebut.” (QS. an-Nisa: 129).
Pada gerak pertamanya Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat dengan latar belakang sosial budaya yang berlaku tentang status wanita pada waktu turunnya ayat. Menurutnya masyarakat Arab ketika itu didominasi oleh kaum lelaki dan posisi kaum wanita sangatlah rendah, sehingga wajar saja ketika bunyi teks al-Quran menyesuaikan dengan kondisi zaman dan konteks turunnya ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat temporal. Dengan mengambil nilai yang lebih universal dari gerak pertamanya yaitu tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan Rahman beranjak ke gerakan kedua, Menurut Rahman, adalah sangat pelik untuk mempertahankan keadaan berdasarkan ayat-ayat tersebut bahwa masyarakat harus tetap seperti masyarakat Arab abad ke-7 M, atau masyarakat abad pertengahan pada umumnya, dia berpandangan bahwa anggapan mayoritas ulama tentang monopoli kaum laki-laki atas perkawinan sama sekali tidak dicuatkan dari al-Quran.
Dari sudut pandang agama yang normatif, keadilan terhadap istri yang memiliki posisi lemah tersebut, hanya bergantung kepada kebaikan suami, walaupun pasti akan dilanggar. Sebaliknya, para moderenis muslim cenderung untuk mengutamakn keharusan untuk berbuat adil dan pernyataan al-Quran bahwa perlakuan adil adalah mustahil untuk menunjukkan bahwa ijin untuk berpoligami itu hanya untuk sementara waktu dan tujuan-tujuan tertentu saja.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ghufran A Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997). Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Qur’an, (Chicago; Biblioteca Islamica, 1980).