Rukun dan Sumber Asas Legalitas Jinayah
Pada: October 22, 2013
Perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan jinayah berasal dari ketentuan-ketentuan nash Alquran atau Hadis. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan jinayah apabila perbuatan-perbuatan tersebut di ancam hukuman dan ditujukan kepada orang yang berakal sehat. Karena mampu memahami pembebanan (taklif) dari syarak. Sedangkan orang gila dan anak kecil tidak dikategorikan sebagai jinayah karena tidak dapat memahami taklif.
Dari penjelasan tersebut, maka rukun jinayah adalah:
- Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatannya, dengan istilah unsur formal (al-rukn syar’i)
- Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang di larang atau meninggalkan perbuatan yang di haruskan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur material (al-rukn al-Mahdi).
- Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima panggilan atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur moral (al-rukn al-adabi).
- Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut mempunyai unsur/rukun diatas. Tanpa ketiga rukun tersebut, sesuatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.
Adapun sumber Asas Legalitas jinayah adalah: al-Quran
وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا
Artinya:
Dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul.
وما كان ربك مهلك القرى حتى يبعث فى امها رسولا يتلوا عليهم ايتنا
Artinya:
Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan negeri sebelum dia mengutus di negeri itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kepada mereka
Kaidah-kaidah Fikih
Salah satu aturan pokok yang sangat penting dalam syariat Islam ialah aturan yang berbunyi:
لا حكم لأفعال العقلاء قبل ورود النص
Artinya :
Tidak ada hukum bagi perbuatan manusia sebelum adanya aturan.
Dengan perkataan lain perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan di larang, selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya.
Jadi sesuatu perbuatan tidak boleh di pandang sebagai jarimah kecuali adanya nash yang jelas dan yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan ataupun hukuman atas pelakunya.
Aturan pokok yang lain yaitu menurut syara’ orang yang dapat diberi penbebanan (taklif) hanya orang yang mempunyai kesanggupan untuk memahami dalil-dalil penbebanan dan sanggup mengerjakannya.
Asas legalitas pada syariat Islam seperti tersebut di atas, bahwa tidak ada jarimah atau hukuman tanpa sesuatu nash (aturan-aturan) dalam syara’, bukan di dasarkan atas nash. Nash syara’ umum sesuatu yang menyuruh keadilan dan melarang kezaliman, melainkan di dasarkan atas nash-nash yang jelas dan khusus mengenai soal pidana Islam.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997). Ahmad Hanafi, Kaidah-Kaidah Hukum Pidana (t.d.). A. Hamzah, mengutip dari Moeljatni, Asas-Asa Hukum Pidana (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1994).