Sejarah Singkat Perkembangan Madrasah di Indonesia
Pada: January 20, 2014
Munculnya Sekolah Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia, yang selanjutnya bisa disebut dengan madrasah adalah Madrasah Adabiyah di Padang Panjang (Sumatra Barat) oleh Syeh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M.
Madrasah di Indonesia jauh berbeda dengan madrasah di pusat lahirnya Agama Islam (di Arab atau di Timur Tengah). Keadaan madrasah di Indonesia merupakan fenomena modern yang muncul pada awal abad ke-20.
Dengan perkataan lain, lahirnya madrasah di Indonesia adalah hasil tarik menarik antara pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (tradisional) yang sudah ada di satu sisi, dengan pendidikan barat (modern) di sisi lain. Jika di Timur Tengah, madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran agama tingkat lanjut, madrasah di Indonesia lebih mengacu pada lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran Agama tingkat rendah dan menengah.
Perkembangannya diperkirakan lebih merupakan reaksi terhadap faktor-faktor yang berkembang dari luar lembaga pendidikan yang secara tradisional telah ada, terutama munculnya pendidikan modern Barat.
Secara internal madrasah muncul karena proses pendidikan dari lembaga-lembaga sebelumnya yaitu: surau, kuttab, masjid dan masjid khan. Dalam pandangan Mehdi Nakosteen, disebutkan bahwa: Secara internal, proses pendidikan yang diselenggarakan dan dilaksanakan di Kuttab, masjid, dan masjid-khan memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
Pertama, Kurikulum dan fasilitas pada lembaga-lembaga tersebut dipandang belum mampu mendukung terciptanya proses pendidikan yang memadahi. Kedua, adanya pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan Agama pada ketiga lembaga tersebut hampir tidak dapat dikompromikan. Ketiga, Tujuan pendidikan memiliki konsekuensi pada aktivitas yang cenderung menimbulkan suasana hiruk-pikuk. Keempat, kegiatan ibadah (sebagai tujuan Agama) di masjid menghendaki suasana tenang dan penuh kekhusyuan.
Kedua: Faktor eksternal. Secara eksternal, kemajuan ilmu pengetahuan menuntut adanya sistem pengajian bagi mereka yang mencari penghidupan melalui dunia pendidikan. Secara lebih lengkap, Mahmud Yunus, dalam buku Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, ada empat faktor eksternal yang mendasari munculnya madrasah, yaitu:
a) Faktor politik. Para penguasa menarik hati rakyat dengan jalan memajukan Agama dan mementingkan pendidikan. Untuk tujuan politis tersebut, penguasa tidak segan-segan mengeluarkan sejumlah besar dana untuk membangun madrasah.
b) Faktor religius. Para penguasa yang hidup dengan kemewahan bermaksud beramal dan menyiarkan Agama Islam dengan jalan mendirikan madrasah dengan harapan agar mendapat pahala dari Allah.
c) Faktor ekonomi. Para penguasa dan orang-orang kaya mewakafkan harta mereka untuk pembangunan madrasah, dengan syarat pengelolaannya adalah putera-putera mereka secara turun-temurun.
Dengan demikian, kehidupan ekonomi para keturunan tersebut dapat terjamin. d) Faktor fanatisme. Pertentangan antara kaum Sunni dan Syi’ah membuat masing-masing pihak berlomba mendirikan madrasah sebagai alat untuk memperkuat aliran keagamaan masing-masing.>
Berkenaan dengan pembaruan, Iqbal menyatakan bahwa pola pikir dan sikap pandang kaum Muslim yang menyimpang dan tidak sesuai dengan esensi Islam harus diperbarui. Pembaruan dilakukan dengan cara mengembalikan pola pikir dan sikap pandang kaum Muslim ke pangkal kemurnian Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah.
Dari perkembangan sejak awal berdirinya hingga berkembangnya madrasah selanjutnya, secara umum dapat di tandaskan bahwa para tokoh yang berjasa dalam perkembangan madrasah adalah sebagaimana diungkapkan oleh Abdur Rachman Shaleh yaitu para ulama yang berjasa dalam perkembangan madrasah di Indonesia antara lain: Syaikh Abdullah Ahmad (1907) di Padang, K.H. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, K.H. Wahab Hasbullah bersama K.H. Mas Mansyur (1914) di Surabaya, Rangkayo Rahmah Al-Yunusi (1915) di Padang Panjang, K.H. Hasyim Ashari (1919) mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang.
Kemudian untuk kepentingan pengajaran, menulis dan membaca bagi anak-anak yang sekaligus bisa memberikan pelajaran al-Quran dan Dasar-Dasar Agama Islam, diadakanlah kuttab-kuttab yang terpisah dari masjid, agar anak-anak tidak mengganggu ketenangan dan kebersihan Masjid. Untuk perkembangan selanjutnya, muncullah sistem pendidikan dengan sistem klasikal dan berkelas yang selanjutnya disebut dengan ”madrasah”.
Madrasah atau sekolah Agama yang didirikan pertama adalah madrasah atau sekolah Adabiyah di Padang Panjang (Sumatera Barat), oleh Syeih Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M. Pada masa penjajahan Kolonial Belanda, pertumbuhan dan perkembangan sistem pendidikan madrasah tersebut pada dasarnya dipengaruhi dan didorong oleh adanya perkembangan sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, dan sekaligus sebagai imbangan terhadap sistem pendidikan Kolonial yang tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan cita-cita umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Pembinaan madrasah mengarah kepada pengintegrasian ke Sistem Pendidikan Nasional bersama-sama dengan sekolah umum, sebagaimana diamanatkan oleh Unndang-Undang Dasar 1945 yang menghendaki adanya satu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat Nasional, maka dalam konteks perkembangan madrasah, Kementrian Agama menjadi tumpuan untuk dapat mengangkat posisi madrasah, sehingga mendapat perhatian para pengambil kebijakan.
Salah satunya adalah didirikannya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN)29 yang kemudian diikuti berdirinya madrasah-madrasah yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia seraya terus berusaha untuk membenahi madrasah sebagai bagian dari komponen pendidikan nasional dan mencari format madrasah yang tepat. Dengan demikian pemerintah bisa berharap bahwa madrasah mampu melaksanakan amanat UU-PPP No. 4/1950 tentang kewajiban belajar.
Dalam UU tersebut pasal 10 ayat 2 dinyatakan bahwa; belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapatkan pengakuan dari Departemen Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Untuk itu, pemerintah menggariskan kebijaksanaan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar, harus terdaftar pada Kementerian Agama. Syarat yang harus dipenuhi untuk itu adalah bahwa madrasah yang bersangkutan harus memberikan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu atau 25 persen dari seluruh mata pelajaran.
Untuk mencapai ke dalam sistem pendidikan Nasional, madrasah tetap diupayakan dengan jalan menyusun pola dan penjenjangan serta isi (kurikulum) yang mendekati sesuai dengan sekolah-sekolah umum. Secara berangsur-angsur akhirnya madrasah terus berkembang mengikuti tipe sekolah umum dengan keseimbangan mata pelajaran dengan pengakuan formal dari departemen pendidikan dan kebudayaan.
Pengakuan ini didukung dengan dikeluarkannya surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975, yang selanjutnya disebut SKB 3 Menteri; yaitu keputusan Nomor 6/1975 tentang “Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah”. Dengan alasan bahwa siswa madrasah sebagaimana warga negara Indonesia lainnya berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk peningkatan kualitasnya dalam lapangan pendidikan melalui pengajaran di madrasah.
Dari SKB tersebut disusunlah kurikulum madrasah tahun 1975 dengan perbandingan alokasi waktu 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, yang bisa disebut kurikulum agama. Madrasah-madrasah yang mendapatkan pengakuan sama dengan sekolah-sekolah umum mempunyai jenjang pendidikan dan pengajaran yang sama dengan jenjang yang ada pada sekolah-sekolah umum, demikian pula sistem penyelenggaraan dan perlengkapan atau alat-alat pendidikan lainnya.
Madrasah-madrasah seperti ini terdiri dari:
a) Madrasah tingkat permulaan atau pra-sekolah yang sering juga disebut sebagai taman kanak-kanak, Raudlotul Athfal (RA) atau Bustanul Athfal (BA). Sistem penyelenggaraannya sama dengan taman kanak-kanak pada umumnya. Fungsinya untuk mempersiapkan anak-anak memasuki Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah (tingkat dasar), yang setingkat dengan sekolah dasar yaitu 6 tahun, demikian pula sistem penyelenggaraannya.
b) Madrasah Tsanawiyah (tingkat menengah) yang merupakan madrasah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Lama belajar 3 tahun sebagaimana pada SMP. Setelah tamat Madrasah Tsanawiyah, murid-murid bisa melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA), baik SMTA umum atau SMTA kejuruan, demikian pula ke Madrasah Aliyah (MA).
c) Madrasah Aliyah (tingkat atas) yaitu madrasah yang setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada madrasah tingkat ini hampir tidak ada bedanya dengan sekolah umum baik lama belajar, sistem penyelenggaraannya maupun penjurusannya sama dengan SMA, hanya khususnya terdapat jurusan Agama pada madrasah Aliyah. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan Sumber Daya Manusia, muncul berbagai macam model atau format madrasah terpadu, yaitu madrasah negeri yang memiliki standard tertentu dari segi sarana dan prasarana, jumlah dan kualifikasi tenaga kependidikan (guru), dan siswa-siswi yang terseleksi sehingga pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan intensitas tinggi.
Sedangkan madrasah terpadu adalah madrasah 12 (dua belas) tahun, yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah yang berada dalam satu lokasi, memiliki satu kesatuan administrasi, manajemen, dan kurikulum. Madrasah yang ditunjuk sebagai madrasah terpadu harus melakukan integrasi administrasi, integrasi kurikulum, integrasi personel, integrasi sarana dan prasarana, dan integrasi pembiayaan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Mehdi Nakosteen, “Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam”, alih bahasa: Joko S. Kahhar dan Supriyanto, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994). Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006). Mahmud Yunus, “Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia”, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990). Muhammad Iqbal, “Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam”, alih bahasa Ali Audah, dkk. (Jakarta: Tintamas, 1966). Karl A. Steenbrink, Persantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994). A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999).
Madrasah di Indonesia jauh berbeda dengan madrasah di pusat lahirnya Agama Islam (di Arab atau di Timur Tengah). Keadaan madrasah di Indonesia merupakan fenomena modern yang muncul pada awal abad ke-20.
Dengan perkataan lain, lahirnya madrasah di Indonesia adalah hasil tarik menarik antara pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (tradisional) yang sudah ada di satu sisi, dengan pendidikan barat (modern) di sisi lain. Jika di Timur Tengah, madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran agama tingkat lanjut, madrasah di Indonesia lebih mengacu pada lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran Agama tingkat rendah dan menengah.
Perkembangannya diperkirakan lebih merupakan reaksi terhadap faktor-faktor yang berkembang dari luar lembaga pendidikan yang secara tradisional telah ada, terutama munculnya pendidikan modern Barat.
Faktor-faktor Munculnya Madrasah
Faktor munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan yang memiliki sejarah panjang dan telah berusia satu abad lebih, dalam pandangan Mehdi Nakosteen, dalam buku “Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasa Islam”, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Idi dan Toto Suharto dalam buku “Revitalisasi Pendidikan Islam”, madrasah muncul karena dua faktor: pertama: Faktor internal.Secara internal madrasah muncul karena proses pendidikan dari lembaga-lembaga sebelumnya yaitu: surau, kuttab, masjid dan masjid khan. Dalam pandangan Mehdi Nakosteen, disebutkan bahwa: Secara internal, proses pendidikan yang diselenggarakan dan dilaksanakan di Kuttab, masjid, dan masjid-khan memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
Pertama, Kurikulum dan fasilitas pada lembaga-lembaga tersebut dipandang belum mampu mendukung terciptanya proses pendidikan yang memadahi. Kedua, adanya pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan Agama pada ketiga lembaga tersebut hampir tidak dapat dikompromikan. Ketiga, Tujuan pendidikan memiliki konsekuensi pada aktivitas yang cenderung menimbulkan suasana hiruk-pikuk. Keempat, kegiatan ibadah (sebagai tujuan Agama) di masjid menghendaki suasana tenang dan penuh kekhusyuan.
Kedua: Faktor eksternal. Secara eksternal, kemajuan ilmu pengetahuan menuntut adanya sistem pengajian bagi mereka yang mencari penghidupan melalui dunia pendidikan. Secara lebih lengkap, Mahmud Yunus, dalam buku Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, ada empat faktor eksternal yang mendasari munculnya madrasah, yaitu:
a) Faktor politik. Para penguasa menarik hati rakyat dengan jalan memajukan Agama dan mementingkan pendidikan. Untuk tujuan politis tersebut, penguasa tidak segan-segan mengeluarkan sejumlah besar dana untuk membangun madrasah.
b) Faktor religius. Para penguasa yang hidup dengan kemewahan bermaksud beramal dan menyiarkan Agama Islam dengan jalan mendirikan madrasah dengan harapan agar mendapat pahala dari Allah.
c) Faktor ekonomi. Para penguasa dan orang-orang kaya mewakafkan harta mereka untuk pembangunan madrasah, dengan syarat pengelolaannya adalah putera-putera mereka secara turun-temurun.
Dengan demikian, kehidupan ekonomi para keturunan tersebut dapat terjamin. d) Faktor fanatisme. Pertentangan antara kaum Sunni dan Syi’ah membuat masing-masing pihak berlomba mendirikan madrasah sebagai alat untuk memperkuat aliran keagamaan masing-masing.>
Tokoh dan Organisasi dalam Pembaruan Pendidikan Madrasah
Madrasah sebagai institusi pendidikan keagamaan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, sehingga dalam penelusuran perkembangannya kita harus menelusuri dari berbagai jejak pembaruan sistem pendidikan Islam baik yang dilakukan secara pribadi oleh pemimpin-pemimpin Islam, maupun yang dilakukan secara institusional melalui organisasi-organisasi sosial-keagamaan.Berkenaan dengan pembaruan, Iqbal menyatakan bahwa pola pikir dan sikap pandang kaum Muslim yang menyimpang dan tidak sesuai dengan esensi Islam harus diperbarui. Pembaruan dilakukan dengan cara mengembalikan pola pikir dan sikap pandang kaum Muslim ke pangkal kemurnian Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah.
Dari perkembangan sejak awal berdirinya hingga berkembangnya madrasah selanjutnya, secara umum dapat di tandaskan bahwa para tokoh yang berjasa dalam perkembangan madrasah adalah sebagaimana diungkapkan oleh Abdur Rachman Shaleh yaitu para ulama yang berjasa dalam perkembangan madrasah di Indonesia antara lain: Syaikh Abdullah Ahmad (1907) di Padang, K.H. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, K.H. Wahab Hasbullah bersama K.H. Mas Mansyur (1914) di Surabaya, Rangkayo Rahmah Al-Yunusi (1915) di Padang Panjang, K.H. Hasyim Ashari (1919) mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang.
Perkembangan Madrasah di Indonesia
Pada masa awal berkembangnya Agama Islam di Indonesia, tentunya tidak terlepas dari bidang pendidikan dan pengajaran. Islam memiliki lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran yang diwariskan dari masyarakat Bangsa Arab pada masa itu.Kemudian untuk kepentingan pengajaran, menulis dan membaca bagi anak-anak yang sekaligus bisa memberikan pelajaran al-Quran dan Dasar-Dasar Agama Islam, diadakanlah kuttab-kuttab yang terpisah dari masjid, agar anak-anak tidak mengganggu ketenangan dan kebersihan Masjid. Untuk perkembangan selanjutnya, muncullah sistem pendidikan dengan sistem klasikal dan berkelas yang selanjutnya disebut dengan ”madrasah”.
Madrasah atau sekolah Agama yang didirikan pertama adalah madrasah atau sekolah Adabiyah di Padang Panjang (Sumatera Barat), oleh Syeih Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M. Pada masa penjajahan Kolonial Belanda, pertumbuhan dan perkembangan sistem pendidikan madrasah tersebut pada dasarnya dipengaruhi dan didorong oleh adanya perkembangan sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, dan sekaligus sebagai imbangan terhadap sistem pendidikan Kolonial yang tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan cita-cita umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Pembinaan madrasah mengarah kepada pengintegrasian ke Sistem Pendidikan Nasional bersama-sama dengan sekolah umum, sebagaimana diamanatkan oleh Unndang-Undang Dasar 1945 yang menghendaki adanya satu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat Nasional, maka dalam konteks perkembangan madrasah, Kementrian Agama menjadi tumpuan untuk dapat mengangkat posisi madrasah, sehingga mendapat perhatian para pengambil kebijakan.
Salah satunya adalah didirikannya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN)29 yang kemudian diikuti berdirinya madrasah-madrasah yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia seraya terus berusaha untuk membenahi madrasah sebagai bagian dari komponen pendidikan nasional dan mencari format madrasah yang tepat. Dengan demikian pemerintah bisa berharap bahwa madrasah mampu melaksanakan amanat UU-PPP No. 4/1950 tentang kewajiban belajar.
Dalam UU tersebut pasal 10 ayat 2 dinyatakan bahwa; belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapatkan pengakuan dari Departemen Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Untuk itu, pemerintah menggariskan kebijaksanaan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar, harus terdaftar pada Kementerian Agama. Syarat yang harus dipenuhi untuk itu adalah bahwa madrasah yang bersangkutan harus memberikan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu atau 25 persen dari seluruh mata pelajaran.
Untuk mencapai ke dalam sistem pendidikan Nasional, madrasah tetap diupayakan dengan jalan menyusun pola dan penjenjangan serta isi (kurikulum) yang mendekati sesuai dengan sekolah-sekolah umum. Secara berangsur-angsur akhirnya madrasah terus berkembang mengikuti tipe sekolah umum dengan keseimbangan mata pelajaran dengan pengakuan formal dari departemen pendidikan dan kebudayaan.
Pengakuan ini didukung dengan dikeluarkannya surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975, yang selanjutnya disebut SKB 3 Menteri; yaitu keputusan Nomor 6/1975 tentang “Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah”. Dengan alasan bahwa siswa madrasah sebagaimana warga negara Indonesia lainnya berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk peningkatan kualitasnya dalam lapangan pendidikan melalui pengajaran di madrasah.
Dari SKB tersebut disusunlah kurikulum madrasah tahun 1975 dengan perbandingan alokasi waktu 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, yang bisa disebut kurikulum agama. Madrasah-madrasah yang mendapatkan pengakuan sama dengan sekolah-sekolah umum mempunyai jenjang pendidikan dan pengajaran yang sama dengan jenjang yang ada pada sekolah-sekolah umum, demikian pula sistem penyelenggaraan dan perlengkapan atau alat-alat pendidikan lainnya.
Madrasah-madrasah seperti ini terdiri dari:
a) Madrasah tingkat permulaan atau pra-sekolah yang sering juga disebut sebagai taman kanak-kanak, Raudlotul Athfal (RA) atau Bustanul Athfal (BA). Sistem penyelenggaraannya sama dengan taman kanak-kanak pada umumnya. Fungsinya untuk mempersiapkan anak-anak memasuki Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah (tingkat dasar), yang setingkat dengan sekolah dasar yaitu 6 tahun, demikian pula sistem penyelenggaraannya.
b) Madrasah Tsanawiyah (tingkat menengah) yang merupakan madrasah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Lama belajar 3 tahun sebagaimana pada SMP. Setelah tamat Madrasah Tsanawiyah, murid-murid bisa melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA), baik SMTA umum atau SMTA kejuruan, demikian pula ke Madrasah Aliyah (MA).
c) Madrasah Aliyah (tingkat atas) yaitu madrasah yang setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada madrasah tingkat ini hampir tidak ada bedanya dengan sekolah umum baik lama belajar, sistem penyelenggaraannya maupun penjurusannya sama dengan SMA, hanya khususnya terdapat jurusan Agama pada madrasah Aliyah. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan Sumber Daya Manusia, muncul berbagai macam model atau format madrasah terpadu, yaitu madrasah negeri yang memiliki standard tertentu dari segi sarana dan prasarana, jumlah dan kualifikasi tenaga kependidikan (guru), dan siswa-siswi yang terseleksi sehingga pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan intensitas tinggi.
Sedangkan madrasah terpadu adalah madrasah 12 (dua belas) tahun, yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah yang berada dalam satu lokasi, memiliki satu kesatuan administrasi, manajemen, dan kurikulum. Madrasah yang ditunjuk sebagai madrasah terpadu harus melakukan integrasi administrasi, integrasi kurikulum, integrasi personel, integrasi sarana dan prasarana, dan integrasi pembiayaan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Mehdi Nakosteen, “Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam”, alih bahasa: Joko S. Kahhar dan Supriyanto, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994). Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006). Mahmud Yunus, “Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia”, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990). Muhammad Iqbal, “Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam”, alih bahasa Ali Audah, dkk. (Jakarta: Tintamas, 1966). Karl A. Steenbrink, Persantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994). A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999).