Restitusi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pada: February 02, 2014
Pengertian Restitusi
Kata restitusi dalam kamus bahasa Indonesia yang berarti pembayaran kembali, ganti rugi; penyerahan bagian pembayaran yang masih tersisa.
Sedangkan dalam hukum pidana, restitusi merupakan pembayaran ganti rugi yang menunjukkan adanya pengertian akan penderitaan korban sesuatu tindak pidana, ganti rugi harus dibayarkan kepada korban atau ahli waris korban.
Istilah restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah “ganti kerugian”. Dalam KUHAP, ganti kerugian kepada korban tidak cukup diberikan pengaturan yang memadai karena hanya diatur dalam pasal 98 yang menyatakan bahwa pihak korban kejahatan, yakni perbuatan terdakwa yang merupakan suatu tindak pidana menimbulkan kerugian bagi orang tersebut.
Pasal itu bisa dipahami, korban dapat mengajukan gugatan penggabungan gugatan ganti kerugian. Ganti kerugian kepada korban ini hanya mencakup ganti kerugian yang bersifat materiil, sementara ganti kerugian yang immateriil para korban harus mengajukan perkara secara perdata.
Dengan demikian, pengaturan dalam KUHAP, perlindungan terhadap korban atas hak-haknya tidak mendapatkan cukup pengaturan jika dibandingkan perlindungan kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana. Berbeda dengan kompensasi, bahwa kompensasi diminta atas dasar permohonan, dan jika dikabulkan harus di bayar oleh masyarakat atau negara, sedangkan restitusi di tuntut oleh korban agar di putus pengadilan dan jika diterima tuntutannya, harus di bayar oleh pelaku tindak pidana itu.
Karena hakikat perbedaan demikian masih belum direalisasikan dalam kenyataan, maka sering kali tidak ada bedanya antara kedua pembayaran itu, karena yang terpenting, perhatian terhadap korban lebih dahulu, kemudian menyusul bentuk pembayaran atas kerugian korban yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban bila dikaitkan dengan sistem restitusi, dalam pengertian viktimologi adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak korban yang diakibatkan oleh tindak pidana. Karakter utama dari restitusi ini berindikasi pertanggungajawaban pembuat atas tuntutan tindakan restitutif yang bersifat pidana dalam kasus pidana.
Menurut pendapat pakar hukum pidana Indonesia, Penetapan orang yang dirugikan itu didasarkan atas azas-azas hukum perdata dan kerugian itu ditimbulkan oleh perbuatan seseorang yang oleh hukum pidana disebut “si pembuat” (dader) dari suatu tindak pidana. Jadi dalam masalah ganti rugi dalam pidana harus dilihat dalam hubungannya dengan ”tiga serangkai”, yaitu delik (tindak pidana) – pembuat – korban. Masih pula harus diperhatikan, kerugian itu bersifat materiil dan immateriil.
Penggantian kerugian bersifat materiil tidak menimbulkan masalah, tidak demikian dengan kerugian yang bersifat immateriil, yang berupa kesusahan, kecemasan, rasa malu dan sebagainya.6 Kerugian ini harus diganti dengan wujud uang. Dalam hukum perdata hal ini sudah biasa, di situ dikenal apa yang disebut uang duka.
Korban tidak termasuk dalam bagian dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, tidak sebagaimana dengan terdakwa, polisi dan jaksa. Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak mempunyai upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan, misalnya banding atau kasasi, apabila putusan pengadilan yang dipandang tidak adil atau merugikan dirinya.
Dalam kaitannya antara korban dengan unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, beberapa pendapat pakar hukum, terutama tentang ganti rugi atau restitusi korban tindak pidana, menyatakan bahwa masuknya kepentingan pihak yang dirugikan dalam proses pidana merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi semua masyarakat, bukan hanya mereka yang dituduh melanggar hukum pidana, tetapi masyarakat yang menjadi korban karena pelanggaran hukum pidana. Hal ini sesungguhnya tidak layak dibandingkan dengan penderitaan korban.
Kerugian materiil lainnya yang bukan biaya yang dikeluarkan untuk pemulihan dan kerugian immateriil yang justru lebih berat di alami oleh korban tidak dapat dimintakan ganti rugi melalui prosedur pidana. Hukuman pidana positif baik materiil maupun formil telah mengatur mengenai upaya perlindungan kejahatan melalui lembaga restitusi dan kompensasi antara lain dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat menurut pasal 14c KUHP hakim dapat menetapkan syarat khusus untuk mengganti kerugian baik semua atau sebagian yang timbul dari pidana yang dilakukanya.
Awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan, juga dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dibebankan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka, Kendala dalam pelaksanaan pasal 14c KUHP adalah penerapan dengan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri disamping pidana pokok jadi sebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakan atau dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;, penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian hanya dapat diberikan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, syarat khusus ganti kerugian inipun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif (artinya tidak harus dipenuhi perbuatan melawan hukum) tidak bersifat imperatif (memaksa).
Ganti kerugian bagi tersangka, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami kesalahan prosedur dalam proses peradilan pidana. Sementara rehabilitasi diberikan kepada terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan dalam putusan pengadilan.10 Pasal 1 angka 22 KUHAP:
Kepustakaan: Ahmad A.K. Muda, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Reality Publisher, 2006). Theodora Syah Putri, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: UI Press, 2006). Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Praktek Restitusi dan Kompensasi di Indonesia, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007). Hendrojono, Kriminologi: Pengaruh Peru bahan Masyarakat dan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005). Suparman, Kepentingan Korban Tindak Pidana dilihat dari Sudut Viktimologi, (Majalah Hukum FH-UI tahun ke-XXII No. 260, Juli 2007). Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, (Bandung: Citra Umbara, 2007)
Sedangkan dalam hukum pidana, restitusi merupakan pembayaran ganti rugi yang menunjukkan adanya pengertian akan penderitaan korban sesuatu tindak pidana, ganti rugi harus dibayarkan kepada korban atau ahli waris korban.
Istilah restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah “ganti kerugian”. Dalam KUHAP, ganti kerugian kepada korban tidak cukup diberikan pengaturan yang memadai karena hanya diatur dalam pasal 98 yang menyatakan bahwa pihak korban kejahatan, yakni perbuatan terdakwa yang merupakan suatu tindak pidana menimbulkan kerugian bagi orang tersebut.
Pasal itu bisa dipahami, korban dapat mengajukan gugatan penggabungan gugatan ganti kerugian. Ganti kerugian kepada korban ini hanya mencakup ganti kerugian yang bersifat materiil, sementara ganti kerugian yang immateriil para korban harus mengajukan perkara secara perdata.
Dengan demikian, pengaturan dalam KUHAP, perlindungan terhadap korban atas hak-haknya tidak mendapatkan cukup pengaturan jika dibandingkan perlindungan kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana. Berbeda dengan kompensasi, bahwa kompensasi diminta atas dasar permohonan, dan jika dikabulkan harus di bayar oleh masyarakat atau negara, sedangkan restitusi di tuntut oleh korban agar di putus pengadilan dan jika diterima tuntutannya, harus di bayar oleh pelaku tindak pidana itu.
Karena hakikat perbedaan demikian masih belum direalisasikan dalam kenyataan, maka sering kali tidak ada bedanya antara kedua pembayaran itu, karena yang terpenting, perhatian terhadap korban lebih dahulu, kemudian menyusul bentuk pembayaran atas kerugian korban yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban bila dikaitkan dengan sistem restitusi, dalam pengertian viktimologi adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak korban yang diakibatkan oleh tindak pidana. Karakter utama dari restitusi ini berindikasi pertanggungajawaban pembuat atas tuntutan tindakan restitutif yang bersifat pidana dalam kasus pidana.
Menurut pendapat pakar hukum pidana Indonesia, Penetapan orang yang dirugikan itu didasarkan atas azas-azas hukum perdata dan kerugian itu ditimbulkan oleh perbuatan seseorang yang oleh hukum pidana disebut “si pembuat” (dader) dari suatu tindak pidana. Jadi dalam masalah ganti rugi dalam pidana harus dilihat dalam hubungannya dengan ”tiga serangkai”, yaitu delik (tindak pidana) – pembuat – korban. Masih pula harus diperhatikan, kerugian itu bersifat materiil dan immateriil.
Penggantian kerugian bersifat materiil tidak menimbulkan masalah, tidak demikian dengan kerugian yang bersifat immateriil, yang berupa kesusahan, kecemasan, rasa malu dan sebagainya.6 Kerugian ini harus diganti dengan wujud uang. Dalam hukum perdata hal ini sudah biasa, di situ dikenal apa yang disebut uang duka.
Unsur-Unsur dan Dasar Hukum Restitusi
Eksistensi dan posisi hukum korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi korban tindak pidana, karena terbentur dalam problem yang mendasar yakni korban hanya sebagai saksi (pelapor atau korban).Korban tidak termasuk dalam bagian dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, tidak sebagaimana dengan terdakwa, polisi dan jaksa. Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak mempunyai upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan, misalnya banding atau kasasi, apabila putusan pengadilan yang dipandang tidak adil atau merugikan dirinya.
Dalam kaitannya antara korban dengan unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, beberapa pendapat pakar hukum, terutama tentang ganti rugi atau restitusi korban tindak pidana, menyatakan bahwa masuknya kepentingan pihak yang dirugikan dalam proses pidana merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi semua masyarakat, bukan hanya mereka yang dituduh melanggar hukum pidana, tetapi masyarakat yang menjadi korban karena pelanggaran hukum pidana. Hal ini sesungguhnya tidak layak dibandingkan dengan penderitaan korban.
Kerugian materiil lainnya yang bukan biaya yang dikeluarkan untuk pemulihan dan kerugian immateriil yang justru lebih berat di alami oleh korban tidak dapat dimintakan ganti rugi melalui prosedur pidana. Hukuman pidana positif baik materiil maupun formil telah mengatur mengenai upaya perlindungan kejahatan melalui lembaga restitusi dan kompensasi antara lain dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat menurut pasal 14c KUHP hakim dapat menetapkan syarat khusus untuk mengganti kerugian baik semua atau sebagian yang timbul dari pidana yang dilakukanya.
Awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan, juga dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dibebankan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka, Kendala dalam pelaksanaan pasal 14c KUHP adalah penerapan dengan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri disamping pidana pokok jadi sebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakan atau dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;, penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian hanya dapat diberikan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, syarat khusus ganti kerugian inipun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif (artinya tidak harus dipenuhi perbuatan melawan hukum) tidak bersifat imperatif (memaksa).
Ganti kerugian bagi tersangka, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami kesalahan prosedur dalam proses peradilan pidana. Sementara rehabilitasi diberikan kepada terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan dalam putusan pengadilan.10 Pasal 1 angka 22 KUHAP:
“Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.”Hak-hak terhadap korban kemudian semakin kuat dan diakui dalam sistem hukum nasional dengan diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. UU ini memberikan hak korban pelanggaran HAM yang berat untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun, regulasi ini hanya ditujukan kepada para korban pelanggaran HAM yang berat, dan bukan untuk keseluruhan korban tindak pidana. Pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 menyatakan :
“Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi”.Namun, kompensasi dan restitusi korban pelanggaran HAM yang berat ini diletakkan dalam kerangka “ganti kerugian”. Hal ini terlihat dalam definisi tentang kompensasi dan restitusi dalam UU No. 26 Tahun 2000 maupun dalam PP No. 3 Tahun 2002. Sementara hak rehabilitasi dalam UU 26 tahun 2000 ditunjukkan kepada para korban dan bukan terhadap para tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 1 PP No. 3 Tahun 2002 tentang maksud kompensasi, restitusi dan rehabilitasi:
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”Referensi Makalah®
Kepustakaan: Ahmad A.K. Muda, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Reality Publisher, 2006). Theodora Syah Putri, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: UI Press, 2006). Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Praktek Restitusi dan Kompensasi di Indonesia, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007). Hendrojono, Kriminologi: Pengaruh Peru bahan Masyarakat dan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005). Suparman, Kepentingan Korban Tindak Pidana dilihat dari Sudut Viktimologi, (Majalah Hukum FH-UI tahun ke-XXII No. 260, Juli 2007). Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, (Bandung: Citra Umbara, 2007)