Metafisika Plotinus; Esa, Logos, dan Soul
Pada: February 19, 2014
Metafisika Plotinus berangkat dari suatu Trinitas Suci; Yang Esa, Ruh dan Jiwa. Yang Esa adalah tertinggi, Ruh ditempat berikutnya dan jiwa yang terakhir. Yang Esa atau Yang Pertama adalah sosok yang mempunyai tingkatan tertinggi dari semua tingkatan wujud ini. Dia esa dari segala segi, dalam hakekat maupun dalam gambaran pikiran kita. Tidak ada pluralitas di dalam zat-Nya. Oleh sebab itu Ia mutlak dalam keesaan-Nya, Ia merajai segala wujud yang bersumber dari-Nya. Kita tidak boleh menerapkan predikat padanya, kecuali hanya mengatakan Dia. Dan Dialah yang kita sebut Tuhan. Tuhan sebagai segalanya sebab Dia mengatasi segalanya.
Tuhan hadir dalam setiap hal. Yang Esa bisa hadir tanpa harus tiba: sementara Dia di mana-mana Diapun tak di mana-mana. Dikatakan bahwa Tuhan tidak bergantung kepada apa yang tercipta dari-Nya. Yang Esa tak terdefinisikan. Dalam mempertahankan keesaan Tuhan yang mutlak, maka Plotinus menjauhkannya dari segala pemikiran manusia yang bisa menimbulkan pluralitas, meskipun hanya dalam gambaran fikiran kita. karena itu Plotinus mengatakan bahwa Ia berada di luar wujud dan di luar alam pikiran (tidak sama dengan yang ada dalam pikiran dan tidak bisa difikirkan).
Meskipun Plotinus berusaha untuk tidak mensifati Tuhan dengan sifat-sifat yang bisa mempengaruhi keesaan-Nya, namun Ia sendiri mensifati Tuhan dengan sifat kebaikan meskipun tidak dimaksudkan bahwa sifat kebaikan itu berdiri sendiri, tetapi kebaikan itu adalah hakekat zat Tuhan sendiri. Jadi zat dan kebaikan adalah satu kesatuan. Akan tetapi persifatan ini tidak bisa mengelakkan adanya pluralitas sebab kebaikan mengandung arti bekas dari yang diberi kebaikan.
Plotinus tetap mempertahankan keesan-Nya dengan mengatakan bahwa Dia bukan akal. Hal ini bukan berarti bahwa Ia tidak pantas menduduki tempat yang tertinggi sebagai wujud yang sempurna. Ia tidak sama dengan manusia karena kesempurnaan-Nya terletak pada keesaan-Nya dari berbagai segi, dan tidak tepat apa yang dikehendaki manusia untuk-Nya, atau sifat-sifat yang diberikan kepada-Nya. Yang Esa atau yang pertama adalah sebab kuantitas bukan akal, bukan jiwa, bukan dalam bergerak, bukan pula dalam tenang terhenti, bukan dalam ruang dan bukan dalam waktu. Yang Esa itu adalah permulaan dan sebab yang pertama dari segala yang ada. Ia disifati dengan kebaikan semata-mata, tetapi kebaikannya itu adalah zat sendiri, bukan asuatu sifat yang berdiri padanya, sehingga dengan demikian tidak perlu menimbulkan bilangan sama sekali.
Dengan teori mempertahankan ajaran Yang Esa inilah Plotinus dikenal sebagai pendiri teori Yang Esa. Selanjutnya dalam menjelaskan sifat-sifat Akal (Mind) atau Logos itu Plotinus beranggapan:
Sifat tersebut berkaitan dengan gerak menurun, di mana jiwa melahirkan citranya, ialah alam dan dunia inderawi atau dunia materi. Materi di luar hakikat disebabkan oleh ketidaksempurnaan, sedangkan alam abstrak semuanya adalah hakekat dan materi adalah refleksinya. Demikian pula dengan alam ini; ia tidak punya hakekat dan tidak sempurna. Hakikat dan kesempurnaan yang ada padanya hanyalah bayangan belaka, atau salinan dari alam abstrak. Materi menjadi tidak sempurna dan kekurangan, karena ia mata rantai terendah, kebalikan Yang Pertama yang merupakan mata rantai tertinggi dan puncaknya. Sinar yang keluar dari Yang Pertama melalui jiwa berangsur-angsur manjadi gelap.
Pikiran Plotinus juga tidak terlepas dari Plato yang mengatakan bahwa alam lahir ini adalah gambaran dari alam idea atau alam nonmateri, dan dunia kasat mata indah sebagai tempat tinggal ruh yang diberkati. Sedangkan sifat-sifat Soul (jiwa alam) adalah:
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Pertama: Yang Esa, Logos, Soul sebagai rangkaian wujud. Keluarnya Soul dari Logos, keluarnya Logos dari Yang Esa, maka terjadilah kesatuan wujud yang pada pokoknya berasal dari Yang Esa. Kedua: Adanya ketentuan tingkatan wujud, maka tingkatan yang rendah lebih sedikit cahayanya dan hakekat serta kebaikannya daripada tingkatan wujud yang berada di atasnya.
Dari cahaya hakekat, dan kebaikan tersebut menjadi gelap, ketiadaan dan keburukan. Kemudian dari keesaan menjadi terbilang. Perubahan ini tidak menimbulkan perlawanan, karena dalam rangkaian wujud tidak ada wujud yang bebas dan terpisah dari yang lain. Ketiga: meski alam ini terbagi menjadi dua yaitu bagian yang menuju ke atas dan satu bagian lagi menuju ke bawah, maka materi juga sempurna kerapian itu terletak pada kerapian susunan yang universal pada keseluruhan, bukan terletak pada pemeliharaan yang terdapat pada bagian-bagiannya.
Di samping itu pula dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Plotinus adalah perpaduan antara filsafat Plato (Idea kebaikan tertinggi) dengan diberi penekanan kepada upaya pencarian pengalaman batiniah untuk menuju kesatuan dengan Tuhan (Yang Esa). Tuhan merupakan isi dan titik tolak pemikirannya, maka Tuhan dianggap sebagai kebaikan tertiggi dan sekaligus menjadi tujuan semua kehendak.
Dengan demikian makhluk menurut Plotinus bukanlah ciptaan Tuhan tetapi pancaran Tuhan. Segala sesuatu (termasuk manusia) itu timbul dengan sendirinya dari pancaran Tuhan maka tugas manusia adalah kembali ke asalnya yaitu Tuhan. Jadi tujuan hidup manusia menurut Plotinus adalah kesatuan kembali antara manusia dan Ilahi. Untuk dapat kembali bersatu dengan Ilahi, manusia harus melalui tiga tahapan, yaitu melakukan kebajikan umum, berfilsafat dan mistik.
Menurut Plotinus makhluk bukanlah ciptaan Tuhan, melainkan pancaran-Nya. Dari pancaran tersebut kemudian timbullah beberapa hal. Yang timbul pertama kali dari Yang Esa adalah roh, yaitu yang menjiwai alam semesta. Dan dari roh kemudianlah materi. Dari perkembangan tersebut, menurut Plotinus bahwa tugas manusia ialah kembali kepada Tuhan. Dan jika manusia tertarik kepada dunia dan terlena terhadapnya maka dia akan lupa terhadap derajat sejatinya. Sebaliknya jika ia dapat memendangi keindahan yang terbentang di dunia denga sewajarnya, dapatlah ia naik untuk memandang idea dan kemudian idea yang satu, yaitu Tuhan Yang Esa.
Sebagai tujuan hidup manusia dikatakan mencapai persatuan dengan Tuhan. Budi yang tertinggi ialah mensucikan roh. Mensucikan roh itu adalah satu-satunya jalan menuju kemurnian. Manusia harus berpaling dari keduniawian untuk mencapai keindahan dalam realita ini. Benda yang ada disekitar hidup manusia hendaklah diabaikan sama sekali dan jiwa itu harus mencoba semata-mata hidup di lingkungan rohaniah dan alam pikiran.
Hanya dalam alam rohaniah dan alam pikiran itulah jiwa dapat melatih diri untuk mencapai langkah terakhir, dengan usaha memurnikan diri dari keduniawian diharapkan manusia akan cepat mencapai keindahan dunia, kemudian cepat mencapai kindahan idea. Ini hanya dapat dicapai dengan perasaan yang luar biasa, yaitu rasa keluar dari diri sendiri dengan ekstase. Dan apabila manusia dapat memurnikan dirinya dengan cara menjahui keduniawian, maka manusia niscaya akan dapat bersatu dengan Tuhan.
Referensi Makalah®
Tuhan hadir dalam setiap hal. Yang Esa bisa hadir tanpa harus tiba: sementara Dia di mana-mana Diapun tak di mana-mana. Dikatakan bahwa Tuhan tidak bergantung kepada apa yang tercipta dari-Nya. Yang Esa tak terdefinisikan. Dalam mempertahankan keesaan Tuhan yang mutlak, maka Plotinus menjauhkannya dari segala pemikiran manusia yang bisa menimbulkan pluralitas, meskipun hanya dalam gambaran fikiran kita. karena itu Plotinus mengatakan bahwa Ia berada di luar wujud dan di luar alam pikiran (tidak sama dengan yang ada dalam pikiran dan tidak bisa difikirkan).
Meskipun Plotinus berusaha untuk tidak mensifati Tuhan dengan sifat-sifat yang bisa mempengaruhi keesaan-Nya, namun Ia sendiri mensifati Tuhan dengan sifat kebaikan meskipun tidak dimaksudkan bahwa sifat kebaikan itu berdiri sendiri, tetapi kebaikan itu adalah hakekat zat Tuhan sendiri. Jadi zat dan kebaikan adalah satu kesatuan. Akan tetapi persifatan ini tidak bisa mengelakkan adanya pluralitas sebab kebaikan mengandung arti bekas dari yang diberi kebaikan.
Plotinus tetap mempertahankan keesan-Nya dengan mengatakan bahwa Dia bukan akal. Hal ini bukan berarti bahwa Ia tidak pantas menduduki tempat yang tertinggi sebagai wujud yang sempurna. Ia tidak sama dengan manusia karena kesempurnaan-Nya terletak pada keesaan-Nya dari berbagai segi, dan tidak tepat apa yang dikehendaki manusia untuk-Nya, atau sifat-sifat yang diberikan kepada-Nya. Yang Esa atau yang pertama adalah sebab kuantitas bukan akal, bukan jiwa, bukan dalam bergerak, bukan pula dalam tenang terhenti, bukan dalam ruang dan bukan dalam waktu. Yang Esa itu adalah permulaan dan sebab yang pertama dari segala yang ada. Ia disifati dengan kebaikan semata-mata, tetapi kebaikannya itu adalah zat sendiri, bukan asuatu sifat yang berdiri padanya, sehingga dengan demikian tidak perlu menimbulkan bilangan sama sekali.
Dengan teori mempertahankan ajaran Yang Esa inilah Plotinus dikenal sebagai pendiri teori Yang Esa. Selanjutnya dalam menjelaskan sifat-sifat Akal (Mind) atau Logos itu Plotinus beranggapan:
- Keluar langsung dari Yang Pertama dan kedudukannya dalam wujud ini adalah sesuatu yang pertama. Keesaan-Nya dari segala segi menjadi berbilang dengan akal, sebab dengan adanya akal, maka ada lagi yang menjadi obyek pemikiran.
- Akal keluar dari Yang Pertama bukan dalam proses waktu, sebagaimana wujud abstrak lainnya.
- Keluarnya akal dari Yang Pertama tidak mempengaruhi kesempurnaan-Nya, demikian keluarnya yang kurang sempurna dari yang lebih sempurna. Kesempurnaan ini tidak terpengaruh, sebab apa yang keluar dari pada-Nya, dan kepada-Nya pula bergantung.
- Akal keluar dari Yang Pertama dengan sendirinya, tidak perlu mengandung suatu paksaan atau perubahan pada-Nya. Plotinus mengqiyaskan yang pertama dengan matahari, yang menyinari alam sekelilingnya tanpa mempengaruhi keadaannya sendiri.
Sifat tersebut berkaitan dengan gerak menurun, di mana jiwa melahirkan citranya, ialah alam dan dunia inderawi atau dunia materi. Materi di luar hakikat disebabkan oleh ketidaksempurnaan, sedangkan alam abstrak semuanya adalah hakekat dan materi adalah refleksinya. Demikian pula dengan alam ini; ia tidak punya hakekat dan tidak sempurna. Hakikat dan kesempurnaan yang ada padanya hanyalah bayangan belaka, atau salinan dari alam abstrak. Materi menjadi tidak sempurna dan kekurangan, karena ia mata rantai terendah, kebalikan Yang Pertama yang merupakan mata rantai tertinggi dan puncaknya. Sinar yang keluar dari Yang Pertama melalui jiwa berangsur-angsur manjadi gelap.
Pikiran Plotinus juga tidak terlepas dari Plato yang mengatakan bahwa alam lahir ini adalah gambaran dari alam idea atau alam nonmateri, dan dunia kasat mata indah sebagai tempat tinggal ruh yang diberkati. Sedangkan sifat-sifat Soul (jiwa alam) adalah:
- Jiwa alam memandang sebagai yang menciptakannya, dan jiwa alam tersebut memberi sinar kepada alam inderawi (sensual world) dengan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya.
- Kedudukan jiwa alam adalah sesudah akal, dan merupakan akhir wujud alam abstrak, serta menjadi penghubung antara alam inderawi dengan alam gaib atau alam ketuhanan.
- Karena kedudukannya itu, maka jiwa alam dari satu segi terbagi, dan adalah suatu yang abstrak. Ia tidak terbagi menurut banyaknya tempat, tetapi terbagi karena ia termasuk alam inderawi dan terdapat di mana-mana, meskipun wujud tersebut adalah wujud keseluruhan tanpa dibagi-bagi, sebagai wujud yang menggerakkan dan sebagai kekuatan pemeliharaan. Karena sifatnya itu, yaitu bisa dibagi dan tidak terbagi, maka Plotinus tidak menganggap jiwa alam tergolong dalam alam azali.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Pertama: Yang Esa, Logos, Soul sebagai rangkaian wujud. Keluarnya Soul dari Logos, keluarnya Logos dari Yang Esa, maka terjadilah kesatuan wujud yang pada pokoknya berasal dari Yang Esa. Kedua: Adanya ketentuan tingkatan wujud, maka tingkatan yang rendah lebih sedikit cahayanya dan hakekat serta kebaikannya daripada tingkatan wujud yang berada di atasnya.
Dari cahaya hakekat, dan kebaikan tersebut menjadi gelap, ketiadaan dan keburukan. Kemudian dari keesaan menjadi terbilang. Perubahan ini tidak menimbulkan perlawanan, karena dalam rangkaian wujud tidak ada wujud yang bebas dan terpisah dari yang lain. Ketiga: meski alam ini terbagi menjadi dua yaitu bagian yang menuju ke atas dan satu bagian lagi menuju ke bawah, maka materi juga sempurna kerapian itu terletak pada kerapian susunan yang universal pada keseluruhan, bukan terletak pada pemeliharaan yang terdapat pada bagian-bagiannya.
Di samping itu pula dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Plotinus adalah perpaduan antara filsafat Plato (Idea kebaikan tertinggi) dengan diberi penekanan kepada upaya pencarian pengalaman batiniah untuk menuju kesatuan dengan Tuhan (Yang Esa). Tuhan merupakan isi dan titik tolak pemikirannya, maka Tuhan dianggap sebagai kebaikan tertiggi dan sekaligus menjadi tujuan semua kehendak.
Dengan demikian makhluk menurut Plotinus bukanlah ciptaan Tuhan tetapi pancaran Tuhan. Segala sesuatu (termasuk manusia) itu timbul dengan sendirinya dari pancaran Tuhan maka tugas manusia adalah kembali ke asalnya yaitu Tuhan. Jadi tujuan hidup manusia menurut Plotinus adalah kesatuan kembali antara manusia dan Ilahi. Untuk dapat kembali bersatu dengan Ilahi, manusia harus melalui tiga tahapan, yaitu melakukan kebajikan umum, berfilsafat dan mistik.
Menurut Plotinus makhluk bukanlah ciptaan Tuhan, melainkan pancaran-Nya. Dari pancaran tersebut kemudian timbullah beberapa hal. Yang timbul pertama kali dari Yang Esa adalah roh, yaitu yang menjiwai alam semesta. Dan dari roh kemudianlah materi. Dari perkembangan tersebut, menurut Plotinus bahwa tugas manusia ialah kembali kepada Tuhan. Dan jika manusia tertarik kepada dunia dan terlena terhadapnya maka dia akan lupa terhadap derajat sejatinya. Sebaliknya jika ia dapat memendangi keindahan yang terbentang di dunia denga sewajarnya, dapatlah ia naik untuk memandang idea dan kemudian idea yang satu, yaitu Tuhan Yang Esa.
Sebagai tujuan hidup manusia dikatakan mencapai persatuan dengan Tuhan. Budi yang tertinggi ialah mensucikan roh. Mensucikan roh itu adalah satu-satunya jalan menuju kemurnian. Manusia harus berpaling dari keduniawian untuk mencapai keindahan dalam realita ini. Benda yang ada disekitar hidup manusia hendaklah diabaikan sama sekali dan jiwa itu harus mencoba semata-mata hidup di lingkungan rohaniah dan alam pikiran.
Hanya dalam alam rohaniah dan alam pikiran itulah jiwa dapat melatih diri untuk mencapai langkah terakhir, dengan usaha memurnikan diri dari keduniawian diharapkan manusia akan cepat mencapai keindahan dunia, kemudian cepat mencapai kindahan idea. Ini hanya dapat dicapai dengan perasaan yang luar biasa, yaitu rasa keluar dari diri sendiri dengan ekstase. Dan apabila manusia dapat memurnikan dirinya dengan cara menjahui keduniawian, maka manusia niscaya akan dapat bersatu dengan Tuhan.
Referensi Makalah®