Dasar Filsafat Manusia Jawa
Pada: March 25, 2014
Filsafat manusia Jawa secara mitos tertuang dalam aksara Jawa ha na ca ra ka, yang mempunyai arti:
Ha: Hurip, Urip = Hidup. Suatu sifat Zat Yang Maha Esa
Na: (1) Hana = Ada
Caraka: (1) Utusan
Berdasarkan hal itu sebenarnya manusia Jawa mempunyai berbagai macam aliran filsafat, dari rasionalisme (nalar), eksistensialisme (pengada), dan intuisiisme (rasa dan karsa). Ini nampaknya sesuai dengan realitas sejarah (fitrah).
Manusia secara fitrah tidak mau untuk dijajah, karena manusia itu menurut Sarte rasion de etre-nya adalah kebebasan dan selalu mempunyai niat untuk mengkoloni sesamanya. Manusia secara alami adalah masyarakat yang suka kekerasan dan dengan kerasan ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti supaya mudah untuk dikuasai.
Manusia secara fitrah mempunyai kepercayaan terhadap yang ghaib. Apakah itu berupa kepercayaan terhadap yang Esa dulu atau yang dari Atheisme ataupun dari Polytheisme. Kepercayaan, dalam dunia Jawa bermula dari Polytheisme [Animisme (Taylor) ataupun Dinamisme (Frazer)], dan mengalami peng-Esa-an secara sebenarnya ketika Islam melebarkan ekspansinya dari Cina.
Rasionalisme–Jawa, sepertinya sangat dipengaruhi oleh intuisiisme. Hal ini ditengarai ketika manusia Jawa itu berpikir tentang tindakan yang diambil terhadap sesama yang dianggap melanggar etika, karena biasanya manusia Jawa akan selalu menggunakan pitung.
Manusia Jawa itu selalu menggunakan rasanya ketika masyarakat Jawa akan melakukan sesuatu. Tindakan itu hanya diambil berdasarkan rasionalisme murni maka akan merusak ketentraman batin karena memang tidak sesuai dengan rasanya. Hal ini dikarenakan orang Jawa itu cukup bangga dengan nilai-nilai tradisionalnya (aslinya) tidak suka dengan adanya nilai-nilai baru yang dianggap akan merusak keharmonisan masyarakat.
Tiga aliran filsafat yang berkembang dalam tradisi Jawa itu dalam beberapa hal terwadahi dalam lakon wayang. Hal ini bisa dimengerti karena biasanya lakon wayang yang dipentaskan adalah sebuah hasil renungan sebuah karya para ahli filsafat. Epos Mahabarata dan Ramayana adalah dua epos yang dihasilkan oleh filosof Jawa awal, walaupun epos tersebut merupakan saduran dari India namun dalam edisi Jawa ada perbedaan diantara tokoh-tokoh yang dimunculkan.
Beberapa karakter ada penjungkirbalikan secara kontras tokoh Dorna, misalnya, dalam kisah yang asli adalah tokoh yang baik terhadap dua bersaudara Kurawa dan Pandawa namun dalam edisi Jawa menjadi seorang guru yang jahat. Apalagi bila hal ini dikaitkan dengan perintahnya kepada Bima (Werkudara)—dalam lokon Dewa Ruci—ketika Bima berniat untuk mengambil air suci (tirtamarta) yang kemudian diberikan arah yang menyesatkan mulai dari hutan yang terkenal dengan jalmo moro jalmo mati, dan bertemu dengan dua raksasa yang merupakan jelmaan dari dewa yang dikutuk oleh dewa Wisnu; kemudian ke dasar laut yang ternyata di dasar laut terdapat ular naga. Akhirnya air suci itu adanya di dalam keheningan sepi dalam dirinya Werkudara itu sendiri.
Hal ini sangat mencerminkan filsafat pantheisme dalam alur filsafat Jawa. Dunia pewayangan dalam berbagai lakon juga mencerminkan filsafat hidup orang Jawa. Sumantri Ngenger, misalnya, yang menceritakan loyalitas dan balas budi dalam kehidupan sosial adalah suatu hal yang sangat diwajibkan dalam tradisi Jawa.
Dunia tingkah laku orang Jawa, sebagaimana dalam filsafat wayang, juga sangat terpengaruhi oleh filsafat kehidupannya, yaitu : dunia wayang. Wayang sebetulnya merupakan lakon hidup manusia yang sedang di beberkan oleh sang dalang lewat lakon-lakon yang diambil dari epos Ramayana khususnya Mahabarata, Pandangan kosmis, acara ritual magis ini juga tergantung akan keislaman orang Jawa.
Apakah mereka santri atau abangan? Santri akan cenderung untuk melakukan upacara slametan yang sesuai dengan syariat sedangakan abangan biasanya akan mencari waktu yang tepat untuk melakukan upacara upacara slametan tersebut.
Orang Jawa dalam keseharian yang dikenal dengan budaya santun dan alim. Budaya Jawa yang dipadukan antara budaya Hindu-Budha, Islam dan Jawa sendiri dalam proses internalisasinya kemudian Jawa menjadi semacam lukisan yang sangat naturalisik.
Kosmos Jawa di dalamnya hidup berbagai etnis yang saling harmoni tidak ada konflik dan tidak mengenal akan persaingan. Ini bisa dilihat dalam dunia hiburan misalnya, boleh dikatakan hiburan yang ditelevisi adalah mencerminkan kehidupan (baca=budaya) Jawa.
Bahasa Orang Jawa sebagai bagian dari bahasa Indonesia, adalah merupakan bahasa yang tertua di Indonesia dan merupakan perpaduan bahasa dari dua negara, bahasa Thai dan Bahasa India, Sansekerta, yang kemudian digabungkan oleh Aji Saka, tokoh mitos yang kemudia memunculkan istilah Nusa Jawa dari rumput sejenis Jewawut.
Penggabungan kedua bahasa itu menghasilkan Aksara Jawa. Bahasa Jawa dalam perkembangannya kemudian memunculkan pengelompokan yang digunakan sesuai dengan derajat sosial seseorang yang pada akhirnya sistim ini memunculkan feodalisme dan stratifikasi kelas. Hal ini disadari atau tidak karena masih sangat erat kaitannya dengan agama-agama sebelumnya, khususnya Hindu-Budha, yang mengajarkan sistim kasta, dan berlaku secara rigid dan saklek.
Bahasa Jawa ini juga dibarengai dengan seperangkat etika ketika akan menggunakannya. Bahasa Jawa yang tersrukturalkan dalam sistim kasta. Etika Orang Jawa, sebagai etika yang cukup tua, karena merupakan seperangkat nilai yang kemudian turut serta melahirkan ideologi bangsa ini, baik ideologi politik maupun ideologi pendidikan/budaya. Ideologi politik, tentu rakyat Indonesia sebagai bangsa masih ingat akan semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mang Rawa” dan juga semboyan pendidikan kita dari Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuru Handayani”.
Referensi Makalah
Kepustakaan : Eric Fromm, Akar Kekerasan, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001). Drijakara NJ, SJ, Percikan Filsafat, (Jembatan, Jakarta, 1984). H.J.De Graff dkk, Cina Muslim, (Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996). Paul Stange, Politik Perhatian, (LkiS, Yogyakarta,1999).
Berdasarkan hal itu sebenarnya manusia Jawa mempunyai berbagai macam aliran filsafat, dari rasionalisme (nalar), eksistensialisme (pengada), dan intuisiisme (rasa dan karsa). Ini nampaknya sesuai dengan realitas sejarah (fitrah).
Manusia secara fitrah tidak mau untuk dijajah, karena manusia itu menurut Sarte rasion de etre-nya adalah kebebasan dan selalu mempunyai niat untuk mengkoloni sesamanya. Manusia secara alami adalah masyarakat yang suka kekerasan dan dengan kerasan ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti supaya mudah untuk dikuasai.
Manusia secara fitrah mempunyai kepercayaan terhadap yang ghaib. Apakah itu berupa kepercayaan terhadap yang Esa dulu atau yang dari Atheisme ataupun dari Polytheisme. Kepercayaan, dalam dunia Jawa bermula dari Polytheisme [Animisme (Taylor) ataupun Dinamisme (Frazer)], dan mengalami peng-Esa-an secara sebenarnya ketika Islam melebarkan ekspansinya dari Cina.
Rasionalisme–Jawa, sepertinya sangat dipengaruhi oleh intuisiisme. Hal ini ditengarai ketika manusia Jawa itu berpikir tentang tindakan yang diambil terhadap sesama yang dianggap melanggar etika, karena biasanya manusia Jawa akan selalu menggunakan pitung.
Manusia Jawa itu selalu menggunakan rasanya ketika masyarakat Jawa akan melakukan sesuatu. Tindakan itu hanya diambil berdasarkan rasionalisme murni maka akan merusak ketentraman batin karena memang tidak sesuai dengan rasanya. Hal ini dikarenakan orang Jawa itu cukup bangga dengan nilai-nilai tradisionalnya (aslinya) tidak suka dengan adanya nilai-nilai baru yang dianggap akan merusak keharmonisan masyarakat.
Tiga aliran filsafat yang berkembang dalam tradisi Jawa itu dalam beberapa hal terwadahi dalam lakon wayang. Hal ini bisa dimengerti karena biasanya lakon wayang yang dipentaskan adalah sebuah hasil renungan sebuah karya para ahli filsafat. Epos Mahabarata dan Ramayana adalah dua epos yang dihasilkan oleh filosof Jawa awal, walaupun epos tersebut merupakan saduran dari India namun dalam edisi Jawa ada perbedaan diantara tokoh-tokoh yang dimunculkan.
Beberapa karakter ada penjungkirbalikan secara kontras tokoh Dorna, misalnya, dalam kisah yang asli adalah tokoh yang baik terhadap dua bersaudara Kurawa dan Pandawa namun dalam edisi Jawa menjadi seorang guru yang jahat. Apalagi bila hal ini dikaitkan dengan perintahnya kepada Bima (Werkudara)—dalam lokon Dewa Ruci—ketika Bima berniat untuk mengambil air suci (tirtamarta) yang kemudian diberikan arah yang menyesatkan mulai dari hutan yang terkenal dengan jalmo moro jalmo mati, dan bertemu dengan dua raksasa yang merupakan jelmaan dari dewa yang dikutuk oleh dewa Wisnu; kemudian ke dasar laut yang ternyata di dasar laut terdapat ular naga. Akhirnya air suci itu adanya di dalam keheningan sepi dalam dirinya Werkudara itu sendiri.
Hal ini sangat mencerminkan filsafat pantheisme dalam alur filsafat Jawa. Dunia pewayangan dalam berbagai lakon juga mencerminkan filsafat hidup orang Jawa. Sumantri Ngenger, misalnya, yang menceritakan loyalitas dan balas budi dalam kehidupan sosial adalah suatu hal yang sangat diwajibkan dalam tradisi Jawa.
Dunia tingkah laku orang Jawa, sebagaimana dalam filsafat wayang, juga sangat terpengaruhi oleh filsafat kehidupannya, yaitu : dunia wayang. Wayang sebetulnya merupakan lakon hidup manusia yang sedang di beberkan oleh sang dalang lewat lakon-lakon yang diambil dari epos Ramayana khususnya Mahabarata, Pandangan kosmis, acara ritual magis ini juga tergantung akan keislaman orang Jawa.
Apakah mereka santri atau abangan? Santri akan cenderung untuk melakukan upacara slametan yang sesuai dengan syariat sedangakan abangan biasanya akan mencari waktu yang tepat untuk melakukan upacara upacara slametan tersebut.
Orang Jawa dalam keseharian yang dikenal dengan budaya santun dan alim. Budaya Jawa yang dipadukan antara budaya Hindu-Budha, Islam dan Jawa sendiri dalam proses internalisasinya kemudian Jawa menjadi semacam lukisan yang sangat naturalisik.
Kosmos Jawa di dalamnya hidup berbagai etnis yang saling harmoni tidak ada konflik dan tidak mengenal akan persaingan. Ini bisa dilihat dalam dunia hiburan misalnya, boleh dikatakan hiburan yang ditelevisi adalah mencerminkan kehidupan (baca=budaya) Jawa.
Bahasa Orang Jawa sebagai bagian dari bahasa Indonesia, adalah merupakan bahasa yang tertua di Indonesia dan merupakan perpaduan bahasa dari dua negara, bahasa Thai dan Bahasa India, Sansekerta, yang kemudian digabungkan oleh Aji Saka, tokoh mitos yang kemudia memunculkan istilah Nusa Jawa dari rumput sejenis Jewawut.
Penggabungan kedua bahasa itu menghasilkan Aksara Jawa. Bahasa Jawa dalam perkembangannya kemudian memunculkan pengelompokan yang digunakan sesuai dengan derajat sosial seseorang yang pada akhirnya sistim ini memunculkan feodalisme dan stratifikasi kelas. Hal ini disadari atau tidak karena masih sangat erat kaitannya dengan agama-agama sebelumnya, khususnya Hindu-Budha, yang mengajarkan sistim kasta, dan berlaku secara rigid dan saklek.
Bahasa Jawa ini juga dibarengai dengan seperangkat etika ketika akan menggunakannya. Bahasa Jawa yang tersrukturalkan dalam sistim kasta. Etika Orang Jawa, sebagai etika yang cukup tua, karena merupakan seperangkat nilai yang kemudian turut serta melahirkan ideologi bangsa ini, baik ideologi politik maupun ideologi pendidikan/budaya. Ideologi politik, tentu rakyat Indonesia sebagai bangsa masih ingat akan semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mang Rawa” dan juga semboyan pendidikan kita dari Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuru Handayani”.
Referensi Makalah
Kepustakaan : Eric Fromm, Akar Kekerasan, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001). Drijakara NJ, SJ, Percikan Filsafat, (Jembatan, Jakarta, 1984). H.J.De Graff dkk, Cina Muslim, (Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996). Paul Stange, Politik Perhatian, (LkiS, Yogyakarta,1999).