Sejarah Manusia Jawa
Pada: March 06, 2014
Sejarah manusia Jawa dalam mitologisnya adalah keturunan Aji Saka yang melakukan pertempuran dengan Dewatacengkar sorang raja Raksasa yang menguasai kerajaan Medangkamulan, yang akhirnya menyerahkan kekuasaannya pada tahun 72 Masehi.
Aji Saka secara mitologi adalah seorang pengembara yang sakti dan membawa dua abdi dalemnya yang sama-sama sakti dan saling bertengkar sampai mencapai ajalnya. Kisah ini diabadikan dalam aksara Jawa:
Kedua dewa itu mencipta manusia laki-laki pertama dan perempuan pertama dari penduduk asli Jawa. Manusia Jawa adalah perpaduan dari tokoh-tokoh wayang yang keturunan dewa dengan seorang priyayi dan priyayi itu masih keturunan raja sedangkan raja merupakan keturunan dari tokoh wayang yang mempunyai leluhur orang suci, yaitu nabi.
Geneologi yang panjang atas manusia Jawa ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa manusia Jawa adalah perpaduan antara mitos dengan religiusitas Islam (wayang tokoh mitologi dari India dengan Nabi, individu suci).
Penciptaan manusia Jawa dari segi mitos ini menggambarkan suatu realitas yang sangat berbeda jauh dari manusia pada umumnya dan hal ini dalam beberapa hal kemudian membawa akibat pada suku non-Jawa dalam kehidupan selanjutnya.
Masyarakat Jawa dalam kehidupan selanjutnya mengalami berbagai pembauran yang tidak sempurna. Pembauran etnis yang kemudian membawa pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras Jawa adalah ras yang dianalogikan pada keturunan Dewa sehingga mereka tidak mau menjadi bawahan. Sejarah manusia Jawa dari segi geneologis adalah keturunan ras Austronesia yang kemudian menghegemoni masyarakat setempat, yaitu yang kemudian berpindah ke wilayah Timur, yang kemudian dinamakan Indonesia.
Kemudian ras Austronesia ini menjadi sekelompok masyarakat agraris yang menghidupi kelompoknya dengan berdagang lewat rempah-rempah yang dihasilkannya. Masyarakat Austronesia ini mengelompokkan kelompoknya dalam sistim kemasyarakatan yang berdasarkan kharisma, karena kewibawaan seseorang di era yang masih mengedepankan komunalisme (pra-moderen) merupakan alat yang cukup kuat untuk menjadikan modal untuk menjadi sang pemimpin Teori yang lain menyatakan bahwa leluhur bangsa Indonesia adalah suku pribumi, asli orang Indonesia awal, yang dikenal dengan istilah teori “Paparan Sunda”.
Hal ini berdasarkan kemiripan bentuk dan penemuan fosil di daerah Bandung yang mempunyai umur sekitar 7000 SM. Hal ini berfungsi sebagai penyeimbang akan teori Austronesia yang menyatakan bahwa orang awal Indonesia adalah keturunan suku Mongol. Jawa sebagai ide dasar pemunculan Indonesia yang merupakan sense of belonging dari para founding fathers.
Jawa sebagai basis perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sedikit banyak telah mengorbankan segalanya untuk negeri impian, atau menurut Anderson sebagai suatu negeri terbayangkan, immagined community, karena nasionalisme Indonesia adalah sebuah struktur yang rapuh dan semu karena berbasiskan akan kemunafikan ideologi.
Orang Jawa yang kemudian menjadi semacam kolonial baru bagi anak tetangga. Jawa menjadi semacam anak bangsa yang sangat ditakutkan akan eksistensinya. Indonesia menjadi negara terbuka yang sebenarnya, ketika kebebasan yang dibarengi dengan berdialognya berbagai macam ideologi untuk kemajuan masyarakat, maka akan menjadikan masyarakat dewasa dan menjadi diri sendiri.
Berkaitan dengan itu Jawa kemudian menjadi masyarakat yang paling disorot oleh kelompok lain. Baik dari segi budaya, bahasa dan norma/etikanya. Masyarakat Jawa mempunyai dua sisi yang sangat berbeda, satu sisi masyarakat Jawa menjadi bangsa yang ramah satu sisi masyarakat Jawa menjadi bangsa yang tidak kalah sadis dengan bangsa Mongol.
Hal ini dikarenakan kerepresifan rezim yang sedang berkuasa karena jika sekelompok atau orang yang terlalu lama dalam keadaan yang tertekan maka watak kekerasan akan menampakkan diri dalam realitas kehidupan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Balai Pustaka, Jakarta, 1987). Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto, (Gramedia, Jakarta, 2002). Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, (Gramedia, Jakarta, 1996). Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik, (Rajawli Press, Jakarta,, 1983). Karl Popper, Masyarakat Terbuka, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002).
HANACARAKA : ada utusan DATASAWALA : saling bertengkar PADHAJAYANYA : sama kesaktiannya MAGABATHANGA :meninggal semuaManusia Jawa (baca: falsafah manusia Jawa) dalam perkembangan mitologi kemudian sampai memasuki dunia pewayangan yang sarat dengan nuansa mitos dan religi Hindu-Budha. Manusia Jawa dalam awal penciptaannya adalah permohonan dari Bathara Guru (Siva) kepada Brahmana dan Wisnu untuk memberi penduduk di Pulau Jawa.
Kedua dewa itu mencipta manusia laki-laki pertama dan perempuan pertama dari penduduk asli Jawa. Manusia Jawa adalah perpaduan dari tokoh-tokoh wayang yang keturunan dewa dengan seorang priyayi dan priyayi itu masih keturunan raja sedangkan raja merupakan keturunan dari tokoh wayang yang mempunyai leluhur orang suci, yaitu nabi.
Geneologi yang panjang atas manusia Jawa ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa manusia Jawa adalah perpaduan antara mitos dengan religiusitas Islam (wayang tokoh mitologi dari India dengan Nabi, individu suci).
Penciptaan manusia Jawa dari segi mitos ini menggambarkan suatu realitas yang sangat berbeda jauh dari manusia pada umumnya dan hal ini dalam beberapa hal kemudian membawa akibat pada suku non-Jawa dalam kehidupan selanjutnya.
Masyarakat Jawa dalam kehidupan selanjutnya mengalami berbagai pembauran yang tidak sempurna. Pembauran etnis yang kemudian membawa pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras Jawa adalah ras yang dianalogikan pada keturunan Dewa sehingga mereka tidak mau menjadi bawahan. Sejarah manusia Jawa dari segi geneologis adalah keturunan ras Austronesia yang kemudian menghegemoni masyarakat setempat, yaitu yang kemudian berpindah ke wilayah Timur, yang kemudian dinamakan Indonesia.
Kemudian ras Austronesia ini menjadi sekelompok masyarakat agraris yang menghidupi kelompoknya dengan berdagang lewat rempah-rempah yang dihasilkannya. Masyarakat Austronesia ini mengelompokkan kelompoknya dalam sistim kemasyarakatan yang berdasarkan kharisma, karena kewibawaan seseorang di era yang masih mengedepankan komunalisme (pra-moderen) merupakan alat yang cukup kuat untuk menjadikan modal untuk menjadi sang pemimpin Teori yang lain menyatakan bahwa leluhur bangsa Indonesia adalah suku pribumi, asli orang Indonesia awal, yang dikenal dengan istilah teori “Paparan Sunda”.
Hal ini berdasarkan kemiripan bentuk dan penemuan fosil di daerah Bandung yang mempunyai umur sekitar 7000 SM. Hal ini berfungsi sebagai penyeimbang akan teori Austronesia yang menyatakan bahwa orang awal Indonesia adalah keturunan suku Mongol. Jawa sebagai ide dasar pemunculan Indonesia yang merupakan sense of belonging dari para founding fathers.
Jawa sebagai basis perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sedikit banyak telah mengorbankan segalanya untuk negeri impian, atau menurut Anderson sebagai suatu negeri terbayangkan, immagined community, karena nasionalisme Indonesia adalah sebuah struktur yang rapuh dan semu karena berbasiskan akan kemunafikan ideologi.
Orang Jawa yang kemudian menjadi semacam kolonial baru bagi anak tetangga. Jawa menjadi semacam anak bangsa yang sangat ditakutkan akan eksistensinya. Indonesia menjadi negara terbuka yang sebenarnya, ketika kebebasan yang dibarengi dengan berdialognya berbagai macam ideologi untuk kemajuan masyarakat, maka akan menjadikan masyarakat dewasa dan menjadi diri sendiri.
Berkaitan dengan itu Jawa kemudian menjadi masyarakat yang paling disorot oleh kelompok lain. Baik dari segi budaya, bahasa dan norma/etikanya. Masyarakat Jawa mempunyai dua sisi yang sangat berbeda, satu sisi masyarakat Jawa menjadi bangsa yang ramah satu sisi masyarakat Jawa menjadi bangsa yang tidak kalah sadis dengan bangsa Mongol.
Hal ini dikarenakan kerepresifan rezim yang sedang berkuasa karena jika sekelompok atau orang yang terlalu lama dalam keadaan yang tertekan maka watak kekerasan akan menampakkan diri dalam realitas kehidupan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Balai Pustaka, Jakarta, 1987). Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto, (Gramedia, Jakarta, 2002). Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, (Gramedia, Jakarta, 1996). Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik, (Rajawli Press, Jakarta,, 1983). Karl Popper, Masyarakat Terbuka, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002).