Perbedaan Seputar al-Quran sebagai Kalam Allah
Pada: August 08, 2014
Kata “kalam” secara bahasa adalah pembicaraan yang bisa dipahami. Jadi kalau dikatakan bahwa al-Quran sebagai kalam Allah, dimaksudkan sebagai firman-firman Tuhan yang termaktub dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawātir. Jika ada perubahan terhadap teks-teks Tuhan tersebut, misalnnya menafsirkan al-Quran, maka ia tidak lagi dikatakan “kalam Allah”.
Pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, terjadi diskusi atau perdebatan sengit di kalangan ulama Islam tentang al-Quran sebagai Kalam Allah. al-Quran dikatakan sebagai Kalam Allah atau “Kalimat Allah” (kalāmullah) yang mutlak benar sesuai dengan firman-Nya sendiri dalam QS al-An’am (6): 115
Sekiranya al-Quran sebagai Kalam Allah merupakan sifat Allah, maka mestilah ia kekal (qadīm), tidak diciptakan; tapai kalau sekiranya ia dipandang tersusun (bukan kalāmullah), maka sesuatu yang tersusun mestilah diciptakan dan tidak kekal. Namun terjadi perbedaan besar antara berbagai aliran pemikiran diantaranya:
Kaum Muktazilah bahwa firman Allah itu bukanlah sifat-sifat-Nya, tetapi perbuatannya. Mereka berargumen bahwa al-Quran tersusun dari bagian-bagian (berupa ayat dan surat; ayat atau surat yang satu mendahului ayat atau surat yang lain), dan kenyataan demikian membuatnya tidak bisa bersifat kadim (tak bermula), karena yang tak bermula tidak didahului oleh apapun (baca: al-Ushul al-Khamsah al-Muktazilah).
Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam Allah itu adalah sifat Allah dan karena itu, mestilah ia kadim. Untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak bersifat kadim, mereka memberi definisi lain tentang kalam. Kalam bagi mereka adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Kalam bukanlah apa yang tersusun dari huruf dan suara; kalam yang tersusun itu disebut kalam, hanya dalam artian kiasan.
Kaum Maturidiyyah sependapat dengan kaum Asy’ariyah, bahwa al-Quran sebagai Kalam Allah itu adalah kekal. Ia sifat kekal dari Tuhan, satu dan tidak terbagi, tidak berbahasa Arab, atau berbahasa lain, tetapi bila diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan. Apa yang yang tersusun dan disebut al-Quranb, bukanlah Kalam Allah, tapi merupakan tanda dari kalāmullah. Ia disebut Kalam Allah dalam arti kiasan.
Kendati terdapat perbedaan pendapat seperti yang dipaparkan di atas, mereka semua sependapat bahwa “al-Quran sebagai Kalam Allah”, merupakan pedoman hidup paling utama yang semestinya dipedomani oleh segenap umat manusia, demi merealisasikan cita-cita hidup bersama; kebahagiaan hidup duniawi, yang berlanjut dengan kebahagiaan hidup ukhrawi.
Referensi Makalah®
Pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, terjadi diskusi atau perdebatan sengit di kalangan ulama Islam tentang al-Quran sebagai Kalam Allah. al-Quran dikatakan sebagai Kalam Allah atau “Kalimat Allah” (kalāmullah) yang mutlak benar sesuai dengan firman-Nya sendiri dalam QS al-An’am (6): 115
Sekiranya al-Quran sebagai Kalam Allah merupakan sifat Allah, maka mestilah ia kekal (qadīm), tidak diciptakan; tapai kalau sekiranya ia dipandang tersusun (bukan kalāmullah), maka sesuatu yang tersusun mestilah diciptakan dan tidak kekal. Namun terjadi perbedaan besar antara berbagai aliran pemikiran diantaranya:
Kaum Muktazilah bahwa firman Allah itu bukanlah sifat-sifat-Nya, tetapi perbuatannya. Mereka berargumen bahwa al-Quran tersusun dari bagian-bagian (berupa ayat dan surat; ayat atau surat yang satu mendahului ayat atau surat yang lain), dan kenyataan demikian membuatnya tidak bisa bersifat kadim (tak bermula), karena yang tak bermula tidak didahului oleh apapun (baca: al-Ushul al-Khamsah al-Muktazilah).
Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam Allah itu adalah sifat Allah dan karena itu, mestilah ia kadim. Untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak bersifat kadim, mereka memberi definisi lain tentang kalam. Kalam bagi mereka adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Kalam bukanlah apa yang tersusun dari huruf dan suara; kalam yang tersusun itu disebut kalam, hanya dalam artian kiasan.
Kaum Maturidiyyah sependapat dengan kaum Asy’ariyah, bahwa al-Quran sebagai Kalam Allah itu adalah kekal. Ia sifat kekal dari Tuhan, satu dan tidak terbagi, tidak berbahasa Arab, atau berbahasa lain, tetapi bila diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan. Apa yang yang tersusun dan disebut al-Quranb, bukanlah Kalam Allah, tapi merupakan tanda dari kalāmullah. Ia disebut Kalam Allah dalam arti kiasan.
Kendati terdapat perbedaan pendapat seperti yang dipaparkan di atas, mereka semua sependapat bahwa “al-Quran sebagai Kalam Allah”, merupakan pedoman hidup paling utama yang semestinya dipedomani oleh segenap umat manusia, demi merealisasikan cita-cita hidup bersama; kebahagiaan hidup duniawi, yang berlanjut dengan kebahagiaan hidup ukhrawi.
Referensi Makalah®